Jejak Sayyidah Ruqayyah dan Nasib Ummu Kultsum Putri Rasulullah
Jum'at, 29 Mei 2020 - 17:30 WIB
Sayyidah Khadijah Wafat
Setelah dicerai, Ummu Kultsum tinggal bersama adik kecilnya, Fathimah , dalam rumah sang ayah, Muhammad Rasulullah, di Makkah. Mereka menemani sang ibu Khadijah Ummul Mukminin r.a. dalam menanggung beban kehidupan dan meringankan kepedihan sang ayah karena gangguan kaum Quraisy.
Kebodohan kaum Quraisy telah mencapai puncaknya dalam bentuk penyiksaan terhadap Rasulullah dan kaum muslimin yang menjadi pengikut beliau.
Penyiksaan itu semakin keras setelah Hamzah ibn Abdul Muththalib menyatakan diri masuk Islam lalu diikuti oleh Umar ibn Khaththab r.a.
Ketika telah kehabisan akal, kaum Quraisy menawarkan kepada Bani Abdi Manaf untuk menyerahkan Rasulullah kepada mereka dengan diyat yang berlipat ganda. Namun, Bani Abdi Manaf menolak tawaran tersebut.
Selanjutnya, mereka menawarkan kepada Abu Thalib bahwa mereka akan memberikan pemuda yang paling terhormat di antara seluruh pemuda Quraisy asalkan Abu Thalib mau menyerahkan keponakannya, Muhammad SAW kepada mereka.
Namun, Abu Thalib menjawab, “Aku heran kepada kalian, kalian berikan anak kalian untuk aku beri makan sementara aku berikan putraku untuk kalian bunuh!”
Setelah melihat sikap Abu Thalib, mereka sepakat untuk mengucilkan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, dua anak Abdu Manaf, dan mengusir mereka dari bumi Makkah serta menekan kehidupan mereka.
Kaum Quraisy tidak boleh menjual kepada atau membeli apa pun dari Bani Hasyim sampai mereka mau menyerahkan Rasulullah untuk dibunuh. Mereka menulis kesepakatan tersebut dalam sebuah dokumen yang digantungkan di pintu Kakbah.
Akibatnya, Bani Hasyim mengungsi ke tanah Abu Thalib, diikuti para Bani Muththalib, baik yang muslim maupun kafir, kecuali Abu Lahab yang bergabung bersama kelompok Quraisy.
Dalam pemboikotan ini, kaum muslimin dan Bani Hasyim yang berpihak kepada mereka mengalami kesulitan serta tekanan ekonomi dan sosial yang sangat berat.
Bahkan, mereka sampai memakan daun-daun pepohonan. Mereka bertahan dalam keadaan demikian sekitar tiga tahun tanpa ada bekal yang sampai kepada mereka, kecuali yang datang secara diam-diam.
Menggambarkan kelaparan ini, Sa`d ibn Abi Waqqash menceritakan, “Aku mengalami kelaparan sampai suatu malam aku menyentuh sesuatu yang basah lalu kuambil dan kumasukkan ke dalam mulut. Sampai saat ini, aku tidak tahu apakah sesuatu itu.”
Mereka menceritakan bahwa Hisyam ibn `Amar ibn Rabi`ah al-`Amiri pada suatu malam mengirim seekor unta yang mengangkut makanan. Ketika unta itu memasuki daerah kaum muslimin, Hisyam melepaskan tali kekang unta dan menghelanya.
Unta itu pun membawa masuk makanan yang diangkutnya ke tengah-tengah Bani Hasyim dan Bani Muththalib.
Di tengah peristiwa pemboikotan itu, Ummu Kultsum r.a. harus memikul tanggung jawab yang paling berat. Sang ibu yang suci, Khadijah, jatuh sakit hingga terbaring di atas ranjang karena sakitnya kian parah.
Sementara itu, adik kecilnya, Fathimah az-Zahra, sangat membutuhkan perhatian dan perlindungan. Tidak ada orang lain selain dirinya yang mungkin memberikan perawatan kepada sang ibu dan memberikan perhatian kepada adiknya, ditambah dengan tugas untuk meringankan beban duka dan kesedihan sang ayah, Rasulullah.
Setelah dicerai, Ummu Kultsum tinggal bersama adik kecilnya, Fathimah , dalam rumah sang ayah, Muhammad Rasulullah, di Makkah. Mereka menemani sang ibu Khadijah Ummul Mukminin r.a. dalam menanggung beban kehidupan dan meringankan kepedihan sang ayah karena gangguan kaum Quraisy.
Kebodohan kaum Quraisy telah mencapai puncaknya dalam bentuk penyiksaan terhadap Rasulullah dan kaum muslimin yang menjadi pengikut beliau.
Penyiksaan itu semakin keras setelah Hamzah ibn Abdul Muththalib menyatakan diri masuk Islam lalu diikuti oleh Umar ibn Khaththab r.a.
Ketika telah kehabisan akal, kaum Quraisy menawarkan kepada Bani Abdi Manaf untuk menyerahkan Rasulullah kepada mereka dengan diyat yang berlipat ganda. Namun, Bani Abdi Manaf menolak tawaran tersebut.
Selanjutnya, mereka menawarkan kepada Abu Thalib bahwa mereka akan memberikan pemuda yang paling terhormat di antara seluruh pemuda Quraisy asalkan Abu Thalib mau menyerahkan keponakannya, Muhammad SAW kepada mereka.
Namun, Abu Thalib menjawab, “Aku heran kepada kalian, kalian berikan anak kalian untuk aku beri makan sementara aku berikan putraku untuk kalian bunuh!”
Setelah melihat sikap Abu Thalib, mereka sepakat untuk mengucilkan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, dua anak Abdu Manaf, dan mengusir mereka dari bumi Makkah serta menekan kehidupan mereka.
Kaum Quraisy tidak boleh menjual kepada atau membeli apa pun dari Bani Hasyim sampai mereka mau menyerahkan Rasulullah untuk dibunuh. Mereka menulis kesepakatan tersebut dalam sebuah dokumen yang digantungkan di pintu Kakbah.
Akibatnya, Bani Hasyim mengungsi ke tanah Abu Thalib, diikuti para Bani Muththalib, baik yang muslim maupun kafir, kecuali Abu Lahab yang bergabung bersama kelompok Quraisy.
Dalam pemboikotan ini, kaum muslimin dan Bani Hasyim yang berpihak kepada mereka mengalami kesulitan serta tekanan ekonomi dan sosial yang sangat berat.
Bahkan, mereka sampai memakan daun-daun pepohonan. Mereka bertahan dalam keadaan demikian sekitar tiga tahun tanpa ada bekal yang sampai kepada mereka, kecuali yang datang secara diam-diam.
Menggambarkan kelaparan ini, Sa`d ibn Abi Waqqash menceritakan, “Aku mengalami kelaparan sampai suatu malam aku menyentuh sesuatu yang basah lalu kuambil dan kumasukkan ke dalam mulut. Sampai saat ini, aku tidak tahu apakah sesuatu itu.”
Mereka menceritakan bahwa Hisyam ibn `Amar ibn Rabi`ah al-`Amiri pada suatu malam mengirim seekor unta yang mengangkut makanan. Ketika unta itu memasuki daerah kaum muslimin, Hisyam melepaskan tali kekang unta dan menghelanya.
Unta itu pun membawa masuk makanan yang diangkutnya ke tengah-tengah Bani Hasyim dan Bani Muththalib.
Di tengah peristiwa pemboikotan itu, Ummu Kultsum r.a. harus memikul tanggung jawab yang paling berat. Sang ibu yang suci, Khadijah, jatuh sakit hingga terbaring di atas ranjang karena sakitnya kian parah.
Sementara itu, adik kecilnya, Fathimah az-Zahra, sangat membutuhkan perhatian dan perlindungan. Tidak ada orang lain selain dirinya yang mungkin memberikan perawatan kepada sang ibu dan memberikan perhatian kepada adiknya, ditambah dengan tugas untuk meringankan beban duka dan kesedihan sang ayah, Rasulullah.