Kisah Syuraih Bin al-Harits: Menangkan si Kafir dalam Sengketa dengan Ali bin Abi Thalib
Kamis, 14 April 2022 - 13:49 WIB
Suatu ketika Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kehilangan pakaian perang yang menjadi kesayangannya. Lalu beliau dapatkan barang tersebut berada di tangan seorang kafir dzimmi (kafir yang dilindungi di negeri Islam) yang tengah berjualan di pasar Kufah.
Begitu melihatnya, spontan Ali berkata: “Ini adalah milikku yang jatuh dari ontaku pada malam anu di tempat anu.”
Hanya saja, si kafir mengelak dan berkata, “Ini adalah barangku dan berada di tanganku wahai amirul mukminin!”
“Ini milikku, aku tak merasa pernah menjualnya kepada orang lain atau memberikannya hingga sampai berada di tanganmu,” balas Ali bin Abu Thalib.
“Kalau begitu kita datang kepada qadhi!” tantang si Kafir.
“Engkau adil, mari kita ke sana!” sambut Khalifah Ali. Maka pergilah keduanya menuju qadhi Syuraih bin al-Harits.
Qadhi ini sangat terkenal karena sebelum menjadi qadhi sempat mengalahkan Khalifah Umar bin Kattab dalam sengketa masalah kuda dengan orang kampung.
Dr Abdurrahman Ra'fat Basya dalam buku berjudul "Mereka adalah Para Tabiin", menyebutkan setelah Khalifah Ali dan rivalnya ini masuk dan duduk dalam sidangnya, bertanyalah qadhi Syuraih, “Apa tuduhanmu wahai amirul mukminin?”
“Kudapati barangku berada di tangan orang ini. Barang itu jatuh dari ontaku pada malam anu di tempat anu, lalu sampai di tangan orang ini, padahal aku tidak menjual kepadanya tidak pula kuberikan sebagai hadiah,” ujar Khalifah Ali.
“Bagaimana jawaban Anda?” tanya Syuraih kepada si Kafir Dzimmi.
“Barang ini milikku, dia ada di tanganku. Tapi aku tidak menuduh amirul mukminin berdusta,” balasnya.
“Aku tidak meragukan kejujuran Anda wahai amirul mukminin, bahwa barang ini milikmu. Tetapi harus ada dua orang saksi yang membuktikan kebenaran tuduhanmu,” ujar Syuraih kepada Khalifah Ali kemudian.
“Baik, aku punya dua orang saksi, pembantuku Qanbar dan putraku Hasan,” jawab Khalifah.
“Tetapi kesaksian anak bagi ayahnya tidak berlaku wahai amirul mukminin,” potong Syuraih mengingatkan.
“Subhanallah, seorang ahli surga ditolak kesaksiannya? Apakah Anda tak pernah mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Hasan dan Husein adalah pemuka para pemuda penduduk surga?” balas Khalifah Ali.
“Aku mengetahui itu wahai amirul mukminin, hanya saja kesaksian anak untuk ayahnya tidak berlaku,” jawab Syuraih kekeuh.
Mendengar jawaban itu, Ali menoleh kepada si kafir dzimmi dan berkata, “Ambillah barang itu, sebab aku tak punya saksi lagi selain keduanya.”
“Aku bersaksi bahwa barang itu adalah milik Anda wahai amirul mukminin. Ya Allah, amirul mukminin menghadapkan aku kepada seorang hakimnya, dan hakimnya memenangkan aku. Aku bersaksi bahwa agama yang mengajarkan seperti ini adalah agama yang benar dan suci. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,” ujar si dzimmi langsung masuk Islam.
“Wahai qadhi, ketahuilah bahwa barang ini adalah milik amirul mukminin, waktu itu aku mengikuti pasukannya ketika menuju ke Shiffin. Pakaian ini jatuh dari onta, lalu aku mengambilnya,” lanjutnya.
Berkatalah Ali kepada si dzimmi: “Karena kini Anda telah menjadi muslim, maka aku hadiahkan pakaian ini untukmu, dan aku hadiahkan kuda ini untukmu juga.”
Tak lama setelah peristiwa itu, tampak orang itu turut memerangi golongan Khawarij di bawah panji Ali radhiyallahu ‘anhu pada hari an-Nahwaran. Ia bertempur dengan penuh semangat hingga mendapati rezeki syahid.
Diangkat Khalifah Umar
Pada awalnya, Syuraih bin al-Harits diangkat Khalifah Umar bin Khattab sebagai qadhi di Kufah. Beliau termasuk dalam bilangan ulama yang terhormat dan utama, diperhitungkan dalam tingkat kecerdasan, kebagusan perilaku, banyaknya pengalaman, dan kedalaman wawasannya.
Syuraih bin al-Harits lahir di Yaman kota al-Kindi, hidup lama dalam masa jahiliyah. Ketika cahaya hidayah datang di jazirah Arab memancarkan sinar Islamnya sampai ke Yaman, Syuraih termasuk orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, turut menyambut dakwah menuju hidayah dan kebenaran.
Siapapun yang mengetahui keutamaan dan keistimewaan pribadinya berandai sekiranya Syuraih lebih cepat sampai ke Madinah dan bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum wafat, tentu beliau bisa menggali ilmu dari sumbernya secara langsung tanpa perantara. Beliau bisa mendapat bagian kehormatan sebagai sahabat setelah mendapatkan hidayah itu, hanya saja apa yang telah ditakdirkan untuknya telah terjadi.
Syuraih menjadi qadhi di pengadilan selama 60 tahun secara berturut-turut sejak masa Khalifah Umar bin Khathab , lalu Utsman bin Affan , lalu Ali bin Abi Thalib, Muawiyah serta khalifah setelah Mu’awiyah dari Bani Umayyah . Hingga akhirnya beliau mengundurkan diri pada awal pemerintahan Hajjaj bin Yusuf sebagai wali di Irak. Kala itu, beliau telah berumur 107 tahun.
Dr Abdurrahman Ra'fat Basya mengatakan hidupnya penuh dengan peristiwa dan pujian. Pengadilan Islam bersinar karena keindahan keputusan-keputusan Syuraih dan semerbak dengan indahnya kepatuhan dari kaum muslimin maupun nonmuslim. Itu semua karena ditegakkannya syariat-syariat Allah oleh Syuraih, juga berkat kerelaan semua orang untuk menerima keputusannya.
Begitu melihatnya, spontan Ali berkata: “Ini adalah milikku yang jatuh dari ontaku pada malam anu di tempat anu.”
Hanya saja, si kafir mengelak dan berkata, “Ini adalah barangku dan berada di tanganku wahai amirul mukminin!”
“Ini milikku, aku tak merasa pernah menjualnya kepada orang lain atau memberikannya hingga sampai berada di tanganmu,” balas Ali bin Abu Thalib.
“Kalau begitu kita datang kepada qadhi!” tantang si Kafir.
“Engkau adil, mari kita ke sana!” sambut Khalifah Ali. Maka pergilah keduanya menuju qadhi Syuraih bin al-Harits.
Qadhi ini sangat terkenal karena sebelum menjadi qadhi sempat mengalahkan Khalifah Umar bin Kattab dalam sengketa masalah kuda dengan orang kampung.
Dr Abdurrahman Ra'fat Basya dalam buku berjudul "Mereka adalah Para Tabiin", menyebutkan setelah Khalifah Ali dan rivalnya ini masuk dan duduk dalam sidangnya, bertanyalah qadhi Syuraih, “Apa tuduhanmu wahai amirul mukminin?”
“Kudapati barangku berada di tangan orang ini. Barang itu jatuh dari ontaku pada malam anu di tempat anu, lalu sampai di tangan orang ini, padahal aku tidak menjual kepadanya tidak pula kuberikan sebagai hadiah,” ujar Khalifah Ali.
“Bagaimana jawaban Anda?” tanya Syuraih kepada si Kafir Dzimmi.
“Barang ini milikku, dia ada di tanganku. Tapi aku tidak menuduh amirul mukminin berdusta,” balasnya.
“Aku tidak meragukan kejujuran Anda wahai amirul mukminin, bahwa barang ini milikmu. Tetapi harus ada dua orang saksi yang membuktikan kebenaran tuduhanmu,” ujar Syuraih kepada Khalifah Ali kemudian.
“Baik, aku punya dua orang saksi, pembantuku Qanbar dan putraku Hasan,” jawab Khalifah.
“Tetapi kesaksian anak bagi ayahnya tidak berlaku wahai amirul mukminin,” potong Syuraih mengingatkan.
“Subhanallah, seorang ahli surga ditolak kesaksiannya? Apakah Anda tak pernah mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Hasan dan Husein adalah pemuka para pemuda penduduk surga?” balas Khalifah Ali.
“Aku mengetahui itu wahai amirul mukminin, hanya saja kesaksian anak untuk ayahnya tidak berlaku,” jawab Syuraih kekeuh.
Mendengar jawaban itu, Ali menoleh kepada si kafir dzimmi dan berkata, “Ambillah barang itu, sebab aku tak punya saksi lagi selain keduanya.”
“Aku bersaksi bahwa barang itu adalah milik Anda wahai amirul mukminin. Ya Allah, amirul mukminin menghadapkan aku kepada seorang hakimnya, dan hakimnya memenangkan aku. Aku bersaksi bahwa agama yang mengajarkan seperti ini adalah agama yang benar dan suci. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,” ujar si dzimmi langsung masuk Islam.
“Wahai qadhi, ketahuilah bahwa barang ini adalah milik amirul mukminin, waktu itu aku mengikuti pasukannya ketika menuju ke Shiffin. Pakaian ini jatuh dari onta, lalu aku mengambilnya,” lanjutnya.
Berkatalah Ali kepada si dzimmi: “Karena kini Anda telah menjadi muslim, maka aku hadiahkan pakaian ini untukmu, dan aku hadiahkan kuda ini untukmu juga.”
Tak lama setelah peristiwa itu, tampak orang itu turut memerangi golongan Khawarij di bawah panji Ali radhiyallahu ‘anhu pada hari an-Nahwaran. Ia bertempur dengan penuh semangat hingga mendapati rezeki syahid.
Diangkat Khalifah Umar
Pada awalnya, Syuraih bin al-Harits diangkat Khalifah Umar bin Khattab sebagai qadhi di Kufah. Beliau termasuk dalam bilangan ulama yang terhormat dan utama, diperhitungkan dalam tingkat kecerdasan, kebagusan perilaku, banyaknya pengalaman, dan kedalaman wawasannya.
Syuraih bin al-Harits lahir di Yaman kota al-Kindi, hidup lama dalam masa jahiliyah. Ketika cahaya hidayah datang di jazirah Arab memancarkan sinar Islamnya sampai ke Yaman, Syuraih termasuk orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, turut menyambut dakwah menuju hidayah dan kebenaran.
Siapapun yang mengetahui keutamaan dan keistimewaan pribadinya berandai sekiranya Syuraih lebih cepat sampai ke Madinah dan bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum wafat, tentu beliau bisa menggali ilmu dari sumbernya secara langsung tanpa perantara. Beliau bisa mendapat bagian kehormatan sebagai sahabat setelah mendapatkan hidayah itu, hanya saja apa yang telah ditakdirkan untuknya telah terjadi.
Syuraih menjadi qadhi di pengadilan selama 60 tahun secara berturut-turut sejak masa Khalifah Umar bin Khathab , lalu Utsman bin Affan , lalu Ali bin Abi Thalib, Muawiyah serta khalifah setelah Mu’awiyah dari Bani Umayyah . Hingga akhirnya beliau mengundurkan diri pada awal pemerintahan Hajjaj bin Yusuf sebagai wali di Irak. Kala itu, beliau telah berumur 107 tahun.
Dr Abdurrahman Ra'fat Basya mengatakan hidupnya penuh dengan peristiwa dan pujian. Pengadilan Islam bersinar karena keindahan keputusan-keputusan Syuraih dan semerbak dengan indahnya kepatuhan dari kaum muslimin maupun nonmuslim. Itu semua karena ditegakkannya syariat-syariat Allah oleh Syuraih, juga berkat kerelaan semua orang untuk menerima keputusannya.
(mhy)