Peran Daulah Umayyah Mendorong ke Arah Penyusunan Sistematik Ilmu Fikih dan Kodifikasinya
loading...
A
A
A
Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam buku berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban" (Paramadina, 1992) mengatakan melalui masa-masa perkembangan formatifnya, ilmu fikih memperoleh batasnya yang jelas. Batasan itu kurang lebih sebagaimana dikutip dalam Majallat al-Ahkam al-'Adliyyah (Beirut: Mathba'at Syiarku, 1388 H/1968 M) adalah:
"... Fiqh ialah ilmu tentang masalah-masalah syara'iyah secara teoritis. Masalah-masalah fikih itu berkenaan dengan perkara akhirat seperti hal-hal peribadatan (ibadat) atau berkenaan dengan perkara dunia yang terbagi menjadi munakahat (tentang pernikahan), muamalat (tentang berbagai transaksi dalam masyarakat) dan 'uqubat (tentang hukuman)..."
"Demi terpeliharanya keadilan dan ketertiban antara sesama manusia serta menjaga mereka dari kehancuran maka diperlukanlah ketentuan-ketentuan yang diperkuat oleh syariat berkenaan dengan perkara perkawinan, dan itulah bagian munakahat dari ilmu fikih."
"Kemudian berkenaan dengan perkara peradaban dalam bentuk gotong-royong dan kerjasama, dan itulah bagian muamalat dari ilmu fiqh; dan untuk memelihara perkara peradaban itu agar tetap pada garisnya ini diperlukan penyusunan hukum-hukum pembalasan, dan inilah bagian 'uqubat dari ilmu fikih."
Dari definisi dan penjelasan tentang hakikat ilmu fikih itu, menurut Cak Nur, tampak dengan jelas titik berat orientasi fikih kepada masalah pengaturan hidup bersama manusia dalam tatanan sosialnya, yang inti kerangka pengaturan itu ialah masalah-masalah hukum.
Bahkan meskipun masalah-masalah ibadat juga termasuk ke dalam ilmu fikih --justru merupakan yang pertama-tama dibahas-- namun cara pandang ilmu fikih terhadap ibadat pun tetap bertitikberatkan orientasi hukum.
Dalam hal ini terkenal pembagian hukum yang lima: wajib mandub, mubah, makruh dan haram. Di samping itu terdapat cara penilaian kepada sesuatu sebagai sah atau batal, yaitu dilihat dari kenyataan apakah semua syarat dan rukunnya terpenuhi atau tidak.
Cak Nur menjelaskan situasi yang mendesak Muslim untuk menjabarkan melalui penalaran unsur-unsur dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah pengaturan masyarakat ialah adanya kekuasaan politik yang sangat riil.
Kekuasaan itu tidak saja secara geografis meliputi daerah oikoumene yang amat luas, tetapi juga secara demografis mencakup berbagai bangsa dan agama yang beraneka ragam.
Desakan kepada penalaran itu kemudian juga kodifikasinya sesungguhnya sudah ada semenjak masa Dinasti Umayyah (40-131 H [661-750 M].
Di antara para khalifah Umayyah yang terkenal sangat saleh ialah ' Umar ibn 'Abd al-'Aziz yang salah satu usahanya ialah mendamaikan pertikaian keagamaan antara kaum Sunni dan kaum Syiah.
Disebut-sebut bahwa yang sesungguhnya untuk pertama kali mendorong pembukuan Hadis, misalnya, adalah Khalifah ini, yang telah memerintahkan usaha itu kepada antara lain al-Zuhrf.
Akan tetapi para penguasa Umayyah di Damaskus pada umumnya kurang tanggap terhadap desakan itu. Kendati, pada masa Umayyah telah sempat melahirkan usaha cukup penting ke arah penyusunan sistematik ilmu fikih dan kodifikasinya, dalam konteks Syria dan sistem pemerintahan Umayyah, khususnya oleh tokoh al-Awzd'i (wafat 155 H [774 M]).
"... Fiqh ialah ilmu tentang masalah-masalah syara'iyah secara teoritis. Masalah-masalah fikih itu berkenaan dengan perkara akhirat seperti hal-hal peribadatan (ibadat) atau berkenaan dengan perkara dunia yang terbagi menjadi munakahat (tentang pernikahan), muamalat (tentang berbagai transaksi dalam masyarakat) dan 'uqubat (tentang hukuman)..."
"Demi terpeliharanya keadilan dan ketertiban antara sesama manusia serta menjaga mereka dari kehancuran maka diperlukanlah ketentuan-ketentuan yang diperkuat oleh syariat berkenaan dengan perkara perkawinan, dan itulah bagian munakahat dari ilmu fikih."
"Kemudian berkenaan dengan perkara peradaban dalam bentuk gotong-royong dan kerjasama, dan itulah bagian muamalat dari ilmu fiqh; dan untuk memelihara perkara peradaban itu agar tetap pada garisnya ini diperlukan penyusunan hukum-hukum pembalasan, dan inilah bagian 'uqubat dari ilmu fikih."
Dari definisi dan penjelasan tentang hakikat ilmu fikih itu, menurut Cak Nur, tampak dengan jelas titik berat orientasi fikih kepada masalah pengaturan hidup bersama manusia dalam tatanan sosialnya, yang inti kerangka pengaturan itu ialah masalah-masalah hukum.
Bahkan meskipun masalah-masalah ibadat juga termasuk ke dalam ilmu fikih --justru merupakan yang pertama-tama dibahas-- namun cara pandang ilmu fikih terhadap ibadat pun tetap bertitikberatkan orientasi hukum.
Dalam hal ini terkenal pembagian hukum yang lima: wajib mandub, mubah, makruh dan haram. Di samping itu terdapat cara penilaian kepada sesuatu sebagai sah atau batal, yaitu dilihat dari kenyataan apakah semua syarat dan rukunnya terpenuhi atau tidak.
Cak Nur menjelaskan situasi yang mendesak Muslim untuk menjabarkan melalui penalaran unsur-unsur dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah pengaturan masyarakat ialah adanya kekuasaan politik yang sangat riil.
Kekuasaan itu tidak saja secara geografis meliputi daerah oikoumene yang amat luas, tetapi juga secara demografis mencakup berbagai bangsa dan agama yang beraneka ragam.
Desakan kepada penalaran itu kemudian juga kodifikasinya sesungguhnya sudah ada semenjak masa Dinasti Umayyah (40-131 H [661-750 M].
Di antara para khalifah Umayyah yang terkenal sangat saleh ialah ' Umar ibn 'Abd al-'Aziz yang salah satu usahanya ialah mendamaikan pertikaian keagamaan antara kaum Sunni dan kaum Syiah.
Disebut-sebut bahwa yang sesungguhnya untuk pertama kali mendorong pembukuan Hadis, misalnya, adalah Khalifah ini, yang telah memerintahkan usaha itu kepada antara lain al-Zuhrf.
Akan tetapi para penguasa Umayyah di Damaskus pada umumnya kurang tanggap terhadap desakan itu. Kendati, pada masa Umayyah telah sempat melahirkan usaha cukup penting ke arah penyusunan sistematik ilmu fikih dan kodifikasinya, dalam konteks Syria dan sistem pemerintahan Umayyah, khususnya oleh tokoh al-Awzd'i (wafat 155 H [774 M]).
(mhy)