Gerakan Pemurnian Islam Versus Ilmu Fiqih
Kamis, 10 Februari 2022 - 22:43 WIB
Ustaz Ahmad Sarwat Lc MA
Pengasuh Rumah Fiqih Indonesia
Dulu saya sering terbawa perasaan dengan semangat mengembalikan Islam kepada kemurnian. Di kepala saya banyak diisikan prasangka buruk bahwa agama Islam kita ini sepanjang zaman sudah dikotori oleh tangan-tangan najis yang merusak Islam.
Maka saya seolah diberi semangat untuk membela Islam dengan jalan memerangi mereka yang telah 'mengotori' Islam. Lalu apa yang dimaksud dengan kotor dalam hal ini?
Yang pertama kepada saya dijejalkan pemahaman bahwa ilmu fiqih itu kotoran. Dan mazhab-mazhab fiqih adalah buah dari kotoran-kotoran yang harus dibersihkan. Kalau perlu pakai cairan kimia yang keras, biar kotoran yang membandel pada rontok.
Islam yang murni dan bersih hanya sebatas Al-Qur'an dan Sunnah. Lebih dari itu masuk kategori kotoran, harus diperangi dan dibasmi.
Maklum dan wajar, namanya saya masih anak kecil, dijejali pola pikir macam itu lewat kanan kiri, ikut saja. Malah hidung saya mengembang bangga dan ingin jadi pahlawan kemurnian agama Islam.
Saya masih seperti itu hingga akhirnya saya terdampar di bangku kuliah Fakultas Syariah LIPIA, kampus milik Kerajaan Saudi Arabia yang berdomisili di Jakarta.
Saya diterima di Fakultas Syariah, mata kuliah utama yang saya dapat adalah ilmu fiqih dan ilmu Ushul fiqih. Berkenalan lah saya dengan berbagai Mazhab fiqih para ulama, baik Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali.
Padahal ilmu fiqih itulah yang selama ini saya anggap kotoran. Para tokoh empat Mazhab itulah yang selama ini terlanjur didoktrin kan ke saya sebagai 'tuhan yang disembah selain Allah'.
Awalnya saya mengira ini sekadar sekilas sejarah fiqih di masa awal. Ketika pembahasan selanjutnya barangkali sudah tidak lagi bawa-bawa Mazhab fiqih.
Ternyata saya keliru besar. Mazhab fiqih yang empat itu terus menerus dibahas sampai delapan semester. Mata kuliah ilmu fiqih itu diajarkan di semua semester, dari mulai masuk sampai lulus. Dan semua diajarkan dalam format perbandingan empat Mazhab.
Bahkan dalam soal ujian selalu ditanyakan pandangan fiqih dari empat Mazhab, baik soal-soal a'malussanah (mid-test) hingga niha'i (final test).
Ternyata kampus yang banyak dituduh orang sebagai sarang Wahabi itu malah memperkenalkan saya kepada fiqih empat Mazhab. Lucunya, doktor yang mengampu mata kuliah fiqih selalunya bukan orang Saudi, tapi rata-rata dari Universitas Al-Azhar Mesir.
Alih-alih jadi Wahabi, orientasi fiqih saya tetap pada fiqih Syafi'i, dengan nilai tambah bisa membandingkan dengan tiga mazhab lainnya. Saya tidak kenal istilah Mazhab Qur'an Sunnah, apalagi istilah 'manhaj salaf'.
Karena memang tidak pernah diajarkan dalam perkuliahan formal. Dari semua mata kuliah yang diajarkan, tidak ada yang berjudul: 'Manhaj Salaf'. Kalau pun kemiripan istilah, itu adalah: Manahijul Bahts alias metodologi penelitian.
Jadi kalau pun ada lulusan LIPIA tapi tidak bermazhab atau anti Mazhab, saya pasti terheran-heran. Kok bisa? Ada beberapa kemungkinan.
Pertama, kuliah di LIPIA tapi tidak sampai jenjang fakultas Syariah. Mungkin hanya kelas persiapan bahasa, entah itu I'dad atau takmili.
Kedua, mungkin sampai jenjang kuliah, tapi fakultasnya bukan syariah. Boleh jadi program diploma mengajar bahasa Arab, atau sekarang katanya ada fakultas managemen dan lainnya.
Ketiga, mungkin dia lulus Fakultas Syariah, tapi jauh sebelum masuk kuliah, manhajnya sudah terpola dengan model-model anti mazhab. Jadi selama 8 semester dia 'taqiyah' terus-terusan.
Memang kebanyakan teman saya yang duduk di bangku syariah, latar belakang pendidikannya kebanyakan yang pada anti Mazhab.
Jadi kalau sudah lulus masih saja anti Mazhab, namanya pergi balok pulang balok. Kuliah 8 semester nggak ada yang membekas sedikit pun.
Lagian kalau saya perhatikan lebih jauh, nyaris hampir semua teman saya satu almamater itu di kemdian hari memang tidak menekuni ilmu yang pernah diajarkan di kampus.
Jadi ustadz sih, tapi ngajarnya aneh-aneh. Tidak ngajar fiqih atau Ushul fiqih. Kayak mahasiswa kampus pertanian yang lulus tidak bertani tapi malah terjun ke dunia yang sama sekali berbeda.
Pengasuh Rumah Fiqih Indonesia
Dulu saya sering terbawa perasaan dengan semangat mengembalikan Islam kepada kemurnian. Di kepala saya banyak diisikan prasangka buruk bahwa agama Islam kita ini sepanjang zaman sudah dikotori oleh tangan-tangan najis yang merusak Islam.
Maka saya seolah diberi semangat untuk membela Islam dengan jalan memerangi mereka yang telah 'mengotori' Islam. Lalu apa yang dimaksud dengan kotor dalam hal ini?
Yang pertama kepada saya dijejalkan pemahaman bahwa ilmu fiqih itu kotoran. Dan mazhab-mazhab fiqih adalah buah dari kotoran-kotoran yang harus dibersihkan. Kalau perlu pakai cairan kimia yang keras, biar kotoran yang membandel pada rontok.
Islam yang murni dan bersih hanya sebatas Al-Qur'an dan Sunnah. Lebih dari itu masuk kategori kotoran, harus diperangi dan dibasmi.
Maklum dan wajar, namanya saya masih anak kecil, dijejali pola pikir macam itu lewat kanan kiri, ikut saja. Malah hidung saya mengembang bangga dan ingin jadi pahlawan kemurnian agama Islam.
Saya masih seperti itu hingga akhirnya saya terdampar di bangku kuliah Fakultas Syariah LIPIA, kampus milik Kerajaan Saudi Arabia yang berdomisili di Jakarta.
Saya diterima di Fakultas Syariah, mata kuliah utama yang saya dapat adalah ilmu fiqih dan ilmu Ushul fiqih. Berkenalan lah saya dengan berbagai Mazhab fiqih para ulama, baik Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali.
Padahal ilmu fiqih itulah yang selama ini saya anggap kotoran. Para tokoh empat Mazhab itulah yang selama ini terlanjur didoktrin kan ke saya sebagai 'tuhan yang disembah selain Allah'.
Awalnya saya mengira ini sekadar sekilas sejarah fiqih di masa awal. Ketika pembahasan selanjutnya barangkali sudah tidak lagi bawa-bawa Mazhab fiqih.
Ternyata saya keliru besar. Mazhab fiqih yang empat itu terus menerus dibahas sampai delapan semester. Mata kuliah ilmu fiqih itu diajarkan di semua semester, dari mulai masuk sampai lulus. Dan semua diajarkan dalam format perbandingan empat Mazhab.
Bahkan dalam soal ujian selalu ditanyakan pandangan fiqih dari empat Mazhab, baik soal-soal a'malussanah (mid-test) hingga niha'i (final test).
Ternyata kampus yang banyak dituduh orang sebagai sarang Wahabi itu malah memperkenalkan saya kepada fiqih empat Mazhab. Lucunya, doktor yang mengampu mata kuliah fiqih selalunya bukan orang Saudi, tapi rata-rata dari Universitas Al-Azhar Mesir.
Alih-alih jadi Wahabi, orientasi fiqih saya tetap pada fiqih Syafi'i, dengan nilai tambah bisa membandingkan dengan tiga mazhab lainnya. Saya tidak kenal istilah Mazhab Qur'an Sunnah, apalagi istilah 'manhaj salaf'.
Karena memang tidak pernah diajarkan dalam perkuliahan formal. Dari semua mata kuliah yang diajarkan, tidak ada yang berjudul: 'Manhaj Salaf'. Kalau pun kemiripan istilah, itu adalah: Manahijul Bahts alias metodologi penelitian.
Jadi kalau pun ada lulusan LIPIA tapi tidak bermazhab atau anti Mazhab, saya pasti terheran-heran. Kok bisa? Ada beberapa kemungkinan.
Pertama, kuliah di LIPIA tapi tidak sampai jenjang fakultas Syariah. Mungkin hanya kelas persiapan bahasa, entah itu I'dad atau takmili.
Kedua, mungkin sampai jenjang kuliah, tapi fakultasnya bukan syariah. Boleh jadi program diploma mengajar bahasa Arab, atau sekarang katanya ada fakultas managemen dan lainnya.
Ketiga, mungkin dia lulus Fakultas Syariah, tapi jauh sebelum masuk kuliah, manhajnya sudah terpola dengan model-model anti mazhab. Jadi selama 8 semester dia 'taqiyah' terus-terusan.
Memang kebanyakan teman saya yang duduk di bangku syariah, latar belakang pendidikannya kebanyakan yang pada anti Mazhab.
Jadi kalau sudah lulus masih saja anti Mazhab, namanya pergi balok pulang balok. Kuliah 8 semester nggak ada yang membekas sedikit pun.
Lagian kalau saya perhatikan lebih jauh, nyaris hampir semua teman saya satu almamater itu di kemdian hari memang tidak menekuni ilmu yang pernah diajarkan di kampus.
Jadi ustadz sih, tapi ngajarnya aneh-aneh. Tidak ngajar fiqih atau Ushul fiqih. Kayak mahasiswa kampus pertanian yang lulus tidak bertani tapi malah terjun ke dunia yang sama sekali berbeda.
(rhs)