Salman Al-Farisi: Seorang Amir yang Sempat Dikira Tukang Panggul
Selasa, 29 Maret 2022 - 05:15 WIB
Pada tahun-tahun kejayaan umat Islam, panji-panji Islam telah berkibar di seluruh penjuru. Harta benda yang tak sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan baik sebagai upeti ataupun pajak untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan Islam. Negara mampu membayar mahal gaji dan tunjangan hidup bagi pejabat.
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya yang telah dialihbahasakan Mahyuddin Syaf dkk dengan judul "Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah" mengisahkan di antara gundukan harta ini tidak ada Salman Al-Farisi ra . Beliau hanyalah lelaki tua yang berwibawa. Dia seringkali kedapatan duduk di bawah naungan pohon. Mengayam dan menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang.
Salman berpakaian sangat sederhana. Bukannya tidak punya duit untuk membeli pakaian yang layak. Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara empat sampai enam ribu dirham setahun. Tapi semua itu disumbangkannya habis untuk kegiatan sosial. Satu dirham pun tak diambil untuk dirinya.
“Untuk bahannya kubeli daun satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga dirham. Yang satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku, sedang satu dirham sisanya untuk sedekah,” kata Salman suatu ketika.
Salman kelahiran Persia. Suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan serta hidup boros. Ia bukan dari golongan miskin atau bawahan, tapi dari golongan berpunya dan kelas tinggi.
Kenapa ia sekarang menolak harta, kekayaan dan kesenangan; bertahan dengan kehidupan bersahaja, tiada lebih dari satu dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri? Kenapa ditolaknya pangkat dan tak bersedia menerimanya?
“Seandainya kamu masih mampu makan tanah --asal tak membawahi dua orang manusia--maka lakukanlah!” ujar Salman.
Salman menolak pangkat dan jabatan, kecuali jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan perang. Ia mau menjabat jika dalam suasana tidak ada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab kecuali dia. Jika begitu, biasanya dia melakukannya dengan hati murung dan jiwa merintih.
Lalu kenapa ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan padanya secara halal?
Diriwayatkan oleh Hisyam bin Hisan dari Hasan: “Tunjangan Salman sebanyak lima ribu setahun, (gambaran kesederhanaannya) ketika ia berpidato di hadapan tigapuluh ribu orang separuh baju luarnya (aba’ah) dijadikan alas duduknya dan separuh lagi menutupi badannya. Jika tunjangan keluar, maka dibagi-bagikannya sampai habis, sedang untuk nafkahnya dari hasil usaha kedua tangannya”.
Kenapa ia melakukan perbuatan seperti itu dan amat zuhud kepada dunia, padahal ia seorang putra Persia yang biasa tenggelam dalam kesenangan dan dipengaruhi arus kemajuan?
Marilah kita dengar jawaban yang diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha linggi lagi Maha Pengasih.
Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya, lalu Salman menangis. “Apa yang anda tangiskan, wahai Abu Abdillah,” tanya Sa’ad, “padahal Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridla kepada anda?”
“Demi Allah,” ujar Salman, “Daku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, sabdanya: Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara, padahal harta milikku begini banyaknya”.
Kata Sa’ad: “Saya perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya: “Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!”
Maka ujarnya: “Wahai Sa’ad! Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita. Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi. Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian”.
Rupanya inilah yang telah mengisi kalbu Salman mengenai kekayaan dan kepuasan. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia dan segala harta, pangkat dengan pengaruhnya; yaitu pesan Rasulullah SAW kepadanya dan kepada semua sahabatnya, agar mereka tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil bagian daripadanya, kecuali sekadar bekal seorang pengendara.
Salman telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air matanya masih jatuh berderai ketika ruhnya telah siap untuk berangkat; khawatir kalau-kalau ia telah melampaui batas yang ditetapkan.
Tak terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring wadah makannya dan sebuah baskom untuk tempat minum dan wudlu. Tetapi walau demikian ia menganggap dirinya telah berlaku boros.
Pada hari-hari ia bertugas sebagai Amir atau kepala daerah di Madain, keadaannya tak sedikit pun berubah. Ia menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu dirham sekalipun. Ia tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma, sedangkan pakaiannya tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya tak berbeda dengan baju usangnya.
Dikira Kuli Panggul
Pada suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan raya, ia didatangi seorang laki-laki dari Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, hingga melelahkannya.
Demi dilihat olehnya seorang laki-laki yang tampak sebagai orang biasa dan dari golongan tak berpunya, terpikirlah hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan diberi imbalan atas jerih payahnya bila telah sampai ke tempat tujuan.
Ia memberi isyarat supaya datang kepadanya, dan Salman menurut dengan patuh. “Tolong bawakan barangku ini!” kata orang dari Syria itu.
Maka barang itu pun dipikullah oleh Salman. Berdua mereka berjalan bersama-sama. Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan satu rombongan. Salman memberi salam kepada mereka, yang dijawabnya sambil berhenti: “Juga kepada amir, kami ucapkan salam”.
“Juga kepada amir?” Amir mana yang mereka maksudkan?” tanya orang Syria itu dalam hati. Keheranannya kian bertambah ketika dilihatnya sebagian dari anggota rombongan segera menuju beban yang dipikul oleh Salman dengan maksud hendak menggantikannya.
Kata mereka: “Berikanlah kepada kami wahai amir!”
Sekarang mengertilah orang Syria itu bahwa kulinya tiada lain Salman al-Farisi, amir dari kota Madain. Orang itu pun menjadi gugup. Kata-kata penyesalan dan permintaan maaf bagai mengalir dari bibirnya. Ia mendekat hendak menarik beban itu dari tangannya, tetapi Salman menolak, dan berkata sambil menggelengkan kepala: “Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu!“
Suatu ketika Salman pernah ditanyai orang: Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai amir?
“Karena manis waktu memegangnya tapi pahit waktu melepaskannya!” jawabnya.
Pada suatu ketika yang lain, seorang sahabat memasuki rumah Salman, didapatinya ia sedang duduk menggodok tepung, maka tanya sahabat itu, “ke mana pelayan?”
“Saya suruh untuk suatu keperluan, maka saya tak ingin ia harus melakukan dua pekerjaan sekaligus,” ujarnya.
Rumah Salman
Apa sebenarnya yang kita sebut rumah itu? Baiklah kita ceritakan bagaimana keadaan rumah itu yang sebenarnya. Ketika hendak mendirikan bangunan yang berlebihan disebut sebagai “rumah” itu, Salman bertanya kepada tukangnya: “Bagaimana corak rumah yang hendak anda dirikan?”
Kebetulan tukang bangunan ini seorang arif bijaksana, mengetahui kesederhanaan Salman dan sifatnya yang tak suka bermewah-mewah. Maka ujarnya: “Jangan anda khawatir! Rumah itu merupakan bangunan yang dapat digunakan bernaung di waktu panas dan tempat berteduh di waktu hujan. Andainya anda berdiri, maka kepala anda akan sampai pada langit-langitnya; dan jika anda berbaring, maka kaki anda akan terantuk pada dindingnya”.
“Benar”, ujar Salman, “seperti itulah seharusnya rumah yang akan anda bangun!”
Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman. Kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan dipentingkannya, bahkan telah dititipkan kepada isterinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman.
Ketika dalam sakit yang membawa ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, dipanggillah isterinya untuk mengambil titipannya dahulu. Kiranya hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian di hari wafatnya.
Kemudian sang isteri disuruhnya mengambil secangkir air, ditaburinya dengan kesturi yang dibasuh dengan tangannya, lalu kata Salman kepada isterinya: “Percikkanlah air ini ke sekelilingku. Sekarang telah hadir di hadapanku makhluk Allah yang tiada dapat makan, hanyalah gemar wangi-wangian.
Setelah selesai, ia berkata kepada isterinya: “Tutupkanlah pintu dan turunlah!” Perintah itu pun diturut oleh isterinya. Dan tak lama antaranya isterinya kembali masuk, didapatinya ruh yang beroleh barkah telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya. Ia telah mencapai alam tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan; rindu memenuhi janjinya, untuk bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad SAW dan dengan kedua sahabatnya Abu Bakar dan Umar, serta tokoh-tokoh mulia lainnya dari golongan syuhada dan orang-orang utama.
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya yang telah dialihbahasakan Mahyuddin Syaf dkk dengan judul "Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah" mengisahkan di antara gundukan harta ini tidak ada Salman Al-Farisi ra . Beliau hanyalah lelaki tua yang berwibawa. Dia seringkali kedapatan duduk di bawah naungan pohon. Mengayam dan menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang.
Salman berpakaian sangat sederhana. Bukannya tidak punya duit untuk membeli pakaian yang layak. Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara empat sampai enam ribu dirham setahun. Tapi semua itu disumbangkannya habis untuk kegiatan sosial. Satu dirham pun tak diambil untuk dirinya.
“Untuk bahannya kubeli daun satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga dirham. Yang satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku, sedang satu dirham sisanya untuk sedekah,” kata Salman suatu ketika.
Salman kelahiran Persia. Suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan serta hidup boros. Ia bukan dari golongan miskin atau bawahan, tapi dari golongan berpunya dan kelas tinggi.
Kenapa ia sekarang menolak harta, kekayaan dan kesenangan; bertahan dengan kehidupan bersahaja, tiada lebih dari satu dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri? Kenapa ditolaknya pangkat dan tak bersedia menerimanya?
“Seandainya kamu masih mampu makan tanah --asal tak membawahi dua orang manusia--maka lakukanlah!” ujar Salman.
Salman menolak pangkat dan jabatan, kecuali jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan perang. Ia mau menjabat jika dalam suasana tidak ada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab kecuali dia. Jika begitu, biasanya dia melakukannya dengan hati murung dan jiwa merintih.
Lalu kenapa ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan padanya secara halal?
Diriwayatkan oleh Hisyam bin Hisan dari Hasan: “Tunjangan Salman sebanyak lima ribu setahun, (gambaran kesederhanaannya) ketika ia berpidato di hadapan tigapuluh ribu orang separuh baju luarnya (aba’ah) dijadikan alas duduknya dan separuh lagi menutupi badannya. Jika tunjangan keluar, maka dibagi-bagikannya sampai habis, sedang untuk nafkahnya dari hasil usaha kedua tangannya”.
Kenapa ia melakukan perbuatan seperti itu dan amat zuhud kepada dunia, padahal ia seorang putra Persia yang biasa tenggelam dalam kesenangan dan dipengaruhi arus kemajuan?
Marilah kita dengar jawaban yang diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha linggi lagi Maha Pengasih.
Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya, lalu Salman menangis. “Apa yang anda tangiskan, wahai Abu Abdillah,” tanya Sa’ad, “padahal Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridla kepada anda?”
“Demi Allah,” ujar Salman, “Daku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, sabdanya: Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara, padahal harta milikku begini banyaknya”.
Kata Sa’ad: “Saya perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya: “Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!”
Maka ujarnya: “Wahai Sa’ad! Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita. Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi. Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian”.
Rupanya inilah yang telah mengisi kalbu Salman mengenai kekayaan dan kepuasan. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia dan segala harta, pangkat dengan pengaruhnya; yaitu pesan Rasulullah SAW kepadanya dan kepada semua sahabatnya, agar mereka tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil bagian daripadanya, kecuali sekadar bekal seorang pengendara.
Salman telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air matanya masih jatuh berderai ketika ruhnya telah siap untuk berangkat; khawatir kalau-kalau ia telah melampaui batas yang ditetapkan.
Tak terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring wadah makannya dan sebuah baskom untuk tempat minum dan wudlu. Tetapi walau demikian ia menganggap dirinya telah berlaku boros.
Pada hari-hari ia bertugas sebagai Amir atau kepala daerah di Madain, keadaannya tak sedikit pun berubah. Ia menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu dirham sekalipun. Ia tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma, sedangkan pakaiannya tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya tak berbeda dengan baju usangnya.
Dikira Kuli Panggul
Pada suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan raya, ia didatangi seorang laki-laki dari Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, hingga melelahkannya.
Demi dilihat olehnya seorang laki-laki yang tampak sebagai orang biasa dan dari golongan tak berpunya, terpikirlah hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan diberi imbalan atas jerih payahnya bila telah sampai ke tempat tujuan.
Ia memberi isyarat supaya datang kepadanya, dan Salman menurut dengan patuh. “Tolong bawakan barangku ini!” kata orang dari Syria itu.
Maka barang itu pun dipikullah oleh Salman. Berdua mereka berjalan bersama-sama. Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan satu rombongan. Salman memberi salam kepada mereka, yang dijawabnya sambil berhenti: “Juga kepada amir, kami ucapkan salam”.
“Juga kepada amir?” Amir mana yang mereka maksudkan?” tanya orang Syria itu dalam hati. Keheranannya kian bertambah ketika dilihatnya sebagian dari anggota rombongan segera menuju beban yang dipikul oleh Salman dengan maksud hendak menggantikannya.
Kata mereka: “Berikanlah kepada kami wahai amir!”
Sekarang mengertilah orang Syria itu bahwa kulinya tiada lain Salman al-Farisi, amir dari kota Madain. Orang itu pun menjadi gugup. Kata-kata penyesalan dan permintaan maaf bagai mengalir dari bibirnya. Ia mendekat hendak menarik beban itu dari tangannya, tetapi Salman menolak, dan berkata sambil menggelengkan kepala: “Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu!“
Suatu ketika Salman pernah ditanyai orang: Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai amir?
“Karena manis waktu memegangnya tapi pahit waktu melepaskannya!” jawabnya.
Pada suatu ketika yang lain, seorang sahabat memasuki rumah Salman, didapatinya ia sedang duduk menggodok tepung, maka tanya sahabat itu, “ke mana pelayan?”
“Saya suruh untuk suatu keperluan, maka saya tak ingin ia harus melakukan dua pekerjaan sekaligus,” ujarnya.
Rumah Salman
Apa sebenarnya yang kita sebut rumah itu? Baiklah kita ceritakan bagaimana keadaan rumah itu yang sebenarnya. Ketika hendak mendirikan bangunan yang berlebihan disebut sebagai “rumah” itu, Salman bertanya kepada tukangnya: “Bagaimana corak rumah yang hendak anda dirikan?”
Kebetulan tukang bangunan ini seorang arif bijaksana, mengetahui kesederhanaan Salman dan sifatnya yang tak suka bermewah-mewah. Maka ujarnya: “Jangan anda khawatir! Rumah itu merupakan bangunan yang dapat digunakan bernaung di waktu panas dan tempat berteduh di waktu hujan. Andainya anda berdiri, maka kepala anda akan sampai pada langit-langitnya; dan jika anda berbaring, maka kaki anda akan terantuk pada dindingnya”.
“Benar”, ujar Salman, “seperti itulah seharusnya rumah yang akan anda bangun!”
Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman. Kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan dipentingkannya, bahkan telah dititipkan kepada isterinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman.
Ketika dalam sakit yang membawa ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, dipanggillah isterinya untuk mengambil titipannya dahulu. Kiranya hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian di hari wafatnya.
Kemudian sang isteri disuruhnya mengambil secangkir air, ditaburinya dengan kesturi yang dibasuh dengan tangannya, lalu kata Salman kepada isterinya: “Percikkanlah air ini ke sekelilingku. Sekarang telah hadir di hadapanku makhluk Allah yang tiada dapat makan, hanyalah gemar wangi-wangian.
Setelah selesai, ia berkata kepada isterinya: “Tutupkanlah pintu dan turunlah!” Perintah itu pun diturut oleh isterinya. Dan tak lama antaranya isterinya kembali masuk, didapatinya ruh yang beroleh barkah telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya. Ia telah mencapai alam tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan; rindu memenuhi janjinya, untuk bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad SAW dan dengan kedua sahabatnya Abu Bakar dan Umar, serta tokoh-tokoh mulia lainnya dari golongan syuhada dan orang-orang utama.
(mhy)