Mereka yang Meninggalkan Tahta dan Larut dalam Pertobatan
Senin, 27 Desember 2021 - 17:44 WIB
Pada abad kedua Hijriyah, seorang ahli tasawuf lahir dari generasi tabiin. Dialah Syaikh Ibrahim bin Adham (718-782). Baginya, tarekat lebih utama daripada takhta. Sang salik lahir di tengah komunitas Arab Kota Balkh, daerah Khurasan timur (kini bagian dari Afghanistan).
Menurut Imam Bukhari (810-870), sufi tersebut masih keturunan sahabat Rasulullah SAW, Al-Faruq Umar bin Khattab (584-644). Sepanjang hayatnya, sang syaikh telah berkelana ke banyak kota, termasuk Baitul Makdis. Ia wafat dalam usia kira-kira 64 tahun.
Dikisahkan, Ibrahim bin Adham pernah menjadi raja atau anak seorang raja Khurasan sebelum mendalami tasawuf. N Hanif dalam Biographical Encyclopaedia of Sufis: Central Asia and Middle East (2002) mengungkapkan, orang pertama yang menyematkan status raja kepada sufi tersebut ialah Ibnu Husein al-Sulami. Bahkan, sarjana Muslim dari abad ke-10 Masehi itu menyatakan, Syaikh Ibrahim pernah berjumpa dengan Nabi Khidir AS sehingga dirinya bertobat.
Rupanya bukan hanya Ibrahim bin Adham, sufi yang berlatar belakang ningrat. Imam Ibnul Jauzi dalam buku "Uyun Al-Hikayat Min Qashash Ash-Shalihin wa Nawodir Az-Zahidin" menyampaikan kisah seorang gubernur, sahabat Ibrahim bin Adham, yang akhirnya meninggalkan jabatannya memilih menjadi sufi.
Ini adalah kisah yang disampaikan Ibrahim bin Basyar. Berikut kisahnya:
Pada suatu hari saya berjalan bersama Ibrahim bin Adham di padang pasir. Hingga akhirnya kami mendapati satu kubur yang diberi tanda. Di tempat itu, Ibrahim bin Adham mendoakan penghuni kubur dan menangis.
Saya pun bertanya kepadanya, “Kubur siapa ini?”
Ia menjawab, “Ini adalah kubur Humaid bin Jabir, gubernur kota ini. Dia adalah orang yang tenggelam dalam lautan dunia. Kemudian Allah SWT mengeluarkannya darinya, dan menyelamatkannya.
Saya mendengar bahwa suatu hari dia bersenang-senang dengan kenikmatan kerajaannya dan dunianya serta fitnahnya, selanjutnya dia tertidur di tempat hiburannya itu bersama orang-orang terdekat dari keluarganya.
Dalam tidurnya dia bermimpi melihat seseorang yang sedang memegang buku, kemudian dia memberikan buku itu kepadanya, dan dia pun membukanya.
Buku itu tertulis dengan huruf emas, sebagai berikut: Janganlah mementingkan sesuatu yang fana dibandingkan yang kekal, janganlah engkau tertipu dengan kerajaanmu, kedudukanmu, kekuasaanmu, banyaknya pembantumu, hamba-hamba sahayamu, dan kenikmatan syahwatmu. Karena yang engkau rasakan itu memang terasa nyata, padahal hakikatnya adalah fatamorgana.
Benar dia adalah kerajaan, namun setelahnya adalah kebinasaan. Dia adalah kegembiraan dan kebahagiaan, namun dia hanyalah permainan dan tipu daya, dia adalah satu hari jika memang dia terikat dengan hari esok. Karena itu, segeralah kembali kepada perintah Allah. Karena Allah berfirman:
“Dan bersegeralah engkau kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang orang yang bertakwa.” ( QS Ali Imran : 133)
Maka, sang raja pun tersentak kaget. Dia berkata, ini adalah peringatan dari Allah SWT, dan nasihat. Lalu, dia segera meninggalkan kekuasaannya tanpa diketahui orang-orang. Selanjutnya, dia naik ke gunung ini dan beribadah di sini.
Saat saya mendengar kisahnya, saya pun mendatanginya dan menanyakan keadaannya. Dia pun menceritakan kepadaku tentang awal perjalanan ibadahnya. Saya pun bercerita kepadanya tentang awal perjalanan ibadahku. Dan saya sering mengunjunginya, hingga dia meninggal dunia. Kemudian dia dikuburkan di sini. Dan ini adalah kuburnya, semoga Allah merahmatinya.”
Menurut Imam Bukhari (810-870), sufi tersebut masih keturunan sahabat Rasulullah SAW, Al-Faruq Umar bin Khattab (584-644). Sepanjang hayatnya, sang syaikh telah berkelana ke banyak kota, termasuk Baitul Makdis. Ia wafat dalam usia kira-kira 64 tahun.
Dikisahkan, Ibrahim bin Adham pernah menjadi raja atau anak seorang raja Khurasan sebelum mendalami tasawuf. N Hanif dalam Biographical Encyclopaedia of Sufis: Central Asia and Middle East (2002) mengungkapkan, orang pertama yang menyematkan status raja kepada sufi tersebut ialah Ibnu Husein al-Sulami. Bahkan, sarjana Muslim dari abad ke-10 Masehi itu menyatakan, Syaikh Ibrahim pernah berjumpa dengan Nabi Khidir AS sehingga dirinya bertobat.
Rupanya bukan hanya Ibrahim bin Adham, sufi yang berlatar belakang ningrat. Imam Ibnul Jauzi dalam buku "Uyun Al-Hikayat Min Qashash Ash-Shalihin wa Nawodir Az-Zahidin" menyampaikan kisah seorang gubernur, sahabat Ibrahim bin Adham, yang akhirnya meninggalkan jabatannya memilih menjadi sufi.
Ini adalah kisah yang disampaikan Ibrahim bin Basyar. Berikut kisahnya:
Pada suatu hari saya berjalan bersama Ibrahim bin Adham di padang pasir. Hingga akhirnya kami mendapati satu kubur yang diberi tanda. Di tempat itu, Ibrahim bin Adham mendoakan penghuni kubur dan menangis.
Saya pun bertanya kepadanya, “Kubur siapa ini?”
Ia menjawab, “Ini adalah kubur Humaid bin Jabir, gubernur kota ini. Dia adalah orang yang tenggelam dalam lautan dunia. Kemudian Allah SWT mengeluarkannya darinya, dan menyelamatkannya.
Saya mendengar bahwa suatu hari dia bersenang-senang dengan kenikmatan kerajaannya dan dunianya serta fitnahnya, selanjutnya dia tertidur di tempat hiburannya itu bersama orang-orang terdekat dari keluarganya.
Dalam tidurnya dia bermimpi melihat seseorang yang sedang memegang buku, kemudian dia memberikan buku itu kepadanya, dan dia pun membukanya.
Buku itu tertulis dengan huruf emas, sebagai berikut: Janganlah mementingkan sesuatu yang fana dibandingkan yang kekal, janganlah engkau tertipu dengan kerajaanmu, kedudukanmu, kekuasaanmu, banyaknya pembantumu, hamba-hamba sahayamu, dan kenikmatan syahwatmu. Karena yang engkau rasakan itu memang terasa nyata, padahal hakikatnya adalah fatamorgana.
Benar dia adalah kerajaan, namun setelahnya adalah kebinasaan. Dia adalah kegembiraan dan kebahagiaan, namun dia hanyalah permainan dan tipu daya, dia adalah satu hari jika memang dia terikat dengan hari esok. Karena itu, segeralah kembali kepada perintah Allah. Karena Allah berfirman:
“Dan bersegeralah engkau kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang orang yang bertakwa.” ( QS Ali Imran : 133)
Maka, sang raja pun tersentak kaget. Dia berkata, ini adalah peringatan dari Allah SWT, dan nasihat. Lalu, dia segera meninggalkan kekuasaannya tanpa diketahui orang-orang. Selanjutnya, dia naik ke gunung ini dan beribadah di sini.
Saat saya mendengar kisahnya, saya pun mendatanginya dan menanyakan keadaannya. Dia pun menceritakan kepadaku tentang awal perjalanan ibadahnya. Saya pun bercerita kepadanya tentang awal perjalanan ibadahku. Dan saya sering mengunjunginya, hingga dia meninggal dunia. Kemudian dia dikuburkan di sini. Dan ini adalah kuburnya, semoga Allah merahmatinya.”
(mhy)