Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur: Dikenal Sangat Kikir, Bergelar Abu Dawaniq
Kamis, 31 Maret 2022 - 17:42 WIB
Abu Ja'far Al-Manshur adalah khalifah kedua Bani Abbasiyah . Dia menggantikan Abul Abbas As-Saffah. Ia dilantik menjadi khalifah pada 136 H/754 M. Jika pendahulunya dikenal sangat dermawan, Al-Manshur sebaliknya. Ia sangat kikir sehingga bergelar "Abu Dawani".
Tentang sosok khalifah kedua ini, Imam Al Suyuthi dalam "Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah" menyebutkan nama lengkapnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, atau biasa dipanggil Abu Ja’far.
Ibunya bernama Salamah al Barbariyah, bekas budak yang dikawini oleh ayahnya. Dia lahir pada tahun 95 H, dan dilantik sebagai khalifah Abbasiyah pada musim haji 136 H. Dan tatkala Khalifah Abul Abbas As-Saffah wadat, Abu Ja'far sedang menunaikan ibadah haji.
Ketika itu, Abu Ja’far yang sebelumnya sudah dinobatkan sebagai putra mahkota oleh As-Saffah, diperintahkan untuk memimpin jamaah haji. Di tengah jalan, kabar menyedihkan datang dari Al-Anbar, ibu kota Dinasti Abbasiyah kala itu, bahwa As-Saffah sudah wafat.
Dengan demikian, secara otomatis Abu Ja’far dinobatkan sebagai khalifah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa upacara pelantikannya dilakukan di tempat pemberhentian bernama Zakiyyah dalam perjalanan menuju Mekkah.
Secara kebetulan, dalam rombongan haji kali ini terdapat cukup banyak pendukung setia Bani Abbas, termasuk di antaranya adalah Abu Muslim al Khurasani. Mereka semua menyatakan kesetiaannya pada Abu Ja’far, yang kemudian bergelar “Al Manshur”.
Menurut Imam al Suyuthi, Al-Manshur adalah orang yang amat terpandang dari kalangan Bani Abbas dan terkenal kharisma, keberanian, kegigihan tekad, dan pendapat-pendapatnya yang cemerlang. Tapi di sisi lain, dia dikenal kekejamannya, serta anti dengan semua yang bersifat main-main dan senda gurau.
Sama dengan As-Saffah, dia dikenal sebagai orator yang ulung dengan ungkapan-ungkapan yang mempesona. Namun kebalikan dari As-Saffah, Al-Manshur dikenal sangat kikir, sampai-sampai digelari “Abu Dawaniq”, karena kebiasaannya menghitung harta sampai rincian yang terkecil untuk para pegawainya.
Dawaniq adalah jamak dari Daniq, nama mata uang zaman itu. Konon sebelum menjadi khalifah, Al-Manshur dikenal sebagai penuntut ilmu yang rajin. Hingga satu peristiwa terjadi dalam hidupnya, yang mengubah sifat-sifat ini.
Suatu ketika, Al-Manshur memasuki sebuah rumah lalu ditangkap oleh penjaga rumah. Si penjaga rumah berkata, “Timbanglah 2 dirham!” Al-Manshur berkata, ”Lepaskan aku karena aku adalah keturunan paman Rasulullah.”
Si penjaga rumah bersikukuh, “Timbanglah 2 dirham!”
Al-Manshur berusaha menawar, “Biarkan aku, sebab aku seorang yang pandai membaca Kitabullah.”
Si penjaga rumah terus mendesak, “Timbanglah 2 dirham!” merasa putus asa dengan perintah si penjaga rumah, akhirnya Al-Manshur menimbang 2 dirham lalu dia kembalikan. Sejak itulah dia tergila-gila mengumpulkan harta dengan tamak sampai diberi gelar Abu Dawaniq.
Tak kalah dengan saudaranya As-Saffah, Al Manshur juga sangat kejam memperlakukan lawan-lawannnya. Tapi bila As-Saffah berlaku kejam kepada musuhnya, Al-Manshur bertindak kejam justru kepada bawahannya dan kolega-koleganya sendiri.
Ketika pertama kali dilantik, kebijakan pertamanya adalah membunuh Abu Muslim al Khurasani yang merupakan sosok paling berjasa dalam revolusi Abbasiyah.
Menurut riwayat Tabari, konflik pribadi antara Al-Manshur dengan Abu Muslim sudah terjadi sejak masa pemerintahan As-Saffah. Ketika itu Abu Muslim menjadi orang sangat berpengaruh di Khurasan. Sedemikian sehingga rakyat Khurasan lebih mengenal dan mencintai Abu Muslim daripada khalifah kaum Muslim yang baru.
Buku The History of al-Tabari berkisah, dalam satu kesempatan, Al-Manshur berkunjung ke Khurasan. Ketika itu posisinya sudah menjadi seorang putra mahkota. Tujuan Al-Manshur ke Khurasan tidak lain untuk memastikan kesetiaan Abu Muslim kepada Bani Abbas, dan Abu Muslim pun dengan senang hati mengukuhkan kesetiaannya pada As-Saffah dan Dinasti Abbasiyah.
Hanya saja, dalam proses kunjungan tersebut, Abu Muslim justru memperlakukan Al-Manshur setara, layaknya koleganya. Bukan sosok penting yang dihormati layaknya seorang putra mahkota.
Hal ini kemudian menyebabkan Al-Manshur tersinggung luar biasa. Sampai-sampai ketika dia kembali dari Khurasan, dia memohon pada As-Saffah agar diizinkan untuk membunuhnya. Tapi hal ini mampu dicegah oleh As-Saffah.
Di samping karena mengingat jasa Abu Muslim dalam revolusi Abbasiyah, As-Saffah juga mempertimbangkan pengaruh Abu Muslim yang luar biasa di tengah masyarakat. Meski begitu, kecurigaan Bani Abbas terhadap popularitas Abu Muslim kian hari kian besar.
Pada musim haji tahun 136 H, Abu Ja’far diperintahkan untuk memimpin jamaah haji. Pada saat bersamaan, Abu Muslim bertemu dengan As-Saffah dan memohon izin agar diperbolehkan memimpin jamaah haji.
Dia membawa sekitar 8000 pasukan bersama. Tapi ketika permohonan itu sampai, As-Safah sudah terlanjur menjatuhkan pilihannya pada Al-Manshur. Hal ini membuat kecewa Abu Muslim. Karena bagi Abu Muslim, musim haji adalah momentum yang tepat untuk meningkatkan popularitasnya di tengah kaum Muslim. Dan kedudukan sebagai pemimpin jamaah haji, adalah kedudukan paling strategis.
Ketika pada akhir tahun 136 H, berita kematian As-Saffah datang Al-Anbar. Dalam wasiatnya, As-Saffah meminta semua orang segera memberikan baiat kepada Al-Manshur. Abu Muslim yang mendengar berita ini, dengan setengah hati memberikan baiatnya pada Al-Manshur.
Sebaliknya, Al-Manshur pun merasa tidak yakin dengan kesetiaan Abu Muslim kepadanya. Maka demikianlah, sejak saat itu, hubungan kedua orang terpenting dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah itu bak api dalam sekam.
Pemberontakan Abdullah Ali
Al-Manshur merasa kursi kekuasaannya tidak akan pernah tenang selama Abu Muslim masih eksis dengan pengaruh dan kekuatannya yang demikian besar di kalangan pendukung Bani Abbas. Dengan kata lain, Abu Muslim untuk saat ini adalah satu-satunya orang yang paling berpotensi mendelegitimasi posisinya sebagai khalifah. Dan ini tidak bisa dibiarkan.
Pada awal tahun 137 H, sebuah pemberontakan pecah di Damaskus. Pemberontakan ini dipimpin oleh paman Al-Manshur bernama Abdullah bin Ali.
Abdullah Ali adalah sosok yang sebelumnya berhasil menaklukkan kekuatan terakhir Bani Umayyah dalam pertempuran Zab. Atas keberhasilan ini, dia merasa berhak atas jabatan tinggi, termasuk jabatan khalifah. Dan ketika Abdullah bin Ali mendengar kabar wafatnya As-Saffah, dia langsung mendeklarasikan diri sebagai khalifah kaum Muslimin.
Sayangnya, ketika wafatnya As-Saffah, Al-Manshur sedang tidak ada di tempat, karena dia sedang memimpin jamaah haji. Sepulangnya dari haji, Al-Manshur membawa setumpuk kegelisahan, khususnya tentang bagaimana mengukuhkan legitimasi Dinasti Abbasiyah di tengah kaum Muslimin.
Begitu mendengar pamannya melakukan pemberontakan, dia langsung melihat kesempatan di sini. Segera dia mengeluarkan perintah untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Dan orang yang dipilih untuk melaksanakan tugas tersebut tidak lain adalah Abu Muslim al Khurasani.
Menariknya, Abu Muslim pun mematuhi perintah tersebut. Beberapa pengamat mengatakan bahwa kepatuan Abu Muslim pada perintah Al-Manshur adalah upayanya menunjukkan kesetiannya pada Bani Abbas. Meski demikian, menurut riwayat Tabari, Abu Muslim agak ragu berangkat berperang menghadapi Abdullah bin Ali. Ketika pasukannya sudah melaju hingga ke daerah Harran, dia sempat menghentikan langkahnya.
Namun kemudian Al-Manshur yang mengetahui hal ini segera mengirim lagi perintah, dan mengatakan, “Kamu atau aku yang akan pergi (menghadapi Abdullah)?" kemudian Abu Muslim kembali bergerak melanjutkan langkahnya.
Bila sedikit dicermati, keputusan Al-Manshur mengirim Abu Muslim untuk memadamkan pemberontakan Abdullah, bisa dikatakan langkah yang sangat cerdik. Dengan begitu, Al-Manshur ingin membidik dua sasaran dengan satu peluru.
Apapun hasil akhir pertempuran antara Abu Muslim dengan Abdullah bin Ali, keuntungannya akan tetap milik Al-Manshur. Karena pertempuran ini pasti akan menguras banyak tenaga.
Siapapun yang kalah pasti akan tersingkir, dan itu berarti hilang satu ancaman bagi Al-Manshur. Adapun yang menang, kekuatannya pasti akan terkuras habis. Dan itu juga berarti berkurang satu ancaman bagi pemerintahan Al-Manshur.
Maka demikianlah, pada pertengahan tahun 137 H, bertemulah dua kekuatan terbesar Bani Abbas dalam satu pertempuran. Abu Muslim, seorang pemimpin revolusi Abbasiyah dengan bala tentara dari Khurasan, melawan Abdulah bin Ali, dengan pasukan yang pernah sukses menghancurkan kekuatan terakhir Dinasti Umayyah.
Pertempuran hebat pun pecah selama berbulan-bulan antara dua kekuatan ini. Hingga akhirnya, pasukan Abdullah bin Ali takluk, dan Abdullah pun melarikan diri ke Basrah.
Di Basrah, Abdullah Ali meminta perlindungan dari saudaranya bernama Sulaiman bin Ali, yang ketika itu sedang menjabat sebagai gubernur Basrah. Mendengar ini, Al-Manshur segera memecat Sulaiman, dan memaksanya menyerahkan Abdullah. Akhirnya, Abdullah pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara, dan akhirnya dia meninggal di dalam penjara.
Tentang sosok khalifah kedua ini, Imam Al Suyuthi dalam "Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah" menyebutkan nama lengkapnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, atau biasa dipanggil Abu Ja’far.
Ibunya bernama Salamah al Barbariyah, bekas budak yang dikawini oleh ayahnya. Dia lahir pada tahun 95 H, dan dilantik sebagai khalifah Abbasiyah pada musim haji 136 H. Dan tatkala Khalifah Abul Abbas As-Saffah wadat, Abu Ja'far sedang menunaikan ibadah haji.
Ketika itu, Abu Ja’far yang sebelumnya sudah dinobatkan sebagai putra mahkota oleh As-Saffah, diperintahkan untuk memimpin jamaah haji. Di tengah jalan, kabar menyedihkan datang dari Al-Anbar, ibu kota Dinasti Abbasiyah kala itu, bahwa As-Saffah sudah wafat.
Dengan demikian, secara otomatis Abu Ja’far dinobatkan sebagai khalifah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa upacara pelantikannya dilakukan di tempat pemberhentian bernama Zakiyyah dalam perjalanan menuju Mekkah.
Secara kebetulan, dalam rombongan haji kali ini terdapat cukup banyak pendukung setia Bani Abbas, termasuk di antaranya adalah Abu Muslim al Khurasani. Mereka semua menyatakan kesetiaannya pada Abu Ja’far, yang kemudian bergelar “Al Manshur”.
Menurut Imam al Suyuthi, Al-Manshur adalah orang yang amat terpandang dari kalangan Bani Abbas dan terkenal kharisma, keberanian, kegigihan tekad, dan pendapat-pendapatnya yang cemerlang. Tapi di sisi lain, dia dikenal kekejamannya, serta anti dengan semua yang bersifat main-main dan senda gurau.
Sama dengan As-Saffah, dia dikenal sebagai orator yang ulung dengan ungkapan-ungkapan yang mempesona. Namun kebalikan dari As-Saffah, Al-Manshur dikenal sangat kikir, sampai-sampai digelari “Abu Dawaniq”, karena kebiasaannya menghitung harta sampai rincian yang terkecil untuk para pegawainya.
Dawaniq adalah jamak dari Daniq, nama mata uang zaman itu. Konon sebelum menjadi khalifah, Al-Manshur dikenal sebagai penuntut ilmu yang rajin. Hingga satu peristiwa terjadi dalam hidupnya, yang mengubah sifat-sifat ini.
Suatu ketika, Al-Manshur memasuki sebuah rumah lalu ditangkap oleh penjaga rumah. Si penjaga rumah berkata, “Timbanglah 2 dirham!” Al-Manshur berkata, ”Lepaskan aku karena aku adalah keturunan paman Rasulullah.”
Si penjaga rumah bersikukuh, “Timbanglah 2 dirham!”
Al-Manshur berusaha menawar, “Biarkan aku, sebab aku seorang yang pandai membaca Kitabullah.”
Si penjaga rumah terus mendesak, “Timbanglah 2 dirham!” merasa putus asa dengan perintah si penjaga rumah, akhirnya Al-Manshur menimbang 2 dirham lalu dia kembalikan. Sejak itulah dia tergila-gila mengumpulkan harta dengan tamak sampai diberi gelar Abu Dawaniq.
Tak kalah dengan saudaranya As-Saffah, Al Manshur juga sangat kejam memperlakukan lawan-lawannnya. Tapi bila As-Saffah berlaku kejam kepada musuhnya, Al-Manshur bertindak kejam justru kepada bawahannya dan kolega-koleganya sendiri.
Ketika pertama kali dilantik, kebijakan pertamanya adalah membunuh Abu Muslim al Khurasani yang merupakan sosok paling berjasa dalam revolusi Abbasiyah.
Menurut riwayat Tabari, konflik pribadi antara Al-Manshur dengan Abu Muslim sudah terjadi sejak masa pemerintahan As-Saffah. Ketika itu Abu Muslim menjadi orang sangat berpengaruh di Khurasan. Sedemikian sehingga rakyat Khurasan lebih mengenal dan mencintai Abu Muslim daripada khalifah kaum Muslim yang baru.
Buku The History of al-Tabari berkisah, dalam satu kesempatan, Al-Manshur berkunjung ke Khurasan. Ketika itu posisinya sudah menjadi seorang putra mahkota. Tujuan Al-Manshur ke Khurasan tidak lain untuk memastikan kesetiaan Abu Muslim kepada Bani Abbas, dan Abu Muslim pun dengan senang hati mengukuhkan kesetiaannya pada As-Saffah dan Dinasti Abbasiyah.
Hanya saja, dalam proses kunjungan tersebut, Abu Muslim justru memperlakukan Al-Manshur setara, layaknya koleganya. Bukan sosok penting yang dihormati layaknya seorang putra mahkota.
Hal ini kemudian menyebabkan Al-Manshur tersinggung luar biasa. Sampai-sampai ketika dia kembali dari Khurasan, dia memohon pada As-Saffah agar diizinkan untuk membunuhnya. Tapi hal ini mampu dicegah oleh As-Saffah.
Di samping karena mengingat jasa Abu Muslim dalam revolusi Abbasiyah, As-Saffah juga mempertimbangkan pengaruh Abu Muslim yang luar biasa di tengah masyarakat. Meski begitu, kecurigaan Bani Abbas terhadap popularitas Abu Muslim kian hari kian besar.
Pada musim haji tahun 136 H, Abu Ja’far diperintahkan untuk memimpin jamaah haji. Pada saat bersamaan, Abu Muslim bertemu dengan As-Saffah dan memohon izin agar diperbolehkan memimpin jamaah haji.
Dia membawa sekitar 8000 pasukan bersama. Tapi ketika permohonan itu sampai, As-Safah sudah terlanjur menjatuhkan pilihannya pada Al-Manshur. Hal ini membuat kecewa Abu Muslim. Karena bagi Abu Muslim, musim haji adalah momentum yang tepat untuk meningkatkan popularitasnya di tengah kaum Muslim. Dan kedudukan sebagai pemimpin jamaah haji, adalah kedudukan paling strategis.
Ketika pada akhir tahun 136 H, berita kematian As-Saffah datang Al-Anbar. Dalam wasiatnya, As-Saffah meminta semua orang segera memberikan baiat kepada Al-Manshur. Abu Muslim yang mendengar berita ini, dengan setengah hati memberikan baiatnya pada Al-Manshur.
Sebaliknya, Al-Manshur pun merasa tidak yakin dengan kesetiaan Abu Muslim kepadanya. Maka demikianlah, sejak saat itu, hubungan kedua orang terpenting dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah itu bak api dalam sekam.
Pemberontakan Abdullah Ali
Al-Manshur merasa kursi kekuasaannya tidak akan pernah tenang selama Abu Muslim masih eksis dengan pengaruh dan kekuatannya yang demikian besar di kalangan pendukung Bani Abbas. Dengan kata lain, Abu Muslim untuk saat ini adalah satu-satunya orang yang paling berpotensi mendelegitimasi posisinya sebagai khalifah. Dan ini tidak bisa dibiarkan.
Pada awal tahun 137 H, sebuah pemberontakan pecah di Damaskus. Pemberontakan ini dipimpin oleh paman Al-Manshur bernama Abdullah bin Ali.
Abdullah Ali adalah sosok yang sebelumnya berhasil menaklukkan kekuatan terakhir Bani Umayyah dalam pertempuran Zab. Atas keberhasilan ini, dia merasa berhak atas jabatan tinggi, termasuk jabatan khalifah. Dan ketika Abdullah bin Ali mendengar kabar wafatnya As-Saffah, dia langsung mendeklarasikan diri sebagai khalifah kaum Muslimin.
Sayangnya, ketika wafatnya As-Saffah, Al-Manshur sedang tidak ada di tempat, karena dia sedang memimpin jamaah haji. Sepulangnya dari haji, Al-Manshur membawa setumpuk kegelisahan, khususnya tentang bagaimana mengukuhkan legitimasi Dinasti Abbasiyah di tengah kaum Muslimin.
Begitu mendengar pamannya melakukan pemberontakan, dia langsung melihat kesempatan di sini. Segera dia mengeluarkan perintah untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Dan orang yang dipilih untuk melaksanakan tugas tersebut tidak lain adalah Abu Muslim al Khurasani.
Menariknya, Abu Muslim pun mematuhi perintah tersebut. Beberapa pengamat mengatakan bahwa kepatuan Abu Muslim pada perintah Al-Manshur adalah upayanya menunjukkan kesetiannya pada Bani Abbas. Meski demikian, menurut riwayat Tabari, Abu Muslim agak ragu berangkat berperang menghadapi Abdullah bin Ali. Ketika pasukannya sudah melaju hingga ke daerah Harran, dia sempat menghentikan langkahnya.
Namun kemudian Al-Manshur yang mengetahui hal ini segera mengirim lagi perintah, dan mengatakan, “Kamu atau aku yang akan pergi (menghadapi Abdullah)?" kemudian Abu Muslim kembali bergerak melanjutkan langkahnya.
Bila sedikit dicermati, keputusan Al-Manshur mengirim Abu Muslim untuk memadamkan pemberontakan Abdullah, bisa dikatakan langkah yang sangat cerdik. Dengan begitu, Al-Manshur ingin membidik dua sasaran dengan satu peluru.
Apapun hasil akhir pertempuran antara Abu Muslim dengan Abdullah bin Ali, keuntungannya akan tetap milik Al-Manshur. Karena pertempuran ini pasti akan menguras banyak tenaga.
Siapapun yang kalah pasti akan tersingkir, dan itu berarti hilang satu ancaman bagi Al-Manshur. Adapun yang menang, kekuatannya pasti akan terkuras habis. Dan itu juga berarti berkurang satu ancaman bagi pemerintahan Al-Manshur.
Maka demikianlah, pada pertengahan tahun 137 H, bertemulah dua kekuatan terbesar Bani Abbas dalam satu pertempuran. Abu Muslim, seorang pemimpin revolusi Abbasiyah dengan bala tentara dari Khurasan, melawan Abdulah bin Ali, dengan pasukan yang pernah sukses menghancurkan kekuatan terakhir Dinasti Umayyah.
Pertempuran hebat pun pecah selama berbulan-bulan antara dua kekuatan ini. Hingga akhirnya, pasukan Abdullah bin Ali takluk, dan Abdullah pun melarikan diri ke Basrah.
Di Basrah, Abdullah Ali meminta perlindungan dari saudaranya bernama Sulaiman bin Ali, yang ketika itu sedang menjabat sebagai gubernur Basrah. Mendengar ini, Al-Manshur segera memecat Sulaiman, dan memaksanya menyerahkan Abdullah. Akhirnya, Abdullah pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara, dan akhirnya dia meninggal di dalam penjara.
(mhy)
Lihat Juga :