Kisah Menyentuh Rabi'ah ar-Ra'yi, 30 Tahun Ditinggal Jihad sang Ayah

Senin, 11 April 2022 - 17:27 WIB
Dia menerkam bagaikan singa yang mengamuk ketika sarangnya hendak dirusak. Tak ada kesempatan lagi untuk bicara. Keduanya langsung bergulat, saling terkam, saling tuduh dan makin lama makin panas. Para tetangga dan orang-orang di jalanan mengerumuni dua orang yang sedang berkelahi itu. Mereka hendak mengeroyok orang asing itu untuk membela tetangganya.

Beberapa jurus kemudian, laki-laki yang di rumah itu mencengkeram kuat-kuat leher lawannya seraya berkata, “Wahai musuh Allah, Demi Allah aku tak akan melepaskanmu kecuali di muka hakim!”

Orang asing itu berkata, “Aku bukan musuh Allah dan bukan penjahat. Tapi ini rumahku, milikku, kudapati pintunya terbuka lalu aku masuk.”

Dia menoleh kepada orang-orang sembari berkata, “Wahai saudara-saudara, dengarkan keteranganku. Rumah ini milikku, kubeli dengan uangku. Wahai kaum, aku adalah Farrukh. Tiadakah seorang tetangga yang masih mengenali Farrukh yang tiga puluh tahu lalu pergi berjihad fi sabilillah?”

Bersaman itu, ibu si empunya rumah yang sedang tidur terbangun oleh keributan itu lalu menengok dari jendela atas dan melihat suaminya sedang bergulat dengan darah dagingnya. Lidahnya nyaris kelu. Namun dengan sekuat tenaga dia berseru, “Lepaskan… lepaskan dia, Rabiah… lepaskan dia, putraku, Dia adalah ayahmu… dia ayahmu… saudara-saudara, tinggalkanlah mereka, semoga Allah memberkahi kalian, tenanglah, Abu Abdurrahman, dia putramu… dia putramu.. jantung hatimu…”

Demi mendengar teriakan itu, seketika Farrukh memeluk dan menciumi putranya. Begitu pula ar-Rabi’ah, beliau mencium tangan ayahnya. Orang-orang pun bubar meninggalkan keduanya.

Turunlah Ummu ar-Rabiah untuk menyambut suaminya dan memberi salam. Padahal dia tak mengira bisa bertemu lagi dengan suaminya setelah hampir sepertiga abad terputus kabar beritanya.



Uang Titipan

Suatu kali, Farrukh duduk-duduk bersama istrinya, bercerita asyik tentang keadaannya dan sebab-musabab terputusnya berita darinya. Namun isterinya tak bisa menikmati ceritanya, karena tiba-tiba muncul perkara yang menggelayuti pikirannya.

Kebahagiaannya berkumpul dengan suaminya dibayangi kekhawatiran akan masalah uang titipan suaminya yang telah ludes. Dalam hati dia bergumam, “Apa yang harus aku katakan bila suamiku menanyakan uang yang diamanatkan kepadaku agar kumanfaatkan dengan baik, bagaimana kiranya sikap suamiku bila aku katakan bahwa hartanya itu sudah habis tak tersisa."

"Bisakah dia menerima alasanku bahwa uang itu habis untuk biaya pendidikan putranya? Percayakah dia bahwa pendidikan putranya sampai menghabiskan 30 ribu dinar? Bisakah suaminya percaya bahwa tangan putranya lebih pemurah dari awan yang mencurahkan hujannya? Sementara dia tidak menyisakan satu dirham pun? Seluruh penduduk Madinah tahu bahwa dia sangat pemurah dalam memberikan bayaran kepada guru-guru putranya."

Selagi pikirannya terbang jauh, tiba-tiba suaminya menoleh kepadanya dan berkata, “Aku membawa uang 4.000 dinar. Ambillah uang yang aku titipkan kepadamu dahulu. Kita kumpulkan lalu kita belikan kebun atau rumah. Kita bisa hidup dari hasil sewanya selama sisa usia kita.”

Ummu ar-Rabi’ah pura-pura sibuk dan tidak menjawabnya, suaminya mengulangi pertanyaannya, “Lekaslah, mana uang itu? Bawalah kemari agar bisa disatukan dengan hasil yang kubawa.”

Dia berkata, “Aku letakkan uang tersebut di tempat yang semestinya dan akan kuambil beberapa hari lagi insyaAllah…"

Pembicaraan antara keduanya terputus lantaran terdengar suara azan. Farrukh bergegas mengambil air wudlu lalu menuju ke pintu sambil bertanya, “Mana ar-Rabi’ah?”

Istrinya menjawab, “Dia sudah lebih dahulu berangkat ke masjid. Saya kira engkau akan tertinggal sholat berjamaah.”

Sampailah Farrukh di masjid, beliau mendapati imam sudah menyelesaikan sholatnya. Dia pun segera sholat, kemudian menuju ke makam Rasulullah SAW dan mengucap shalawat atasnya, setelah itu mengambil tempat di Raudhah Muthahharah (tempat antara makam nabi dengan mimbarnya). Betapa rindunya beliau untuk sholat. Maka beliau memilih tempat untuk salat sunah kemudian beliau berdoa sekehendaknya.



Ketika beliau berhasrat untuk pulang, dilihatnya ruangan masjid sudah padat dengan orang yang hendak belajar, pemandangan yang belum ia saksikan sebelumnya. Mereka duduk melingkari syaikh majelis ilmu tersebut sampai tak ada lagi tempat kosong untuk berjalan. Dia mengamati, ternyata orang-orang yang hadir itu ada yang telah lanjut usia, orang-orang yang terlihat berwibawa nampak sebagai orang terhormat, juga para pemuda.

Mereka semua duduk menghamparkan lututnya, masing-masing memegang buku dan pena untuk mencatat semua uraian syaikh itu, kemudian dihafalkan. Semua mengarahkan pandangan kepada syaikh majelis. Dengan tekun mereka mendengarkan dan mencatat hingga seolah-olah kepala mereka seperti ada burung yang bertengger. Para mubaligh mengulangi kata demi kata dari syaikh itu, agar tidak ada seorang pun yang keliru mendengarnya mengingat jaraknya yang cukup jauh.

Farrukh berusaha melihat wajah syaikh yang luar biasa itu tetapi nihil, karena orang-orang terlalu padat dan jaraknya yang cukup jauh. Dia kagum dengan segala perkataan syaikh itu, juga pada ingatannya yang tajam dan ilmunya yang luas, juga antusias hadirin yang untuk mendengarkannya.

Beberapa waktu kemudian majelis itupun usai. Syaikh berdiri dari tempatnya, sementara orang-orang langsung berkerumun dan mengiringkannya hingga keluar masjid.

Farrukh yang belum beranjak dari tempatnya bertanya kepada fulan yang di sebelahnya,

Farrukh: “Siapakah syaikh yang baru saja berceramah?”

Fulan: “Apakah Anda bukan penduduk Madinah?”

Farrukh: “Saya penduduk sini.”

Fulan: “Masih adakah di Madinah ini orang yang tak mengenal syaikh yang memberikan ceramah itu?”

Farrukh: “Maaf, saya benar-benar tidak tahu karena sudah sejak 30 tahun lalu saya meninggalkan kota ini dan baru kemarin saya kembali.”

Fulan: “Tidak apa, duduklah sejenak, akan saya jelaskan. Syaikh yang Anda dengarkan ceramahnya tadi adalah seorang tokoh ulama tabi’in, termasuk di antara ulama yang terpandang, dialah ahli hadis di Madinah, fuqaha, dan imam kami meski usianya masih sangat muda.”

Farrukh: “Masya Allah… laa quwwata illa billah.” (tidak ada kekuatan kecuali dari Allah).

Fulan: “Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah an-Nu’man, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru al-Auza’i, Laits bin Sa’id dan lain-lain.”

Farrukh: “Tetapi Anda belum…”

Orang tersebut tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Dia melanjutkan pujiannya.

Fulan: “Di samping itu dia sangat dermawan dan bijaksana. Tidak ada di Madinah ini orang yang lebih dermawan terhadap kawan dan keluarga darinya. Dia hanya mengharapkan apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Farrukh: “Tetapi, Anda belum menyebutkan namanya.”

Fulan: “Namanya adalah Rabi’ah ar-Ra’yi.”

Farrukh: “Rabi’ah ar-Ra’yi?”

Fulan: “Nama aslinya ar-Rabi’ah, tetapi para ulama dan pemuka Madinah biasa memanggilnya ar-Rabi’ah ar-Ra’yi. Karena setiap kali mereka menjumpai kesulitan atau merasa tidak jelas tentang suatu nash dalam Kitabullah dan hadis, mereka selalu bertanya kepadanya. Kemudian beliau berijtihad dalam masalah itu, menyebutkan qias apabila tidak ada nash sama sekali, serta menyimpulkan hukum bagi mereka yang memerlukannya secara bijak dan menenteramkan hati.”

Farrukh: “Anda belum menyebutkan nasabnya.”

Fulan: “Dia adalah ar-Rabi’ah putra Farrukh yang memiliki kunyah (julukan) Abu Abdirrahman. Dilahirkan tak lama setelah ayahnya meninggalkan Madinah sebagai mujahid fi sabilillah, lalu ibunyalah yang memelihara dan mendidiknya. Tapi sebelum sholat tadi saya mendengar dari orang-orang bahwa ayahnya telah datang kemarin malam.”

Tiba-tiba saja Farukh melelehkan air mata tanpa lawan bicaranya tahu penyebabnya. Kemudian beliau mempercepat langkahnya untuk pulang.

Begitu melihat suaminya datang sambil meneteskan air mata, ibunda ar-Rabi’ah bertanya: “Ada apa wahai Abu Abdirrahman?”

Beliau menjawab, “Tidak apa-apa, aku melihat putraku berada dalam kedudukan ilmu dan kehormatan yang tinggi, yang tidak kulihat pada orang lain.”

Kesempatan tersebut dipergunakan oleh Ummu ar-Rabi’ah untuk menjelaskan tentang harta amanat suaminya yang ditanyakan sebelumnya. Dia berkata: “Menurut Anda manakah yang lebih Anda sukai, uang 30.000 dinar atau ilmu dan kehormatan yang telah dicapai putramu?”

Farrukh berkata, “Demi Allah, bahkan ini lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.”

Ummu ar-Rabi’ah berkata, “Ketahuilah wahai suamiku, aku telah menghabiskan semua harta amanatmu itu untuk membiayai pendidikan putra kita. Ridhakah Anda dengan apa yang telah aku perbuat?”

Farrukh berkata, “Ya, semoga Allah membalas jasamu atasku, anak kita dan juga kaum muslimin dengan balasan yang baik."
Halaman :
Follow
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Rabb Tabaaraka wa Ta'ala kita turun di setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan berfirman: Siapa yang berdo'a kepadaKu pasti Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu pasti Aku penuhi dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku pasti Aku ampuni.

(HR. Bukhari No. 1077)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More