Kelahiran Bayi Prematur Dalam Pandangan Syariat

Senin, 27 Desember 2021 - 14:13 WIB
“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”. (QS. Al-Ahqaf: 15)

Maka batas minimal bayi bisa lahir adalah: 30 bulan – 24 bulan [2 tahun]= 6 bulan

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan surat Al-Ahqaf ayat 15,:

“ Ali radhiyallahu ‘anhu berdalil bahwa ayat ini [Al-ahqaf: 15] bersama ayat dalam surat surat Luqman {“dan penyapihannya selama dua tahun”} dan surat firman-Nya {“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”} [AL-Baqarah: 223] bahwa batasan minimal lama waktu kehamilan adalah 6 bulan. Ini adalah kesimpulan yang kokoh dan shahih. Disepakati oleh Ustman dan sejumlah sahabat radhiallhu ‘anhu.” [Tafsir Al-Quran Al-Adzhim 7/280, Darul Thayyibah, cet. Ke-2, 1420 H, Asy-Syamilah]

Untuk itu, menurut dr Raehanul Bahraen, jika ulama perhatian terhadap suatu hal, maka pasti ada kepentingan syariat mengenai hukum suatu hal dalam perkara tersebut. Begitu juga dengan batasan prematur, maka kepentingan syariat adalah untuk mengetahui siapa ayah dari anak yang dikandung oleh seorang ibu, dan batasan prematur adalah 6 bulan. Misalnya:

1. Jika seorang lelaki menikahi wanita, ternyata wanita tersebut melahirkan ketika usia pernikahan baru berjalan 4 bulan. Maka bisa dipastikan anak tersebut bukan anak lelaki tersebut. Wanita tersebut telah hamil dahulu sebelum menikah. Berbeda halnya jika wanita melahirkan genap 6 bulan atau lebih.

2. Misalnya suaminya baru saja pulang setelah lama bersafar keluar negeri misalnya 1 tahun. Kemudian bertemu dengan istrinya di rumahnya, 4,5 bulan kemudian sejak tinggal bersama, istrinya melahirkan anak. Maka bisa dipastikan bahwa anak yang lahir bukan anak suami tersebut. Karena istrinya kemungkinan besar sudah hamil sebelum suaminya datang. Wanita itu telah berzina dan mendapat hukuman rajam [oleh pemerintah/waliyul ‘amr yang sah]

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab fiqh, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata,

“Maka anak [dinasabkan] kepada pemilik ranjang [suami yang tinggal bersamanya] kecuali dengan salah satu dari dua perkara: [pertama] li’aan [suami menuduh istrinya berzina, kemudian ada bukti 4 laki-laki adil atau keduanya saling bersumpah, maka anak dinasabkan kepada Ibunya, pent],[kedua] ketidakmungkinan istri didatangi karena kurang dari enam bulan sejak menikah dan tinggal dengannya, atau setelah berpisah dalam jangka waktu yang diketahui bahwa anak tersebut bukan anaknya.” [Manhajus Salikin wa Taudhihul fiqhi fid din hal. 216, Darul Wathan, Ta’liq: Muhammad bi Abdul Aziz Al Khudhairi]



Wallahu A'lam
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(wid)
Halaman :
Hadits of The Day
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sering berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari empat perkara, yaitu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu', dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak didengar.

(HR. Ibnu Majah No. 3827)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More