Jejak Sayyidah Ruqayyah dan Nasib Ummu Kultsum Putri Rasulullah
Jum'at, 29 Mei 2020 - 17:30 WIB
Dr. Bassam Muhammad Hamami dalam buku “Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam” menganggambarkan berbagai kenangan mengerikan silih berganti dalam benak Ummu Kultsum sehingga kedua bibirnya melepaskan keluhan lemah seakan meluluhkan jiwanya. Ummu Kultsum memejamkan kedua mata dengan lemah lalu ia melihat bayangan sang ibu sedang menyerahkan nyawa kepada Allah di tengah peristiwa pemboikotan yang dialami.
Demikian pula bayangan saudarinya, Ruqayyah, saat jiwanya bergetar mendengar pekik kemenangan dalam Perang Badar yang menggema di luar sana.
Ummu Kultsum duduk menyendiri di sudut rumah sambil mengusap air matanya yang penuh duka karena berpisah dengan saudari tercinta. Sementara itu, Fathimah az-Zahra menghambur ke pembaringan saudarinya, menangisi kepergiannya.
Selanjutnya, sang ayah yang berduka memasuki ruangan dengan wajah yang menyiratkan tanda-tanda kesedihan. Beliau hampiri Fathimah az-Zahra untuk menggendongnya dan mendekati sang kakak untuk menghapus air matanya dengan ujung kain selendang beliau.
Hari-hari berjalan begitu cepat dengan segala duka dan kepedihan sampai akhirnya Ummu Kultsum memasuki fase baru dalam hidupnya dalam menapaki pintu kebahagiaan, keceriaan, dan perkawinan.
Perintah Allah
Rasulullah menikahkan sang putri, Ummu Kultsum, dengan Utsman ibn Affan. Ummu `Iyasy, budak Ruqayyah, meriwayatkan bahwa dirinya mendengar Rasulullah bersabda, “Aku tidaklah menikahkan Utsman selain mengikuti wahyu dari langit.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Jibril mendatangiku kemudian berkata: ‘Sesungguhnya, Allah memerintahkanmu untuk menikahkan Utsman dengan Ummu Kultsum dengan mas kawin yang sama dengan Ruqayyah dan sahabatnya’.”
Ummu Kultsum menjadi istri yang mulia dan terhormati di sisi Utsman ibn Affan setelah saudarinya, Ruqayyah. Hal itulah yang menyebabkan Utsman ibn Affan mendapat gelar Dzun Nurain (pemilik dua cahaya) karena telah menjadi suami dari dua putri Rasulullah secara berturut-turut.
Pernikahan itu berlangsung pada bulan Rabi`ul Awwal tahun ke-3 H. Ummu Kultsum menjalani hidup bersama Utsman ibn Affan selama enam tahun tanpa dikarunia seorang anak pun.
Saat kepergiannya telah tiba. Ketika Bilal mengumandangkan azan, suaranya menembus ke telinga kaum muslimin laksana sihir. Pintu-pintu rumah segera terbuka dan kaum muslimin segera keluar menuju Masjid Rasulullah dalam belaian udara pagi.
Dengan pandangan penuh sayang, Utsman ibn Affan memandang sang istri, Ummu Kultsum, yang terbujur lemah tak berdaya di atas ranjang perpisahan. Selanjutnya, Utsman pun keluar untuk menunaikan salat di belakang Rasulullah.
Ummu Kultsum tampak pucat karena lemah dan sakit. Tubuhnya terbujur di atas ranjang seraya memusatkan pendengarannya pada suara azan Bilal yang telah mengetuk kedua telinganya dan membangunkan jiwanya.
Ummu Kultsum berusaha bangkit, tetapi tubuhnya sangat lemah hingga tidak mampu untuk berdiri. Pada saat itu ia pun mendengar suara takbir mereka yang sedang menunaikan salat. Kedua matanya berlinang, tenggelam dalam kebahagiaan saat mengalami detik-detik napas terakhir.
Ummu `Iyasy, Pelayan Rasulullah datang memasuki ruangan dan segera ia sadari Ummu Kultsum sedang mengalami sakaratulmaut. Ummu `Iyasy lantas memanggil kaum muslimin yang sedang berada di masjid. Sang suami Ummu Kultsum, Utsman ibn Affan, bergegas pulang ke rumah dan ia menemukan Ummu Kultsum yang sedang mengalami sakaratulmaut.
Dengan perasaan penuh iba, Dzun Nurain memanggil-manggil sang istri. Utsman sangat terpukul atas meninggalnya Ummu Kultsum. Pasalnya, dengan begitu, dirinya tidak bisa mendapat keturunan dari Rasulullah.
Datanglah Rasulullah, Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibn Khaththab, dan Ali ibn Abi Thalib serta sejumlah sahabat lainnya. Rasulullah segera menghampiri sang putri yang sedang menghadapi sakaratulmaut. Kedua mata beliau pun berlinang sementara bibirnya tidak henti-hentinya memanjatkan doa keselamatan bagi putrinya.
Tidak lama kemudian, masuklah Asma` binti `Umais, istri Abu Bakar, dan Shafiyah binti Abdul Muththalib. Mereka pun menangis berlinang air mata penuh kasih.
Selanjutnya, Ummu `Athiyah menggendong jenazah Ummu Kultsum untuk dimandikan. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Mandikanlah secara ganjil: tiga kali, lima kali, atau lebih dari itu.”
Rasulullah memberikan kainnya kepada mereka untuk mengafani jenazah sang putri. Para sahabat kemudian memikul jenazah itu menuju masjid. Para istri Rasulullah menggiringi keberangkatan itu dengan tangisan. Fathimah az-Zahra pun tidak bisa menahan tangis atas kepergian saudara tercintanya itu.
Demikian pula bayangan saudarinya, Ruqayyah, saat jiwanya bergetar mendengar pekik kemenangan dalam Perang Badar yang menggema di luar sana.
Ummu Kultsum duduk menyendiri di sudut rumah sambil mengusap air matanya yang penuh duka karena berpisah dengan saudari tercinta. Sementara itu, Fathimah az-Zahra menghambur ke pembaringan saudarinya, menangisi kepergiannya.
Selanjutnya, sang ayah yang berduka memasuki ruangan dengan wajah yang menyiratkan tanda-tanda kesedihan. Beliau hampiri Fathimah az-Zahra untuk menggendongnya dan mendekati sang kakak untuk menghapus air matanya dengan ujung kain selendang beliau.
Hari-hari berjalan begitu cepat dengan segala duka dan kepedihan sampai akhirnya Ummu Kultsum memasuki fase baru dalam hidupnya dalam menapaki pintu kebahagiaan, keceriaan, dan perkawinan.
Perintah Allah
Rasulullah menikahkan sang putri, Ummu Kultsum, dengan Utsman ibn Affan. Ummu `Iyasy, budak Ruqayyah, meriwayatkan bahwa dirinya mendengar Rasulullah bersabda, “Aku tidaklah menikahkan Utsman selain mengikuti wahyu dari langit.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Jibril mendatangiku kemudian berkata: ‘Sesungguhnya, Allah memerintahkanmu untuk menikahkan Utsman dengan Ummu Kultsum dengan mas kawin yang sama dengan Ruqayyah dan sahabatnya’.”
Ummu Kultsum menjadi istri yang mulia dan terhormati di sisi Utsman ibn Affan setelah saudarinya, Ruqayyah. Hal itulah yang menyebabkan Utsman ibn Affan mendapat gelar Dzun Nurain (pemilik dua cahaya) karena telah menjadi suami dari dua putri Rasulullah secara berturut-turut.
Pernikahan itu berlangsung pada bulan Rabi`ul Awwal tahun ke-3 H. Ummu Kultsum menjalani hidup bersama Utsman ibn Affan selama enam tahun tanpa dikarunia seorang anak pun.
Saat kepergiannya telah tiba. Ketika Bilal mengumandangkan azan, suaranya menembus ke telinga kaum muslimin laksana sihir. Pintu-pintu rumah segera terbuka dan kaum muslimin segera keluar menuju Masjid Rasulullah dalam belaian udara pagi.
Dengan pandangan penuh sayang, Utsman ibn Affan memandang sang istri, Ummu Kultsum, yang terbujur lemah tak berdaya di atas ranjang perpisahan. Selanjutnya, Utsman pun keluar untuk menunaikan salat di belakang Rasulullah.
Ummu Kultsum tampak pucat karena lemah dan sakit. Tubuhnya terbujur di atas ranjang seraya memusatkan pendengarannya pada suara azan Bilal yang telah mengetuk kedua telinganya dan membangunkan jiwanya.
Ummu Kultsum berusaha bangkit, tetapi tubuhnya sangat lemah hingga tidak mampu untuk berdiri. Pada saat itu ia pun mendengar suara takbir mereka yang sedang menunaikan salat. Kedua matanya berlinang, tenggelam dalam kebahagiaan saat mengalami detik-detik napas terakhir.
Ummu `Iyasy, Pelayan Rasulullah datang memasuki ruangan dan segera ia sadari Ummu Kultsum sedang mengalami sakaratulmaut. Ummu `Iyasy lantas memanggil kaum muslimin yang sedang berada di masjid. Sang suami Ummu Kultsum, Utsman ibn Affan, bergegas pulang ke rumah dan ia menemukan Ummu Kultsum yang sedang mengalami sakaratulmaut.
Dengan perasaan penuh iba, Dzun Nurain memanggil-manggil sang istri. Utsman sangat terpukul atas meninggalnya Ummu Kultsum. Pasalnya, dengan begitu, dirinya tidak bisa mendapat keturunan dari Rasulullah.
Datanglah Rasulullah, Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibn Khaththab, dan Ali ibn Abi Thalib serta sejumlah sahabat lainnya. Rasulullah segera menghampiri sang putri yang sedang menghadapi sakaratulmaut. Kedua mata beliau pun berlinang sementara bibirnya tidak henti-hentinya memanjatkan doa keselamatan bagi putrinya.
Tidak lama kemudian, masuklah Asma` binti `Umais, istri Abu Bakar, dan Shafiyah binti Abdul Muththalib. Mereka pun menangis berlinang air mata penuh kasih.
Selanjutnya, Ummu `Athiyah menggendong jenazah Ummu Kultsum untuk dimandikan. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Mandikanlah secara ganjil: tiga kali, lima kali, atau lebih dari itu.”
Rasulullah memberikan kainnya kepada mereka untuk mengafani jenazah sang putri. Para sahabat kemudian memikul jenazah itu menuju masjid. Para istri Rasulullah menggiringi keberangkatan itu dengan tangisan. Fathimah az-Zahra pun tidak bisa menahan tangis atas kepergian saudara tercintanya itu.