Kisah Tumbangnya Dinasti Umayyah, 300 Anggota Keluarganya Dieksekusi Mati

Senin, 21 Maret 2022 - 05:15 WIB
Tumbangnya Dinsti Umayyah diiringi dengan eksekusi mati bagi 300 lebih keluarga Umayyah. Foto/Ilustrasi: Ist
Dinasti Umayyah berkuasa selama 90 tahun. Mereka telah memerintah sejak 661 M, tahun ketika Muawiyah bin Abi Sufyan secara resmi mengambil gelar amir al-mukminin, pemimpin kaum beriman. Dinasti ini runtuh pada 23 April 749 M.

Wilayahnya membentang mulai dari India hingga Afrika Utara. Pada era ini penyebaran Islam demikian massif hingga ke dataran Eropa. Hanya saja tak dapat dipungkiri bahwa selama kekuasaan Dinasti Umayyah banyak darah yang tumpah, termasuk darah para sahabat Nabi dan tabi’in.



Dinasti Umayyah ditumbangkan Dinasti Abbasiyah . Seorang bernama Abu al-Abbas, keturunan langsung dari al-Abbas, adalah pemimpin spiritual yang diakui sebagai khalifah dan dibaiat di Masjid Kufah.

Abu al-Abbas (749-753 M) mengambil gelar khalifah al-Saffah I (Sang Penumpah Darah) di Kufah. Perintah pertamanya adalah memusnahkan Umayyah.

Dunia Muslim bukan hanya berganti dinasti pada 750 M, melainkan juga membatalkan 90 tahun sejarah Islam. Khalifah Marwan II kehilangan pasukan dan kerajaannya di Tell Kushaf pada 25 Januari 750 M. Tujuh bulan kemudian dia kehilangan kepalanya di pelosok Mesir. Kemurkaan Abbasiyah telah menunjukkan efek yang mengerikan setelah pengepungan Damaskus selama sebulan.

Hal yang memprihatinkan, tumbangnya Dinasti Umayyah diikuti dengan pembunuhan besar-besaran oleh Abbasiyah. Politik balas dendam dimulai. Abul A’la al-Maududi dalam kitabnya"al-Khilafah wa al-Mulk" menyebut sedikitnya 300 lebih keluarga Umayyah dieksekusi, nyaris tak tersisa.

Pertumpahan darah juga terjadi di kalangan penduduk Damaskus yang selama ini menyokong Dinasti Umayyah. Pasukan Abbasiyah membunuh kurang lebih 50.000 orang.

Regu eksekusi mengejar anggota-anggota terkemuka kelas politik lama. Mereka dibunuh secara keji. Properti Umayyah pun dibakar atau disita.

Masjid jami’ milik Bani Umayyah mereka jadikan kandang kuda mereka selama 70 hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Penodaan seperti itu dikecualikan bagi Umar bin Abdul Aziz yang saleh (717-720 M).



Menurut Abul A’la al-Maududi, ketika mendapati jasad mantan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik yang sudah wafat 7 tahun sebelumnya ternyata masih utuh. Mereka lalu menderanya dengan cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya.

Mereka juga membunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah dan menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan.

Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing.

"Begitulah kekejian dibalas dengan kekejian," tulis Nadirsyah Hosen, Dosen Senior Monash Law School, dalam tulisannya mengutip Abul A’la al-Maududi.

Fanatisme Arab

Banyak sejarawan percaya bahwa faktor penting yang menyebabkan runtuhnya Bani Umayyah adalah karena penguasa Daulah Bani Umayyah sangat fanatik terhadap orang Arab, tradisi Arab, dan bahasa Arab.

Kekhalifahan Bani Umayyah memiliki watak kearaban yang kuat. Sebagian besar khalifahnya sangat fanatik terhadap kearaban dan bahasa Arab yang mereka gunakan. Mereka memandang rendah kalangan mawali (orang non-Arab). Orang Arab merasa diri mereka sebagai bangsa terbaik dan bahasa Arab sebagai tertinggi.

Selain itu, kebanyakan penerusnya tidak bisa menciptakan kesetaraan dan keadilan dalam Islam. Hal ini kemudian menyebabkan para loyalis ikut ambil bagian setiap kali timbul pemberontakan untuk menumbangkan Dinasti Umayyah.



Banyak sejarawan percaya bahwa dengan jatuhnya negara Umayyah, kekuasaan Muslim Arab jatuh dari kekhalifahan Islam. Karena, orang Arab terakhir berafiliasi dengan penguasa negara-negara kekhalifahan, sedangkan kekhalifahan kemudian diteruskan ke Persia dan Turki, baik dalam pemerintahan Abbasiyah atau Ottoman, dan sampai jatuhnya keluarga Utsman dengan deklarasi Republik Turki oleh Mustafa Kemal Ataturk pada 1923.

Dinasti Umayyah jatuh ke tangan orang-orang yang mengklaim hak ahlul bait atas kekhalifahan. Setelah kegagalan revolusi dari mereka yang mengklaim hak dinasti Ibnu Abi Thalib atas kekhalifahan, seruan itu berubah kepada mereka yang mengatakan bahwa dinasti al-Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi, yang berhak atas kekhalifahan.

Hingga akhirnya tentara Abbasiyah yang dipimpin oleh Abi al-Abbas mampu mengalahkan tentara Umayyah dan membunuh Khalifah Marwan bin Muhammad.

Dalam bukunya yang berjudul At-Tarikh al-Islamy al’-Am: Al-Jahiliyyah, ad-Daulah al-Arabiyyah, Ad-Daulah Al-Abbasiyyah, Ali Ibrahim Hassan menyatakan bahwa faktor penting yang menyebabkan jatuhnya negara Umayyah adalah karena orang-orang Arab telah membuat para loyalis pergi dari Bani Umayyah. Para loyalis ini menjadi musuh orang-orang Arab karena orang-orang Arab lebih mementingkan diri mereka sendiri.

Oleh karena itu, Mawali (orang non-Arab) menggunakan setiap kesempatan untuk menindas negara Umayyah, dan muncul dengan semua orang di luar Umayyah. Walaupun, pada awalnya gerakan mereka tidak terorganisasi.

Namun, gerakan mereka semakin intensif pada akhir era Umayyah ketika kondisinya sudah mulai lengah, dan perang berkecamuk antara Mawali dan Daulah Umayyah, yang memiliki dampak terbesar pada keberhasilan dakwah Abbasiyah. Pengkhutbah Abbasiyah merangkul mawali dan mendukung mereka melawan penguasa Umayyah.



Dalam salah satu bukunya tentang orientalisme dan oksidentalisme, Mahmoud Khalif Khudair al-Hayani menjelaskan, banyak bukti sejarah yang menyatakan bahwa Daulah Abbasiyah didirikan atas dasar kebencian terhadap orang Arab. Selama era negara ini, ada reaksi kekerasan terhadap Arabisme.
(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Siapa yang meninggal, sedangkan ia masih memiliki hutang puasa, maka yang membayarnya adalah walinya.

(HR. Muslim No. 1935)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More