Protes Masyarakat Arab Ketika Islam Mengubah Tradisi Waris Era Jahiliyah
Minggu, 09 Januari 2022 - 19:35 WIB
Pada masa jahiliyah atau masa pra-Islam, perempuan tidak dapat memperoleh warisan dari orangtuanya atau saudaranya yang meninggal. Pewaris pada masa itu hanyalah lelaki yang bisa berperang. Itulah sebabnya, orang-orang Arab yang sudah memeluk Islam pun protes ketika ayat tentang waris turun.
Dr Abdul Aziz MA dalam bukunya berjudul "Chiefdom Madinah: Kerucut Kekuasaan pada Zaman Awal Islam" menyebutkan dalam adat orang Arab, pewarisan melalui jalur keturunan ditentukan berdasarkan tingkat kedekatan pewaris dengan si mati.
Hal itu dimulai dari kedekatan hubungan sebagai anak (bunuwwah), disusul kedekatan sebagai ayah (ubuwwah), lalu kedekatan karena hubungan saudara (ukhuwwah).
Namun begitu, kata Abdul Aziz, kaidah umum menyangkut pewarisan yakni: warisan dikhususkan bagi anak laki-laki dewasa dengan syarat si anak seorang anggota pasukan perang (muhdrib).
Berhubung pewarisan hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu berperang, maka anak perempuan atau anak laki-laki yang masih kecil dan budak tidak mewarisi.
Muhammad Ali ash-Shabuni, dalam bukunya berjudul "Pembagian Waris Menurut Islam" juga menjelaskan perempuan sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya.
Bangsa Arab jahiliyah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh."
Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.
Jadi, selain hubungan keluarga (dzurriyyah), kemampuan berperang menjadi syarat utama pewarisan. Jika si mati tidak mempunyai anak laki-laki dewasa atau ayahnya lebih dulu meninggal, yang berhak mewarisi adalah saudara laki-lakinya, dan tidak demikian dengan saudara perempuannya.
Tatkala Islam datang, kaidah ini diubah, sehingga anak atau saudara perempuan berhak mewarisi—dalam fikih, hal ini dikenal istilah Irts al-Kalalah.
Sebuah riwayat menjelaskan, orang pertama pada masa jahiliah yang menetapkan bagian warisan bagi anak perempuan yaitu Dzu al-Masajid, Amir bin Jasm bin Ghanam bin Habib bin Kaab bin Yasykur. Ia membagi warisan bagi anak laki-lakinya dua kali bagian anak perempuan, dan ketika Islam datang hal ini disetujui oleh Islam.
Anak laki-laki dari ibu seorang budak (hijin) tidak boleh menjadi pewaris ayahnya yang merdeka. Budak, laki-laki atau perempuan, mutlak menjadi harta pemiliknya. Dia boleh dimanfaatkan untuk keperluan apa pun, termasuk dijual, dihibahkan, atau digauli oleh majikannya.
Selain kelahiran, jual-beli atau hibah, perbudakan juga terjadi karena lilitan utang dan peperangan—si budak adalah tawanan (harta rampasan) perang yang dijadikan budak.
Anak yang lahir dari rahim seorang budak perempuan juga menjadi kepunyaan si pemilik ibunya. Sering kali, seorang budak perempuan dipaksa tuannya melayani hasrat seksual laki-laki lain dengan imbalan harta untuk tuannya, atau agar mendapatkan anak laki-laki dari bibit unggul dalam kabilahnya.
Seorang budak tidak bisa memiliki harta, karena dia sendiri adalah harta. Tetapi, jika pemilik budak mengatakan: “engkau tidak lagi memiliki tuan”, atau “engkau adalah sa'ibah”, atau “engkau merdeka sebagai sa'ibah”, maka ketika budak itu mati dan meninggalkan harta sementara dia tidak memiliki ahli waris, harta tersebut menjadi milik mantan tuannya.
Keberatan
Ketika turun wahyu kepada Rasulullah SAW --berupa ayat-ayat tentang waris-- kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas RA Ia berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkan Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut.
Dengan nada keheranan sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepada kaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah bagian harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan? Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk mengubahnya.'
Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan musuh?'"
Baca Juga
Dr Abdul Aziz MA dalam bukunya berjudul "Chiefdom Madinah: Kerucut Kekuasaan pada Zaman Awal Islam" menyebutkan dalam adat orang Arab, pewarisan melalui jalur keturunan ditentukan berdasarkan tingkat kedekatan pewaris dengan si mati.
Hal itu dimulai dari kedekatan hubungan sebagai anak (bunuwwah), disusul kedekatan sebagai ayah (ubuwwah), lalu kedekatan karena hubungan saudara (ukhuwwah).
Namun begitu, kata Abdul Aziz, kaidah umum menyangkut pewarisan yakni: warisan dikhususkan bagi anak laki-laki dewasa dengan syarat si anak seorang anggota pasukan perang (muhdrib).
Berhubung pewarisan hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu berperang, maka anak perempuan atau anak laki-laki yang masih kecil dan budak tidak mewarisi.
Muhammad Ali ash-Shabuni, dalam bukunya berjudul "Pembagian Waris Menurut Islam" juga menjelaskan perempuan sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya.
Bangsa Arab jahiliyah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh."
Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.
Jadi, selain hubungan keluarga (dzurriyyah), kemampuan berperang menjadi syarat utama pewarisan. Jika si mati tidak mempunyai anak laki-laki dewasa atau ayahnya lebih dulu meninggal, yang berhak mewarisi adalah saudara laki-lakinya, dan tidak demikian dengan saudara perempuannya.
Tatkala Islam datang, kaidah ini diubah, sehingga anak atau saudara perempuan berhak mewarisi—dalam fikih, hal ini dikenal istilah Irts al-Kalalah.
Sebuah riwayat menjelaskan, orang pertama pada masa jahiliah yang menetapkan bagian warisan bagi anak perempuan yaitu Dzu al-Masajid, Amir bin Jasm bin Ghanam bin Habib bin Kaab bin Yasykur. Ia membagi warisan bagi anak laki-lakinya dua kali bagian anak perempuan, dan ketika Islam datang hal ini disetujui oleh Islam.
Anak laki-laki dari ibu seorang budak (hijin) tidak boleh menjadi pewaris ayahnya yang merdeka. Budak, laki-laki atau perempuan, mutlak menjadi harta pemiliknya. Dia boleh dimanfaatkan untuk keperluan apa pun, termasuk dijual, dihibahkan, atau digauli oleh majikannya.
Selain kelahiran, jual-beli atau hibah, perbudakan juga terjadi karena lilitan utang dan peperangan—si budak adalah tawanan (harta rampasan) perang yang dijadikan budak.
Anak yang lahir dari rahim seorang budak perempuan juga menjadi kepunyaan si pemilik ibunya. Sering kali, seorang budak perempuan dipaksa tuannya melayani hasrat seksual laki-laki lain dengan imbalan harta untuk tuannya, atau agar mendapatkan anak laki-laki dari bibit unggul dalam kabilahnya.
Seorang budak tidak bisa memiliki harta, karena dia sendiri adalah harta. Tetapi, jika pemilik budak mengatakan: “engkau tidak lagi memiliki tuan”, atau “engkau adalah sa'ibah”, atau “engkau merdeka sebagai sa'ibah”, maka ketika budak itu mati dan meninggalkan harta sementara dia tidak memiliki ahli waris, harta tersebut menjadi milik mantan tuannya.
Keberatan
Ketika turun wahyu kepada Rasulullah SAW --berupa ayat-ayat tentang waris-- kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas RA Ia berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkan Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut.
Dengan nada keheranan sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepada kaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah bagian harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan? Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk mengubahnya.'
Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan musuh?'"
(mhy)