Kisah Nabi Muhammad (2): Ketika Abu Bakar Menaruh Cinta yang Tak Biasa
Senin, 06 September 2021 - 14:03 WIB
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah sosok terpuji yang menempati posisi puncak dalam derajat sosial, keluhuran budi dan kebaikan. Kejujuran dan akhlak luhur yang melekat pada diri Rasulullah membuat para sahabat jatuh cinta dan berkorban untuk beliau.
Seperti kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq bin Abu Quhafah yang pernah babak belur namun masih memikirkan keadaan Rasulullah SAW. Abu Bakar adalah salah satu pemeluk Islam awal, sahabat utama Nabi, dan khalifah pertama sepeninggal Nabi Muhammad mangkat.
Kedudukan Rasulullah di sisi para sahabat ibarat ruh dan jiwa dan semua urusan beliau menempati hati dan mata mereka. Cinta yang tulus terhadap diri beliau mengalir terhadap beliau bak aliran air ke dataran rendah. Keterpikatan hati mereka terhadap beliau laksana tarikan magnet terhadap besi.
Sebagai implikasi dari rasa cinta ini membuat mereka tidak gentar bila leher harus terpenggal, kuku terkupas atau ditusuk oleh duri. Dikisahkan, suatu hari di Mekkah, Abu Bakar pernah diinjak dan dipukul dengan keras.
Di tengah kondisi seperti itu, 'Utbah bin Rabi'ah mendekatinya sembari memukulinya lagi dengan kedua terompahnya yang tebal dan melayangkannya ke arah wajahnya. Tidak cukup di situ, dia kemudian melompat di atas badannya dan jatuh tepat di atas perut Abu Bakar hingga wajahnya bonyok, tidak bisa diketahui lagi mana letak hidung dari wajahnya.
Setelah itu, dia diangkut dengan menggunakan bajunya oleh suku Bani Tamim kemudian dicampakkan ke rumahnya. Mereka sama sekali tidak menyangsikan bahwa dia pasti sudah tidak bernyawa. Saat hari beranjak sore, dia tersadar dan berbicara: "Apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?"
Mereka mencibirnya dengan lisan mereka dan mengumpatinya, lalu berdiri dan berkata kepada ibunya, Ummul Khair: "Terserah, apa yang akan engkau lakukan; memberinya makan atau minum".
Ketika sang ibu hanya tinggal berdua saja dengan anaknya, dia membujuknya agar mau makan atau minum. Tetapi, justru sang anak malah berkata: "Apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?"
Ibunya menjawab: "Demi Allah! aku tidak tahu sama sekali tentang sahabatmu itu". Dia berkata: "Kalau begitu, pergilah menjumpai Ummu Jamil binti al-Khatthab lalu tanyakanlah kepadanya".
Sang ibu pergi keluar hingga sampai ke rumah Ummu Jamil, lantas berkata: "Sesungguhnya Abu Bakar bertanya kepadamu tentang Muhammad bin ‘Abdullah ". Dia menjawab: "Aku tidak kenal siapa Abu Bakar dan juga Muhammad bin Abdullah. Jika engkau ingin aku menyertaimu menemui anakmu, akan aku lakukan". Dia menjawab: "Ya".
Akhirnya keduanya berlalu hingga akhirnya mendapati Abu Bakar dalam keadaan terkapar tak berdaya. Ummu Jamil mendekatinya seraya berteriak mengumumkan kepada orang banyak: "Demi Allah! sesungguhnya kaum yang melakukan tindakan ini terhadapmu adalah orang yang fasiq dan kafir. Sungguh, aku berharap semoga Allah membalaskan untukmu terhadap mereka".
Abu Bakar malah berkata lagi: "Apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?". Ummu Jamil berkata: "Ini ibumu ikut mendengarkan". Dia berkata: "Tidak usah khawatir terhadapnya." Dia menjawab: "Beliau shallallahu 'alaihi wasallam dalam kondisi sehat dan bugar". Dia berkata lagi: "Dimana beliau sekarang?" "Ada di Dar Ibnu al-Arqam," jawabnya.
Dia berkata lagi: "Aku bersumpah kepada Allah untuk tidak mencicipi makanan dan meminum minuman hingga aku bertemu Rasulullah".
Keduanya mengulur-ulur waktu sejenak, hingga bilamana kondisi Abu Bakar sudah tenang dan orang-orang mulai sepi, keduanya berangkat keluar membawanya dengan dipapah. Lalu dipertemukanlah dirinya dengan Rasulullah yang mulia".
Begitulah bentuk kecintaan yang sangat langka dan pengorbanan Abu Bakar kepada Baginda Nabi yang mulia. Rasulullah juga menaruh cinta dan kasih sayang kepada para sahabatnya.
Dalam satu Hadid diceritakan, seorang A'raby datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya: "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu ada orang mencintai sesuatu kaum, tetapi ia belum pernah dapat menyamai amalan mereka?"
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
الْمرْءُ مع منْ أَحَبَّ يَوْمَ الْقِيامةِ
"Seseorang itu beserta orang yang dicintainya pada hari Kiamat." (HR. at-Tirmidzi)
Referensi:
Sirah Nabawi karya Syekh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury bersumber dari Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
Seperti kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq bin Abu Quhafah yang pernah babak belur namun masih memikirkan keadaan Rasulullah SAW. Abu Bakar adalah salah satu pemeluk Islam awal, sahabat utama Nabi, dan khalifah pertama sepeninggal Nabi Muhammad mangkat.
Kedudukan Rasulullah di sisi para sahabat ibarat ruh dan jiwa dan semua urusan beliau menempati hati dan mata mereka. Cinta yang tulus terhadap diri beliau mengalir terhadap beliau bak aliran air ke dataran rendah. Keterpikatan hati mereka terhadap beliau laksana tarikan magnet terhadap besi.
Sebagai implikasi dari rasa cinta ini membuat mereka tidak gentar bila leher harus terpenggal, kuku terkupas atau ditusuk oleh duri. Dikisahkan, suatu hari di Mekkah, Abu Bakar pernah diinjak dan dipukul dengan keras.
Di tengah kondisi seperti itu, 'Utbah bin Rabi'ah mendekatinya sembari memukulinya lagi dengan kedua terompahnya yang tebal dan melayangkannya ke arah wajahnya. Tidak cukup di situ, dia kemudian melompat di atas badannya dan jatuh tepat di atas perut Abu Bakar hingga wajahnya bonyok, tidak bisa diketahui lagi mana letak hidung dari wajahnya.
Setelah itu, dia diangkut dengan menggunakan bajunya oleh suku Bani Tamim kemudian dicampakkan ke rumahnya. Mereka sama sekali tidak menyangsikan bahwa dia pasti sudah tidak bernyawa. Saat hari beranjak sore, dia tersadar dan berbicara: "Apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?"
Mereka mencibirnya dengan lisan mereka dan mengumpatinya, lalu berdiri dan berkata kepada ibunya, Ummul Khair: "Terserah, apa yang akan engkau lakukan; memberinya makan atau minum".
Ketika sang ibu hanya tinggal berdua saja dengan anaknya, dia membujuknya agar mau makan atau minum. Tetapi, justru sang anak malah berkata: "Apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?"
Ibunya menjawab: "Demi Allah! aku tidak tahu sama sekali tentang sahabatmu itu". Dia berkata: "Kalau begitu, pergilah menjumpai Ummu Jamil binti al-Khatthab lalu tanyakanlah kepadanya".
Sang ibu pergi keluar hingga sampai ke rumah Ummu Jamil, lantas berkata: "Sesungguhnya Abu Bakar bertanya kepadamu tentang Muhammad bin ‘Abdullah ". Dia menjawab: "Aku tidak kenal siapa Abu Bakar dan juga Muhammad bin Abdullah. Jika engkau ingin aku menyertaimu menemui anakmu, akan aku lakukan". Dia menjawab: "Ya".
Akhirnya keduanya berlalu hingga akhirnya mendapati Abu Bakar dalam keadaan terkapar tak berdaya. Ummu Jamil mendekatinya seraya berteriak mengumumkan kepada orang banyak: "Demi Allah! sesungguhnya kaum yang melakukan tindakan ini terhadapmu adalah orang yang fasiq dan kafir. Sungguh, aku berharap semoga Allah membalaskan untukmu terhadap mereka".
Abu Bakar malah berkata lagi: "Apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?". Ummu Jamil berkata: "Ini ibumu ikut mendengarkan". Dia berkata: "Tidak usah khawatir terhadapnya." Dia menjawab: "Beliau shallallahu 'alaihi wasallam dalam kondisi sehat dan bugar". Dia berkata lagi: "Dimana beliau sekarang?" "Ada di Dar Ibnu al-Arqam," jawabnya.
Dia berkata lagi: "Aku bersumpah kepada Allah untuk tidak mencicipi makanan dan meminum minuman hingga aku bertemu Rasulullah".
Keduanya mengulur-ulur waktu sejenak, hingga bilamana kondisi Abu Bakar sudah tenang dan orang-orang mulai sepi, keduanya berangkat keluar membawanya dengan dipapah. Lalu dipertemukanlah dirinya dengan Rasulullah yang mulia".
Begitulah bentuk kecintaan yang sangat langka dan pengorbanan Abu Bakar kepada Baginda Nabi yang mulia. Rasulullah juga menaruh cinta dan kasih sayang kepada para sahabatnya.
Dalam satu Hadid diceritakan, seorang A'raby datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya: "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu ada orang mencintai sesuatu kaum, tetapi ia belum pernah dapat menyamai amalan mereka?"
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
الْمرْءُ مع منْ أَحَبَّ يَوْمَ الْقِيامةِ
"Seseorang itu beserta orang yang dicintainya pada hari Kiamat." (HR. at-Tirmidzi)
Referensi:
Sirah Nabawi karya Syekh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury bersumber dari Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
(rhs)