Umair bin Saad, Gubernur Miskin yang Menenun Jubahnya Sendiri
Senin, 13 April 2020 - 15:41 WIB
SUATU ketika, Khalifah Umar bin Khattab mengutus Umair bin Sa’ ad untuk menjadi gubernur Himsha. Anehnya, setelah memerintah selama satu tahun Umar tidak pernah mendapat kabar darinya sedikit pun. Lalu Umar meminta kepada sekretarisnya, “Tulislah surat untuk Umair, demi Allah dia telah mengkhianati kita.”
Surat itu berbunyi, “Jika engkau telah menerima suratku ini maka segeralah menghadap membawa pajak kaum muslimin, langsung setelah engkau melihat surat ini.”
Umair bergegas mengambil kantong kulitnya. Ia memasukkan bekal perjalanannya dan tempat makannya. Kemudian menggantungkan peralatan-peralatan tersebut pada bahunya, juga membawa tongkat besi. Ia berjalan kaki dari Himsha menuju Madinah.
Diriwayatkan bahwa saat tiba di Madinah beliau kelihatan pucat wajahnya, lusuh dengan rambut panjang. Kemudian beliau menghadap Umar seraya mengucapkan salam, “Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh wahai Amirul Mukminin.”
Setelah menjawab salam Umair, Umar bertanya, “Bagaimana kabarmu?”
Umair menjawab, “Sebagaimana yang Anda lihat! Bukankah badanku sehat, darahku suci, aku membawa kebaikan isi dunia!” .
Umar bertanya, “Apa yang kau bawa?” (Umar Rhadiyallahu ‘anhu mengira ia telah membawa harta pajak).
Umair menjawab, “Aku membawa kantong kulit, tas tempat aku menaruh bekal perjalananku; mangkuk besar yang aku gunakan untuk makan atau aku jadikan sebagai tempat air ketika aku mandi dan mencuci pakaian, ember tempat aku membawa air wudhu dan air minumku, tongkat yang aku gunakan untuk bersandar atau melawan musuh jika sewaktu-waktu bertemu. Demi Allah sesungguhnya tiada barang dunia kecuali telah aku bawa bersama bawaanku. ”
Umar bertanya, “Kamu datang kemari dengan berjalan kaki?”
Umair menjawab, “Betul.”
Umar bertanya, “Apakah tidak ada orang yang memberi kendaraan kepadamu untuk engkau tunggangi?”
Umair menjawab, . “Mereka tidak memberi karena aku tidak meminta mereka untuk itu.” Umar berkomentar, “Mereka adalah seburuk-buruknya orang Islam.”
Umair berkata kepada Umar, “Bertawakallah kepada Allah wahai Umar, sesungguhya Allah melarangmu berghibah. Padahal aku senantiasa melihat mereka melaksanakan salat Subuh.”
Umar berkata, “Lalu mana laporanmu? Dan apa yang telah engkau lakukan?”
Umair menjawab, “Apa maksud pertanyaanmu wahai Amirul Mukminin?”
Umar mengucapkan, “Subhanallah!”
Umair berkata, “Kalau bukan karena aku khawatir membuatmu susah hati aku tidak akan melaporkan kepadamu. Engkau mengutusku ke suatu wilayah sehingga setibanya aku di negeri itu aku mengumpulkan orang-orang saleh dari penduduk tersebut, aku memungut pajak dari mereka, sampai jika mereka telah mengumpulkannya, maka aku bagikan kepada yang berhak. Kalau engkau berhak menerima bagiannya pasti aku membawakan bagian itu untukmu.”
Umar berkata, “Lalu engkau datang tidak membawa sesuatu? ”
Umair menjawab, “Tidak.”
Umar berkata, “Perpanjanglah masa tugas Umair.”
Surat itu berbunyi, “Jika engkau telah menerima suratku ini maka segeralah menghadap membawa pajak kaum muslimin, langsung setelah engkau melihat surat ini.”
Umair bergegas mengambil kantong kulitnya. Ia memasukkan bekal perjalanannya dan tempat makannya. Kemudian menggantungkan peralatan-peralatan tersebut pada bahunya, juga membawa tongkat besi. Ia berjalan kaki dari Himsha menuju Madinah.
Diriwayatkan bahwa saat tiba di Madinah beliau kelihatan pucat wajahnya, lusuh dengan rambut panjang. Kemudian beliau menghadap Umar seraya mengucapkan salam, “Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh wahai Amirul Mukminin.”
Setelah menjawab salam Umair, Umar bertanya, “Bagaimana kabarmu?”
Umair menjawab, “Sebagaimana yang Anda lihat! Bukankah badanku sehat, darahku suci, aku membawa kebaikan isi dunia!” .
Umar bertanya, “Apa yang kau bawa?” (Umar Rhadiyallahu ‘anhu mengira ia telah membawa harta pajak).
Umair menjawab, “Aku membawa kantong kulit, tas tempat aku menaruh bekal perjalananku; mangkuk besar yang aku gunakan untuk makan atau aku jadikan sebagai tempat air ketika aku mandi dan mencuci pakaian, ember tempat aku membawa air wudhu dan air minumku, tongkat yang aku gunakan untuk bersandar atau melawan musuh jika sewaktu-waktu bertemu. Demi Allah sesungguhnya tiada barang dunia kecuali telah aku bawa bersama bawaanku. ”
Umar bertanya, “Kamu datang kemari dengan berjalan kaki?”
Umair menjawab, “Betul.”
Umar bertanya, “Apakah tidak ada orang yang memberi kendaraan kepadamu untuk engkau tunggangi?”
Umair menjawab, . “Mereka tidak memberi karena aku tidak meminta mereka untuk itu.” Umar berkomentar, “Mereka adalah seburuk-buruknya orang Islam.”
Umair berkata kepada Umar, “Bertawakallah kepada Allah wahai Umar, sesungguhya Allah melarangmu berghibah. Padahal aku senantiasa melihat mereka melaksanakan salat Subuh.”
Umar berkata, “Lalu mana laporanmu? Dan apa yang telah engkau lakukan?”
Umair menjawab, “Apa maksud pertanyaanmu wahai Amirul Mukminin?”
Umar mengucapkan, “Subhanallah!”
Umair berkata, “Kalau bukan karena aku khawatir membuatmu susah hati aku tidak akan melaporkan kepadamu. Engkau mengutusku ke suatu wilayah sehingga setibanya aku di negeri itu aku mengumpulkan orang-orang saleh dari penduduk tersebut, aku memungut pajak dari mereka, sampai jika mereka telah mengumpulkannya, maka aku bagikan kepada yang berhak. Kalau engkau berhak menerima bagiannya pasti aku membawakan bagian itu untukmu.”
Umar berkata, “Lalu engkau datang tidak membawa sesuatu? ”
Umair menjawab, “Tidak.”
Umar berkata, “Perpanjanglah masa tugas Umair.”