Konflik Politik Berdarah dan Tradisi Pembunuhan Khalifah Dinasti Abbasiyah
Kamis, 24 Maret 2022 - 18:51 WIB
Konflik politik berdarah dan pembunuhan khalifah pada Dinasti Abbasiyah seakan menjadi tradisi. Ini akibat kesalahan penerapan pada sistem pengangkatan putra mahkota.
Syaikh Muhammad Al-Khudari dalam bukunya yang berjudul "Ad-Daulah Al-Abbasiyyah" mengatakan Bani Abbasiyah mengikuti sistem yang sama dalam mengangkat putra mahkota sebagaimana yang diterapkan Bani Umayyah .
"Kesalahan sistem yang dimaksud adalah mengangkat putra mahkota lebih dari satu orang dari putra-putra atau saudara sang khalifah tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan kebijakan khalifah sebelumnya," tutur Syaikh Muhammad Al-Khudari.
Kebijakan yang demikian itu, kata Syaikh Muhammad Al-Khudari, sudah tentu menjadi sumber bencana dan petaka yang dahsyat akibatnya. Ketika mereka meniru model pemilihan yang diterapkan para pendahulu mereka, maka pada dasarnya menceburkan diri mereka pada keburukan dan kehancuran itu sendiri.
Para khalifah sesudahnya tidak mau mengambil pelajaran dari kebijakan pendahulunya. Hal ini akan semakin jelas dengan penjelasan berikut:
Abul Abbas As-Safah mengangkat putra mahkotanya dari dua orang secara berurutan. Ia mengangkat saudaranya Abu Jafar Al-Manshur terlebih dahulu dan kemudian disusul dengan keponakannya, Isa bin Musa bin Muhammad bin Ali.
Ketika Abu Jafar Al-Manshur menjabat sebagai khalifah, sedangkan putranya, Muhammad Al-Mahdi, menginjak dewasa, maka berat baginya jika penganti sesudahnya adalah putra saudaranya dan menghalangi putranya sendiri.
Oleh karena itu ia kemudian menawarkan kepada Isa bin Musa bin Muhammad bin Ali agar ia mencabut haknya sebagai putra mahkota dengan catatan ia berhak menyandangnya kembali setelah putranya, Al-Mahdi.
Tampak bahwa Isa bin Musa enggan menerima tawaran tersebut. Mereka pun memaksakan suatu aturan yang tidak disukainya, kecuali ia harus mengikutinya. Situasi ini dilukiskan dengan baik dalam bait-bait syair,
Anda diberi kesempatan untuk memilih antara dua perkara,
Namun Anda harus kehilangan kedua-duanya
Antara merendahkan diri dan mengalah ataupun
membiarkan tragedi mewabah.
Dikatakan bahwa Abu Jafar memberikan minuman yang memabukkan kepadanya hingga membuatnya mabuk dan hampir membunuhnya. Akan tetapi ia berhasil sembuh dari sakitnya itu.
Pada akhirnya, Isa bin Musa pun memenuhi permintaan Abu Jafar meskipun Isa bin Musa telah memberikan kontribusi yang besar dalam berdirinya pemerintahan Daulah Abbasiyah dan mendukung pemerintahan Al-Manshur.
Ketika Al-Mahdi menjabat sebagai khalifah dan kedua putranya, Musa Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid, menginjak usia dewasa, maka sikap dan kebijakan semacam ini terulang kembali pada diri Isa bin Musa. Al-Mahdi memintanya untuk melepaskan haknya sebagai putra mahkota agar ia dapat mengangkat putranya sebagai putra mahkota, yang menggantikannya sesudahnya.
Al-Mahdi pun berhasil mencapai tujuannya setelah Isa bin Musa mengalami intimidasi dan penindasan luar biasa, meskipun pada dasarnya Al-Mahdi memahami dampak dari keputusannya mengangkat kedua putranya sebagai putra mahkota.
Ia tidak pernah mengambil pelajaran dari khalifah sebelumnya, melainkan bersikeras mengangkat kedua putranya itu, Musa Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid, sebagai putra mahkota.
Musa Al-Hadi vs Harun Ar-Rasyid
Kemudian datanglah pemerintahan Musa Al-Hadi, yang berusaha mencabut hak Harun Ar-Rasyid sebagai putra mahkota padahal putranya ketika itu belum genap berusia dewasa atau belum baligh.
Akan tetapi upayanya itu tidak membuahkan hasil karena pembelaan terhadap Harun Ar-Rasyid sangat kuat dan Musa Al-Hadi sendiri harus menyambut kematiannya. Akhirnya Musa Al-Hadi harus tewas karena diracun menurut sebagian sumber sejarah.
Selanjutnya Harun Ar-Rasyid pun menjabat sebagai khalifah dan juga berpikir mengenai putra mahkota. Putra sulungnya pada dasarnya adalah Abdullah Al-Makmun.
Akan tetapi ia mengoreksi kembali keputusannya itu dan menyerahkan hak putra mahkota kepada saudaranya, Muhammad Al-Amin. Dengan alasan, Muhammad Al-Amin adalah putra Zubaidah binti Jafar bin Abu Jafar Al-Manshur. Sedangkan Abdullah Al-Makmun adalah putra dari seorang budak perempuan dari wilayah Persia.
Pengangkatan putra mahkota tersebut dilakukan pada tahun 173 H, sedangkan usia Muhammad Al-Amin ketika itu tidak lebih dari tiga tahun. Sepuluh tahun kemudian, Harun Ar-Rasyid berpikir untuk mengangkat Abdullah Al-Makmun sebagai putra mahkota setelah Muhammad Al-Amin.
Pengangkatan tersebut dilakukan melalui usulan Jafar bin Yahya Al-Barmaki dan upayanya. Pengangkatannya dilakukan pada tahun 183 H. Setelah itu, Abdul Malik bin Shaleh bin Ali meminta kepada Harun Ar-Rasyid agar mengangkat putra ketiganya, Al-Qasim bin Ar-Rasyid, sebagai putra mahkota.
Harun Ar-Rasyid memenuhi permintaannya itu dan menamainya Al-Mu'tamin, seraya membagi wilayah kekuasaannya pada tiga putranya itu.
Harun Ar-Rasyid menyerahkan wilayah Timur kepada Abdullah Al-Makmun, yang mencakup Khurasan, Rayy hingga Hamadan, wilayah barat diserahkan kepada Muhammad Al-Amin yang mencakup Maghrib, Mesir, dan Syam.
Sedangkan Al-Mu' tamin mendapat wilayah Al-Jazirah, Ats-Tsughur, dan Al-Awashim. Dengan sikap dan kebijakan yang demikian itu, Harun Ar-Rasyid telah menebarkan benih konflik dan penderitaan di antara mereka.
Kemudian Harun Ar-Rasyid menunaikan ibadah haji. Di sana ia menulis dua surat kepada Abdullah Al-Makmun putranya yang membuat pusing para fuqaha dan hakimy salah satunya ditujukan kepada Muhammad Al-Amin yang memintanya untuk memenuhi permintaannya sebagaimana tertera dalam surat tersebut.
Sedangkan surat kedua berkaitan dengan teks pembaiatan yang ditujukan bagi semua kalangan, baik rakyat kelas menengah ke bawah maupun kelas menengah ke atas, dan juga syarat-syarat yang harus dipenuhi Abdullah Al-Makmun, Muhammad Al-Amin, dan mereka semua.
Kedua surat tersebut disimpan di Baitullah setelah membaiat Muhammad dan mempersaksikannya di sana atas nama Allah, para malaikat, dan semua orang yang hadir di Ka'bah ketika itu, baik putra-putranya, anggota keluarganya, para loyalisnya, komandan militernya, para pejabat negara, sekretarisnya, dan lainnya.
Persaksian dalam pembaiatan dan surat telah disimpan di Baitullah dan diserahkan kepada penjaga Baitullah agar disimpan di sana dan melarang orang untuk mengeluarkan atau membawanya.
Kedua surat tersebut telah dibacakan di dalam Ka'bah di hadapan kedua bersaudara itu dan disaksikan para hadirin.
Muhammad Al-Amin vs Abdullah Al-Makmun
Dokumen pengangkatan kedua putra mahkota itu dan proses pengangkatannya itu sendiri menunjukkan arti pentingnya. Akan tetapi karakter penguasa adalah mementingkan diri sendiri.
Dalam hal ini, Muhammad Al-Amin menghapuskan semua sumpah dan janji yang terpatri dalam jiwanya sebagaimana yang terjadi pada para pendahulunya. Ia mendahulukan putranya sebagai putra mahkota mengalahkan saudaranya. Kebijakan ini pun disodorkan kepada Al-Makmun ketika berada di hadapan tentara dan komandan militernya di Khurasan.
Sudah barang tentu Abdullah Al-Makmun menolak permintaan tersebut. Karena ia didukung sebuah kekuatan yang sanggup membelanya. Dampak dari sikap dan kebijakan tersebut adalah munculnya perseteruan dan konflik terbuka hingga menimbulkan peperangan panjang antara pasukan Muhammad Al-Amin melawan pasukan Abdullah Al-Makmun.
Jalan-jalan raya dan pintu gerbang menjadi rusak karenanya, dan Baghdad sendiri harus mengalami blokade yang ketat dan berakhir dengan dicabutnya mandat kepada Muhammad Al-Amin sebagai khalifah dan kemudian dibunuh. Dampak dari semua itu adalah munculnya berbagai gelombang revolusi di sebagian besar wilayah Islam.
Kalaulah musuh-musuh mereka mempunyai kekuatan besar, maka tentulah mereka akan berhasil menghancurkan pemerintahan Daulah Abbasiyah dan menjatuhkan mereka dari mahkota kekuasaan.
Abdullah Al-Makmun tidak mengangkat putra mahkota, kecuali kepada saudaranya Al-Mu'tashim. Al-Mu'tashim tidak mengangkat putra mahkota kecuali kepada putranya Al-Watsiq. Lalu Al-Watsiq meninggal tanpa memiliki putra mahkota sehingga dipilihlah saudaranya Al-Mutawakil sebagai khalifah oleh para pejabat tinggi pemerintahan setelah Al-Watsiq meninggal.
Kesalahan Berulang
Kemudian datanglah periode pemerintahan Al-Mutawakil yang melakukan kesalahan yang sama sebagaimana dilakukan kakeknya, Harun Ar-Rasyid. Dalam hal ini, ia mengangkat ketiga putranya sebagai putra mahkota.
Mereka itu adalah Muhammad Al-Muntashir Billah, Muhammad Al-Mu'tazz Billah, dan Ibrahim Al-Muayyid Billah. Masing-masing dari ketiga putra mahkota ini membawa dua panji, salah satunya berwarna hitam yang merupakan panji perjanjian dan bendera yang lain berwarna putih panji untuk pengamalannya.
Ia menyerahkan wilayah Afrika, seluruh Maghrib, Al-Awashim (daerah atau kota pedalaman), Ats-Tsuqhur (daerah di wilayah perbatasan) di Syam, Al-Juzuriyah, Al-Jazirah, Irak, Hijaz, Yaman, Ahwaz, Sind, dan Mukarran.
Kepada putra keduanya, Al-Mutawakil menyerahkan wilayah Khurasan dengan beberapa daerah lainnya seperti Thabaristan, Rayy, Armenia, Azerbaijan, dan beberapa distrik Persia. Adapun kepada putranya yang ketiga, Al-Mutawakil menyerahkan Jundi Homs, Jundi Damaskus, dan Jundi Palestina.
Lelaki ini meniru kebijakan kakeknya meskipun mengetahui dampak buruk yang ditimbulkannya, melanggar sumpah dan janji.
Lebih parah lagi, pada akhir hidupnya ia ingin mencabut hak sebagai putra mahkota dari Muhammad Al-Muntashir putra sulungnya. Karena itu, Muhammad Al-Muntashir mengumpulkan pendukungnya dari orang-orang Turki untuk membunuhnya hingga mereka pun berhasil membunuhnya.
Muhammad Al-Muntashir pun menjabat sebagai khalifah dan membaiat kedua saudaranya. Akan tetapi tidak berapa lama ia mencabut hal sebagai Putra Mahkota dari keduanya setelah empat puluh hari pengangkatannya.
Adapun Al-Muayyid Billah, ia bisa menerima kebijakan itu dengan penuh kepatuhan dan loyalitas. Sedangkan Al-Mu'taz Billah menolaknya seraya berkata, “Jika kalian menginginkan pembunuhan, maka terserah kalian.”
Setelah mendapatkan ancaman dan peringatan keras, maka masing-masing dari dua bersaudara itu mempersaksikan dirinya atas pencabutan hak tersebut di hadapan para hakim, Bani Hasyim, para komandan militer, dan tokoh-tokoh masyarakat.
Kekhalifahan sesudahnya dijabat oleh Ahmad Al-Mustain Billah bin Muhammad bin Al-Mu'tashim, di mana para loyalis mengeluarkan atau menjauhkannya dari putra-putra Al-Mutawakkil karena khawatir mereka akan mengacaukan keadaan karena pembunuhan terhadap ayah mereka.
Sistem kekhalifahan di Baghdad mengalami kekacauan ketika itu karena para pejabat tinggi dan tokoh-tokoh terkemuka dari Turki yang merupakan sisa-sisa pendukung Al-Mu'tashim dan para pejabat tinggi negara yang bersimpati dengan mereka mengangkat siapa saja yang mereka kehendaki dan kemudian memberhentikannya begitu saja.
Lalu mereka mengangkat tokoh yang lain hingga datanglah periode pemerintahan Al-Mu'tamid Billah yang merupakan khalifah kelima belas, yang kemudian mengangkat keponakannya Ahmad AlMu'tadhid bin Thalhah bin Al-Mutawakil sebagai putra mahkota. Kemudian Al-Mu'tadhid mengangkat putranya Al-Muktafi Billah sebagai putra mahkota.
Setelah itu, kekacauan terjadi kembali, pencabutan hak dan dukungan, serta pembunuhan para khalifah menjadi sebuah kebiasaan hingga datanglah pemerintahan Bani Buwaihi.
Khalifah Hanya Simbol
Pada masa mereka ini, para khalifah hanyalah simbolik semata. Pengangkatan dan pemberhentian khalifah dan pejabat berada di tangan Bani Buwaihi.
Semua khalifah yang mereka angkat, mereka berhentikan kembali, kecuali Ahmad Al-Qadir Billah karena mampu mempertahankan pemerintahannya dalam waktu yang lama dan kemudian mengangkat putranya Al-Qa'im sebagai putra mahkota.
Setelah itu perpindahan kekuasaan dalam kekhalifahan dari satu kekhalifah kepada putranya secara beruntun hingga berakhirlah pemerintahan Daulah Abbasiyah dengan munculnya bangsa Tatar, di mana Hulagu Khan yang merupakan cucu Jengis Khan penyatu bangsa Tatar melancarkan serangan terhadap kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad hingga menyebabkan terbunuhnya Khalifah Al-Mu'tashim Billah tahun 656 H.
Syaikh Muhammad Al-Khudari menyimpulkan, putra mahkota pada pertengahan pertama kekhalifahan Bani Abbasiyah berjalan dengan sistem yang tidak baik, yaitu pengangkatan putra mahkota lebih dari satu orang. Akibatnya, pengangkatan semacam itu menimbulkan petaka dan bencana besar, dan tiada seorang pun dari mereka bekerja untuk merumuskan sistem yang baik dengan segenap pengetahuan, kebijakan, dan kepakaran yang mereka miliki.
Adapun pembaiatan, pada periode pertama dilakukan dengan berjabat tangan dan ucapan orang yang membaiat, “Aku membaiat kamu untuk patuh dan taat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” Kemudian ditambahkan sumpah jabatan pada akhir pemerintahan Daulah Umayyah. Begitu juga pada periode pertama Daulah Abbasiyah.
Syaikh Muhammad Al-Khudari dalam bukunya yang berjudul "Ad-Daulah Al-Abbasiyyah" mengatakan Bani Abbasiyah mengikuti sistem yang sama dalam mengangkat putra mahkota sebagaimana yang diterapkan Bani Umayyah .
"Kesalahan sistem yang dimaksud adalah mengangkat putra mahkota lebih dari satu orang dari putra-putra atau saudara sang khalifah tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan kebijakan khalifah sebelumnya," tutur Syaikh Muhammad Al-Khudari.
Kebijakan yang demikian itu, kata Syaikh Muhammad Al-Khudari, sudah tentu menjadi sumber bencana dan petaka yang dahsyat akibatnya. Ketika mereka meniru model pemilihan yang diterapkan para pendahulu mereka, maka pada dasarnya menceburkan diri mereka pada keburukan dan kehancuran itu sendiri.
Para khalifah sesudahnya tidak mau mengambil pelajaran dari kebijakan pendahulunya. Hal ini akan semakin jelas dengan penjelasan berikut:
Abul Abbas As-Safah mengangkat putra mahkotanya dari dua orang secara berurutan. Ia mengangkat saudaranya Abu Jafar Al-Manshur terlebih dahulu dan kemudian disusul dengan keponakannya, Isa bin Musa bin Muhammad bin Ali.
Ketika Abu Jafar Al-Manshur menjabat sebagai khalifah, sedangkan putranya, Muhammad Al-Mahdi, menginjak dewasa, maka berat baginya jika penganti sesudahnya adalah putra saudaranya dan menghalangi putranya sendiri.
Oleh karena itu ia kemudian menawarkan kepada Isa bin Musa bin Muhammad bin Ali agar ia mencabut haknya sebagai putra mahkota dengan catatan ia berhak menyandangnya kembali setelah putranya, Al-Mahdi.
Tampak bahwa Isa bin Musa enggan menerima tawaran tersebut. Mereka pun memaksakan suatu aturan yang tidak disukainya, kecuali ia harus mengikutinya. Situasi ini dilukiskan dengan baik dalam bait-bait syair,
Anda diberi kesempatan untuk memilih antara dua perkara,
Namun Anda harus kehilangan kedua-duanya
Antara merendahkan diri dan mengalah ataupun
membiarkan tragedi mewabah.
Dikatakan bahwa Abu Jafar memberikan minuman yang memabukkan kepadanya hingga membuatnya mabuk dan hampir membunuhnya. Akan tetapi ia berhasil sembuh dari sakitnya itu.
Pada akhirnya, Isa bin Musa pun memenuhi permintaan Abu Jafar meskipun Isa bin Musa telah memberikan kontribusi yang besar dalam berdirinya pemerintahan Daulah Abbasiyah dan mendukung pemerintahan Al-Manshur.
Ketika Al-Mahdi menjabat sebagai khalifah dan kedua putranya, Musa Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid, menginjak usia dewasa, maka sikap dan kebijakan semacam ini terulang kembali pada diri Isa bin Musa. Al-Mahdi memintanya untuk melepaskan haknya sebagai putra mahkota agar ia dapat mengangkat putranya sebagai putra mahkota, yang menggantikannya sesudahnya.
Al-Mahdi pun berhasil mencapai tujuannya setelah Isa bin Musa mengalami intimidasi dan penindasan luar biasa, meskipun pada dasarnya Al-Mahdi memahami dampak dari keputusannya mengangkat kedua putranya sebagai putra mahkota.
Ia tidak pernah mengambil pelajaran dari khalifah sebelumnya, melainkan bersikeras mengangkat kedua putranya itu, Musa Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid, sebagai putra mahkota.
Musa Al-Hadi vs Harun Ar-Rasyid
Kemudian datanglah pemerintahan Musa Al-Hadi, yang berusaha mencabut hak Harun Ar-Rasyid sebagai putra mahkota padahal putranya ketika itu belum genap berusia dewasa atau belum baligh.
Akan tetapi upayanya itu tidak membuahkan hasil karena pembelaan terhadap Harun Ar-Rasyid sangat kuat dan Musa Al-Hadi sendiri harus menyambut kematiannya. Akhirnya Musa Al-Hadi harus tewas karena diracun menurut sebagian sumber sejarah.
Selanjutnya Harun Ar-Rasyid pun menjabat sebagai khalifah dan juga berpikir mengenai putra mahkota. Putra sulungnya pada dasarnya adalah Abdullah Al-Makmun.
Akan tetapi ia mengoreksi kembali keputusannya itu dan menyerahkan hak putra mahkota kepada saudaranya, Muhammad Al-Amin. Dengan alasan, Muhammad Al-Amin adalah putra Zubaidah binti Jafar bin Abu Jafar Al-Manshur. Sedangkan Abdullah Al-Makmun adalah putra dari seorang budak perempuan dari wilayah Persia.
Pengangkatan putra mahkota tersebut dilakukan pada tahun 173 H, sedangkan usia Muhammad Al-Amin ketika itu tidak lebih dari tiga tahun. Sepuluh tahun kemudian, Harun Ar-Rasyid berpikir untuk mengangkat Abdullah Al-Makmun sebagai putra mahkota setelah Muhammad Al-Amin.
Pengangkatan tersebut dilakukan melalui usulan Jafar bin Yahya Al-Barmaki dan upayanya. Pengangkatannya dilakukan pada tahun 183 H. Setelah itu, Abdul Malik bin Shaleh bin Ali meminta kepada Harun Ar-Rasyid agar mengangkat putra ketiganya, Al-Qasim bin Ar-Rasyid, sebagai putra mahkota.
Harun Ar-Rasyid memenuhi permintaannya itu dan menamainya Al-Mu'tamin, seraya membagi wilayah kekuasaannya pada tiga putranya itu.
Harun Ar-Rasyid menyerahkan wilayah Timur kepada Abdullah Al-Makmun, yang mencakup Khurasan, Rayy hingga Hamadan, wilayah barat diserahkan kepada Muhammad Al-Amin yang mencakup Maghrib, Mesir, dan Syam.
Sedangkan Al-Mu' tamin mendapat wilayah Al-Jazirah, Ats-Tsughur, dan Al-Awashim. Dengan sikap dan kebijakan yang demikian itu, Harun Ar-Rasyid telah menebarkan benih konflik dan penderitaan di antara mereka.
Kemudian Harun Ar-Rasyid menunaikan ibadah haji. Di sana ia menulis dua surat kepada Abdullah Al-Makmun putranya yang membuat pusing para fuqaha dan hakimy salah satunya ditujukan kepada Muhammad Al-Amin yang memintanya untuk memenuhi permintaannya sebagaimana tertera dalam surat tersebut.
Sedangkan surat kedua berkaitan dengan teks pembaiatan yang ditujukan bagi semua kalangan, baik rakyat kelas menengah ke bawah maupun kelas menengah ke atas, dan juga syarat-syarat yang harus dipenuhi Abdullah Al-Makmun, Muhammad Al-Amin, dan mereka semua.
Kedua surat tersebut disimpan di Baitullah setelah membaiat Muhammad dan mempersaksikannya di sana atas nama Allah, para malaikat, dan semua orang yang hadir di Ka'bah ketika itu, baik putra-putranya, anggota keluarganya, para loyalisnya, komandan militernya, para pejabat negara, sekretarisnya, dan lainnya.
Persaksian dalam pembaiatan dan surat telah disimpan di Baitullah dan diserahkan kepada penjaga Baitullah agar disimpan di sana dan melarang orang untuk mengeluarkan atau membawanya.
Kedua surat tersebut telah dibacakan di dalam Ka'bah di hadapan kedua bersaudara itu dan disaksikan para hadirin.
Muhammad Al-Amin vs Abdullah Al-Makmun
Dokumen pengangkatan kedua putra mahkota itu dan proses pengangkatannya itu sendiri menunjukkan arti pentingnya. Akan tetapi karakter penguasa adalah mementingkan diri sendiri.
Dalam hal ini, Muhammad Al-Amin menghapuskan semua sumpah dan janji yang terpatri dalam jiwanya sebagaimana yang terjadi pada para pendahulunya. Ia mendahulukan putranya sebagai putra mahkota mengalahkan saudaranya. Kebijakan ini pun disodorkan kepada Al-Makmun ketika berada di hadapan tentara dan komandan militernya di Khurasan.
Sudah barang tentu Abdullah Al-Makmun menolak permintaan tersebut. Karena ia didukung sebuah kekuatan yang sanggup membelanya. Dampak dari sikap dan kebijakan tersebut adalah munculnya perseteruan dan konflik terbuka hingga menimbulkan peperangan panjang antara pasukan Muhammad Al-Amin melawan pasukan Abdullah Al-Makmun.
Jalan-jalan raya dan pintu gerbang menjadi rusak karenanya, dan Baghdad sendiri harus mengalami blokade yang ketat dan berakhir dengan dicabutnya mandat kepada Muhammad Al-Amin sebagai khalifah dan kemudian dibunuh. Dampak dari semua itu adalah munculnya berbagai gelombang revolusi di sebagian besar wilayah Islam.
Kalaulah musuh-musuh mereka mempunyai kekuatan besar, maka tentulah mereka akan berhasil menghancurkan pemerintahan Daulah Abbasiyah dan menjatuhkan mereka dari mahkota kekuasaan.
Abdullah Al-Makmun tidak mengangkat putra mahkota, kecuali kepada saudaranya Al-Mu'tashim. Al-Mu'tashim tidak mengangkat putra mahkota kecuali kepada putranya Al-Watsiq. Lalu Al-Watsiq meninggal tanpa memiliki putra mahkota sehingga dipilihlah saudaranya Al-Mutawakil sebagai khalifah oleh para pejabat tinggi pemerintahan setelah Al-Watsiq meninggal.
Kesalahan Berulang
Kemudian datanglah periode pemerintahan Al-Mutawakil yang melakukan kesalahan yang sama sebagaimana dilakukan kakeknya, Harun Ar-Rasyid. Dalam hal ini, ia mengangkat ketiga putranya sebagai putra mahkota.
Mereka itu adalah Muhammad Al-Muntashir Billah, Muhammad Al-Mu'tazz Billah, dan Ibrahim Al-Muayyid Billah. Masing-masing dari ketiga putra mahkota ini membawa dua panji, salah satunya berwarna hitam yang merupakan panji perjanjian dan bendera yang lain berwarna putih panji untuk pengamalannya.
Ia menyerahkan wilayah Afrika, seluruh Maghrib, Al-Awashim (daerah atau kota pedalaman), Ats-Tsuqhur (daerah di wilayah perbatasan) di Syam, Al-Juzuriyah, Al-Jazirah, Irak, Hijaz, Yaman, Ahwaz, Sind, dan Mukarran.
Kepada putra keduanya, Al-Mutawakil menyerahkan wilayah Khurasan dengan beberapa daerah lainnya seperti Thabaristan, Rayy, Armenia, Azerbaijan, dan beberapa distrik Persia. Adapun kepada putranya yang ketiga, Al-Mutawakil menyerahkan Jundi Homs, Jundi Damaskus, dan Jundi Palestina.
Lelaki ini meniru kebijakan kakeknya meskipun mengetahui dampak buruk yang ditimbulkannya, melanggar sumpah dan janji.
Lebih parah lagi, pada akhir hidupnya ia ingin mencabut hak sebagai putra mahkota dari Muhammad Al-Muntashir putra sulungnya. Karena itu, Muhammad Al-Muntashir mengumpulkan pendukungnya dari orang-orang Turki untuk membunuhnya hingga mereka pun berhasil membunuhnya.
Muhammad Al-Muntashir pun menjabat sebagai khalifah dan membaiat kedua saudaranya. Akan tetapi tidak berapa lama ia mencabut hal sebagai Putra Mahkota dari keduanya setelah empat puluh hari pengangkatannya.
Adapun Al-Muayyid Billah, ia bisa menerima kebijakan itu dengan penuh kepatuhan dan loyalitas. Sedangkan Al-Mu'taz Billah menolaknya seraya berkata, “Jika kalian menginginkan pembunuhan, maka terserah kalian.”
Setelah mendapatkan ancaman dan peringatan keras, maka masing-masing dari dua bersaudara itu mempersaksikan dirinya atas pencabutan hak tersebut di hadapan para hakim, Bani Hasyim, para komandan militer, dan tokoh-tokoh masyarakat.
Kekhalifahan sesudahnya dijabat oleh Ahmad Al-Mustain Billah bin Muhammad bin Al-Mu'tashim, di mana para loyalis mengeluarkan atau menjauhkannya dari putra-putra Al-Mutawakkil karena khawatir mereka akan mengacaukan keadaan karena pembunuhan terhadap ayah mereka.
Sistem kekhalifahan di Baghdad mengalami kekacauan ketika itu karena para pejabat tinggi dan tokoh-tokoh terkemuka dari Turki yang merupakan sisa-sisa pendukung Al-Mu'tashim dan para pejabat tinggi negara yang bersimpati dengan mereka mengangkat siapa saja yang mereka kehendaki dan kemudian memberhentikannya begitu saja.
Lalu mereka mengangkat tokoh yang lain hingga datanglah periode pemerintahan Al-Mu'tamid Billah yang merupakan khalifah kelima belas, yang kemudian mengangkat keponakannya Ahmad AlMu'tadhid bin Thalhah bin Al-Mutawakil sebagai putra mahkota. Kemudian Al-Mu'tadhid mengangkat putranya Al-Muktafi Billah sebagai putra mahkota.
Setelah itu, kekacauan terjadi kembali, pencabutan hak dan dukungan, serta pembunuhan para khalifah menjadi sebuah kebiasaan hingga datanglah pemerintahan Bani Buwaihi.
Khalifah Hanya Simbol
Pada masa mereka ini, para khalifah hanyalah simbolik semata. Pengangkatan dan pemberhentian khalifah dan pejabat berada di tangan Bani Buwaihi.
Semua khalifah yang mereka angkat, mereka berhentikan kembali, kecuali Ahmad Al-Qadir Billah karena mampu mempertahankan pemerintahannya dalam waktu yang lama dan kemudian mengangkat putranya Al-Qa'im sebagai putra mahkota.
Setelah itu perpindahan kekuasaan dalam kekhalifahan dari satu kekhalifah kepada putranya secara beruntun hingga berakhirlah pemerintahan Daulah Abbasiyah dengan munculnya bangsa Tatar, di mana Hulagu Khan yang merupakan cucu Jengis Khan penyatu bangsa Tatar melancarkan serangan terhadap kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad hingga menyebabkan terbunuhnya Khalifah Al-Mu'tashim Billah tahun 656 H.
Syaikh Muhammad Al-Khudari menyimpulkan, putra mahkota pada pertengahan pertama kekhalifahan Bani Abbasiyah berjalan dengan sistem yang tidak baik, yaitu pengangkatan putra mahkota lebih dari satu orang. Akibatnya, pengangkatan semacam itu menimbulkan petaka dan bencana besar, dan tiada seorang pun dari mereka bekerja untuk merumuskan sistem yang baik dengan segenap pengetahuan, kebijakan, dan kepakaran yang mereka miliki.
Adapun pembaiatan, pada periode pertama dilakukan dengan berjabat tangan dan ucapan orang yang membaiat, “Aku membaiat kamu untuk patuh dan taat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” Kemudian ditambahkan sumpah jabatan pada akhir pemerintahan Daulah Umayyah. Begitu juga pada periode pertama Daulah Abbasiyah.
(mhy)