Kisah Rasulullah SAW Menikahi Mantan Istri Anak Angkat
Kamis, 05 Mei 2022 - 16:37 WIB
Kisah pernikahan Sayyidah Zainab bin Jahsy bin Rabab radhiyallahu ‘anha (ra) sungguh tidak lazim. Setidaknya ini untuk adat suku Arab Quraish. Zainab dinikahi Rasulullah SAW setelah sebelumnya menjadi istri Zaid bin Haritsah . Zaid bin Haritsah sendiri adalah budak yang kemudian diangkat sebagai anak oleh Nabi Muhammad SAW .
Dalam adat Arab, langkah Rasulullah menikahi janda anak angkatnya itu dianggap kontroversial. Orang-orang Arab kala itu menganggap istri anak angkat tidak bisa dinikahi ayah angkatnya.
Agar tidak keliru, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam (SAW) memiliki dua istri yang bernama sama: Zainab. Satu Zainab binti Khuzaimah dan satu lagi Zainab binti Jahsy. Yang akan kita ceritakan ini kali adalah Sayyidah Zainab binti Jahsy bin Rabab radhiyallahu ‘anha (588-641 M).
Zainab binti Jahsy masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah. Ibu dari Sayyidah Zainab bintu Jahsy bernama Umayyah binti Muththalib adalah putri dari paman Rasulullah SAW.
Beliau telah masuk Islam sejak awal dan ikut hijrah bersama Rasulullah SAW ke Madinah. Kemudian Rasulullah meminangnya untuk dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau.
Zainab berkata, "Wahai Rasulullah, saya masih belum yakin dirinya untuk diriku, sedangkan diriku adalah seorang janda Quraisy."
Rasulullah menjawab, "Sungguh aku telah meridhainya untuk dirimu."
Muhammad Husain Haekal dalam buku "Sejarah Hidup Muhammad" menulis, bahwa Rasulullah telah melamar Sayyidah Zainab anak bibinya itu buat Zaid bekas budaknya.
Abdullah bin Jahsy, saudara Zainab menolak, kalau saudara perempuannya sebagai orang dari suku Quraisy dan keluarga Hasyim pula, di samping itu semua ia masih sepupu Rasul dari pihak ibu akan berada di bawah seorang budak belian yang dibeli oleh Sayyidah Khadijah lalu dimerdekakan oleh Nabi Muhammad.
“Hal ini dianggap sebagai suatu aib besar buat Zainab. Dan memang benar sekali hal ini di kalangan Arab ketika itu merupakan suatu aib yang besar sekali. Memang tidak ada gadis-gadis kaum bangsawan yang terhormat akan kawin dengan bekas-bekas budak sekalipun yang sudah dimerdekakan," jelas Haekal.
Tetapi Rasulullah justru ingin menghilangkan segala macam pertimbangan yang masih berkuasa dalam jiwa mereka hanya atas dasar ashabia (fanatisma) itu. Beliau ingin supaya orang mengerti bahwa orang Arab tidak lebih tinggi dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. ( QS Al-Hujurat : 13)
Sungguhpun begitu, menurut Haekal, beliau merasa tidak perlu memaksa wanita lain untuk itu di luar keluarganya. Biarlah Zainab binti Jahsy, sepupunya sendiri itu juga yang menanggung, yang karena telah meninggalkan tradisi dan menghancurkan adat-lembaga Arab, menjadi sasaran buah mulut orang tentang dirinya, suatu hal yang memang tidak ingin didengarnya.
Juga biarlah Zaid, bekas budaknya yang dijadikannya anak angkat, dan yang menurut hukum adat dan tradisi Arab orang yang berhak menerima waris sama seperti anak-anaknya sendiri itu, dia juga yang mengawininya. Maka beliau pun bersedia berkorban, karena sudah ditentukan oleh Tuhan bagi anak-anak angkat yang sudah dijadikan anaknya itu.
Biarlah Rasulullah memperlihatkan desakannya itu supaya Sayyidah Zainab dan saudaranya Abdullah bin Jahsy juga mau menerima Zaid sebagai suami.
Dan untuk itu Allah SWT berfirman,
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." ( QS Al-Ahzab : 36)
Setelah turun ayat ini tak ada jalan lain buat Abdullah dan Sayyidah Zainab, selain harus tunduk menerima. "Kami menerima, Rasulullah," kata mereka. Zaid pun dikawinkan dengan Sayyidah Zainab.
Menurut Haekal, sesudah Sayyidah Zainab menjadi istri, ternyata ia tidak mudah dikendalikan dan tidak mau tunduk. Malah ia banyak mengganggu Zaid. Ia membanggakan diri kepadanya dari segi keturunan dan bahwa dia katanya tidak mau ditundukkan oleh seorang budak.
Sikap Zainab yang tidak baik kepadanya itu tidak jarang oleh Zaid diadukan kepada Nabi, dan bukan sekali saja ia meminta izin kepadanya hendak menceraikannya. Tetapi Nabi menjawabnya: "Jaga baik-baik isterimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut kepada Allah."
Tetapi Zaid tidak tahan lama-lama bergaul dengan Zainab serta sikapnya yang angkuh kepadanya itu. Lalu mereka pun bercerai.
Menurut Haekal lagi, kehendak Tuhan juga kiranya yang mau menghapuskan melekatnya hubungan anak angkat dengan keluarga bersangkutan dan asal-usul keluarga itu, yang selama itu menjadi anutan masyarakat Arab, juga pemberian segala hak anak kandung kepada anak angkat, segala pelaksanaan hukum termasuk hukum waris dan nasab, dan supaya anak angkat dan pengikut itu hanya mempunyai hak sebagai pengikut dan sebagai saudara seagama.
Demikian firman Tuhan turun:
"Dan tiada pula Ia menjadikan anak-anak angkat kamu menjadi anak-anak kamu. Itu hanya kata-kata kamu dengan mulut kamu saja. Tuhan mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar." ( QS Al-Ahzab :4)
Ini berarti bahwa anak angkat boleh kawin dengan bekas isteri bapak angkatnya, dan bapak boleh kawin dengan bekas isteri anak angkatnya. Tetapi bagaimana caranya melaksanakan ini? Siapa pula dari kalangan Arab yang dapat membongkar adat-istiadat yang sudah turun-temurun itu?
Rasulullah sendiri, kendatipun dengan kemauannya yang sudah begitu keras dan memahami benar arti perintah Tuhan itu, masih merasa kurang mampu melaksanakan ketentuan itu dengan jalan mengawini Sayyidah Zainab setelah diceraikan oleh Zaid.
Haekal menulis, masih terlintas dalam pikirannya apa yang kira-kira akan dikatakan orang, karena dia telah mendobrak adat lapuk yang sudah berurat berakar dalam jiwa masyarakat Arab itu. Itulah yang dikehendaki Tuhan dalam firmanNya: "Dan engkau menyembunyikan sesuatu dalam hatimu yang oleh Tuhan sudah diterangkan. Engkau takut kepada manusia padahal hanya Allah yang lebih patut kau takuti." (Qur'an, 33:37)
Akan tetapi Rasulullah adalah suri-teladan dalam segala hal, yang oleh Allah telah diperintahkan dan telah dibebankan kepadanya supaya disampaikan kepada umat manusia. Tidak takut ia apa yang akan dikatakan orang dalam hal perkawinannya dengan isteri bekas budaknya itu.
Takut kepada manusia tak ada artinya dibandingkan dengan takutnya kepada Allah dalam melaksanakan segala perintahNya. Beliau menikahi Sayyidah Zainab supaya menjadi teladan akan apa yang telah dihapuskan Allah mengenai hak-hak yang sudah ditentukan dalam hal bapak angkat dan anak angkat itu.
Dalam hal ini Allah berfirman:
Artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. ( QS Al-Ahzab : 37)
Tak Harmonis
Kisah lain menceritakan, suatu ketika, Rasulullah SAW datang mengunjungi rumah Zaid. Namun beliau tidak menemukan Zaid di rumahnya. Sayyidah Zainab, istri Zaid, datang menyambut Rasulullah untuk menghormatinya. Namun Rasulullah menolak untuk masuk ke dalam rumah.
Sayyidah Zainab berkata, "Dia sedang tidak ada di sini wahai Rasul, masuklah sejenak!"
Tapi Rasulullah SAW tetap menolak tawaran Sayyidah Zainab untuk masuk ke dalam rumah. Ketika Zaid tiba, istrinya memberi tahu tentang kedatangan Rasulullah ke rumah mereka.
"Tidakkah kau mempersilakan Rasulullah untuk masuk ke dalam?" kata Zaid.
"Aku sudah menawarkan padanya untuk masuk, tetapi beliau tetap menolak," jawab Sayyidah Zainab.
Pernikahan Zaid dan Sayyidah Zainab kala itu sedang tak harmonis. Zaid kerap mengadukan masalah rumah tangga yang ia hadapi kepada Rasulullah. Bahkan ia meminta izin kepada Nabi SAW hendak menceraikan Zainab. Zaid tak mampu mempertahankan biduk rumah tangganya. Ia pun menceraikan istrinya.
Dan setelah masa iddah Zainab berakhir, Rasulullah SAW berkata pada Zaid, "Pergilah dan pinanglah dia untuk diriku!"
Kemudian Zaid pergi menemui bekas istrinya. "Rasulullah mengirimku untuk meminang dirimu," katanya.
Zainab berkata, "Aku tidak melakukan apa-apa hingga Tuhanku memerintahkan sesuatu."
Dan sungguh Al-Qur'an memerintahkan Rasulullah untuk menikahi dirinya (Zainab). Rasulullah kemudian menikahi Zainab dan memberinya sedekah sebesar 400 dirham.
Zainab pernah berkata, "Demi Allah, sungguh aku bukan seperti para istri Rasulullah SAW. Sesungguhnya mereka istri yang diberi mahar dan para suami mereka dulunya adalah para kekasih. Dan Allah menikahkan diriku dengan Rasul-Nya, dan hal itu termaktub dalam Al-Qur'an yang akan dibaca oleh setiap Muslim yang tidak dapat diganti dan tidak pula dapat diubah."
Pernikahan yang terjadi antara Rasulullah dan Zainab binti Jahsy bin Rabab radhiyallahu ‘anha berlangsung tanpa adanya wali dan saksi. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang menyatakan bahwasannya Zainab pernah berkata:
زوجكن أهاليكن وزوجني الله من فوق سبع سموات
Artinya “Kalian dinikahkan oleh orang tua kalian, sementara aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang tujuh.” (HR. Bukhari)
Pernikahan tersebut terjadi pada bulan Dzul Qa’dah tahun 5 H. Akan tetapi ada pendapat yang menyatakan bahwa Rasulullah dan Sayyidah Zainab menikah pada tahun 6 H.
Sayyidah Zainab adalah seorang yang pandai menggunakan keahlian tangan. Dia menyamak kulit dan menjual apa yang telah dibuatnya, kemudian memberi sedekah pada fakir miskin.
Beliau meriwayatkan sekitar 11 hadis dari Rasulullah SAW. Beberapa orang juga meriwayatkan darinya, di antara mereka adalah Ummu Habibah binti Abu Sufyan, keponakannya (Muhammad bin Jahsy), Zainab binti Abu Salamah, Kultsum bin Mushtalaq dan beberapa orang lainnya.
Sayyidah Zainab binti Jahsy wafat pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab , dalam usia 53 tahun. Jasadnya dibawa dalam keranda mayat, dan pada saat itulah dirinya menjadi orang yang pertama kali dibawa dalam keranda mayat.
Ketika Umar melihat keranda mayat itu, dia berkata, "Benar, ini adalah tenda bagi istri Nabi."
Setelah mendengar berita kematian Zainab, Aisyah menangis dan berdoa agar Allah memberi kasih sayang padanya. "Zainab adalah orang yang mempunyai derajat tinggi di atas diriku, di antara para istri Nabi lainnya di mata Rasulullah SAW. Dan aku tidak melihat seorang perempuan pun yang lebih baik darinya dalam perilaku agamanya, yang lebih suci, dan lebih takwa pada Allah. Ia wanita paling jujur dalam tutur kata, paling rajin menyambung tali silaturrahmi, paling banyak bersedekah, paling keras berusaha, dan paling giat mendekatkan diri pada Allah," kata Aisyah.
Dalam adat Arab, langkah Rasulullah menikahi janda anak angkatnya itu dianggap kontroversial. Orang-orang Arab kala itu menganggap istri anak angkat tidak bisa dinikahi ayah angkatnya.
Agar tidak keliru, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam (SAW) memiliki dua istri yang bernama sama: Zainab. Satu Zainab binti Khuzaimah dan satu lagi Zainab binti Jahsy. Yang akan kita ceritakan ini kali adalah Sayyidah Zainab binti Jahsy bin Rabab radhiyallahu ‘anha (588-641 M).
Zainab binti Jahsy masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah. Ibu dari Sayyidah Zainab bintu Jahsy bernama Umayyah binti Muththalib adalah putri dari paman Rasulullah SAW.
Beliau telah masuk Islam sejak awal dan ikut hijrah bersama Rasulullah SAW ke Madinah. Kemudian Rasulullah meminangnya untuk dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau.
Zainab berkata, "Wahai Rasulullah, saya masih belum yakin dirinya untuk diriku, sedangkan diriku adalah seorang janda Quraisy."
Rasulullah menjawab, "Sungguh aku telah meridhainya untuk dirimu."
Muhammad Husain Haekal dalam buku "Sejarah Hidup Muhammad" menulis, bahwa Rasulullah telah melamar Sayyidah Zainab anak bibinya itu buat Zaid bekas budaknya.
Abdullah bin Jahsy, saudara Zainab menolak, kalau saudara perempuannya sebagai orang dari suku Quraisy dan keluarga Hasyim pula, di samping itu semua ia masih sepupu Rasul dari pihak ibu akan berada di bawah seorang budak belian yang dibeli oleh Sayyidah Khadijah lalu dimerdekakan oleh Nabi Muhammad.
“Hal ini dianggap sebagai suatu aib besar buat Zainab. Dan memang benar sekali hal ini di kalangan Arab ketika itu merupakan suatu aib yang besar sekali. Memang tidak ada gadis-gadis kaum bangsawan yang terhormat akan kawin dengan bekas-bekas budak sekalipun yang sudah dimerdekakan," jelas Haekal.
Tetapi Rasulullah justru ingin menghilangkan segala macam pertimbangan yang masih berkuasa dalam jiwa mereka hanya atas dasar ashabia (fanatisma) itu. Beliau ingin supaya orang mengerti bahwa orang Arab tidak lebih tinggi dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. ( QS Al-Hujurat : 13)
Sungguhpun begitu, menurut Haekal, beliau merasa tidak perlu memaksa wanita lain untuk itu di luar keluarganya. Biarlah Zainab binti Jahsy, sepupunya sendiri itu juga yang menanggung, yang karena telah meninggalkan tradisi dan menghancurkan adat-lembaga Arab, menjadi sasaran buah mulut orang tentang dirinya, suatu hal yang memang tidak ingin didengarnya.
Juga biarlah Zaid, bekas budaknya yang dijadikannya anak angkat, dan yang menurut hukum adat dan tradisi Arab orang yang berhak menerima waris sama seperti anak-anaknya sendiri itu, dia juga yang mengawininya. Maka beliau pun bersedia berkorban, karena sudah ditentukan oleh Tuhan bagi anak-anak angkat yang sudah dijadikan anaknya itu.
Biarlah Rasulullah memperlihatkan desakannya itu supaya Sayyidah Zainab dan saudaranya Abdullah bin Jahsy juga mau menerima Zaid sebagai suami.
Dan untuk itu Allah SWT berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." ( QS Al-Ahzab : 36)
Setelah turun ayat ini tak ada jalan lain buat Abdullah dan Sayyidah Zainab, selain harus tunduk menerima. "Kami menerima, Rasulullah," kata mereka. Zaid pun dikawinkan dengan Sayyidah Zainab.
Menurut Haekal, sesudah Sayyidah Zainab menjadi istri, ternyata ia tidak mudah dikendalikan dan tidak mau tunduk. Malah ia banyak mengganggu Zaid. Ia membanggakan diri kepadanya dari segi keturunan dan bahwa dia katanya tidak mau ditundukkan oleh seorang budak.
Sikap Zainab yang tidak baik kepadanya itu tidak jarang oleh Zaid diadukan kepada Nabi, dan bukan sekali saja ia meminta izin kepadanya hendak menceraikannya. Tetapi Nabi menjawabnya: "Jaga baik-baik isterimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut kepada Allah."
Tetapi Zaid tidak tahan lama-lama bergaul dengan Zainab serta sikapnya yang angkuh kepadanya itu. Lalu mereka pun bercerai.
Menurut Haekal lagi, kehendak Tuhan juga kiranya yang mau menghapuskan melekatnya hubungan anak angkat dengan keluarga bersangkutan dan asal-usul keluarga itu, yang selama itu menjadi anutan masyarakat Arab, juga pemberian segala hak anak kandung kepada anak angkat, segala pelaksanaan hukum termasuk hukum waris dan nasab, dan supaya anak angkat dan pengikut itu hanya mempunyai hak sebagai pengikut dan sebagai saudara seagama.
Demikian firman Tuhan turun:
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَٰهِكُمْ ۖ وَٱللَّهُ يَقُولُ ٱلْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى ٱلسَّبِيلَ
"Dan tiada pula Ia menjadikan anak-anak angkat kamu menjadi anak-anak kamu. Itu hanya kata-kata kamu dengan mulut kamu saja. Tuhan mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar." ( QS Al-Ahzab :4)
Ini berarti bahwa anak angkat boleh kawin dengan bekas isteri bapak angkatnya, dan bapak boleh kawin dengan bekas isteri anak angkatnya. Tetapi bagaimana caranya melaksanakan ini? Siapa pula dari kalangan Arab yang dapat membongkar adat-istiadat yang sudah turun-temurun itu?
Rasulullah sendiri, kendatipun dengan kemauannya yang sudah begitu keras dan memahami benar arti perintah Tuhan itu, masih merasa kurang mampu melaksanakan ketentuan itu dengan jalan mengawini Sayyidah Zainab setelah diceraikan oleh Zaid.
Haekal menulis, masih terlintas dalam pikirannya apa yang kira-kira akan dikatakan orang, karena dia telah mendobrak adat lapuk yang sudah berurat berakar dalam jiwa masyarakat Arab itu. Itulah yang dikehendaki Tuhan dalam firmanNya: "Dan engkau menyembunyikan sesuatu dalam hatimu yang oleh Tuhan sudah diterangkan. Engkau takut kepada manusia padahal hanya Allah yang lebih patut kau takuti." (Qur'an, 33:37)
Akan tetapi Rasulullah adalah suri-teladan dalam segala hal, yang oleh Allah telah diperintahkan dan telah dibebankan kepadanya supaya disampaikan kepada umat manusia. Tidak takut ia apa yang akan dikatakan orang dalam hal perkawinannya dengan isteri bekas budaknya itu.
Takut kepada manusia tak ada artinya dibandingkan dengan takutnya kepada Allah dalam melaksanakan segala perintahNya. Beliau menikahi Sayyidah Zainab supaya menjadi teladan akan apa yang telah dihapuskan Allah mengenai hak-hak yang sudah ditentukan dalam hal bapak angkat dan anak angkat itu.
Dalam hal ini Allah berfirman:
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِىٓ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَٱتَّقِ ٱللَّهَ وَتُخْفِى فِى نَفْسِكَ مَا ٱللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى ٱلنَّاسَ وَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَىٰهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَٰكَهَا لِكَىْ لَا يَكُونَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِىٓ أَزْوَٰجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا۟ مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ ٱللَّهِ مَفْعُولًا
Artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. ( QS Al-Ahzab : 37)
Tak Harmonis
Kisah lain menceritakan, suatu ketika, Rasulullah SAW datang mengunjungi rumah Zaid. Namun beliau tidak menemukan Zaid di rumahnya. Sayyidah Zainab, istri Zaid, datang menyambut Rasulullah untuk menghormatinya. Namun Rasulullah menolak untuk masuk ke dalam rumah.
Sayyidah Zainab berkata, "Dia sedang tidak ada di sini wahai Rasul, masuklah sejenak!"
Tapi Rasulullah SAW tetap menolak tawaran Sayyidah Zainab untuk masuk ke dalam rumah. Ketika Zaid tiba, istrinya memberi tahu tentang kedatangan Rasulullah ke rumah mereka.
"Tidakkah kau mempersilakan Rasulullah untuk masuk ke dalam?" kata Zaid.
"Aku sudah menawarkan padanya untuk masuk, tetapi beliau tetap menolak," jawab Sayyidah Zainab.
Pernikahan Zaid dan Sayyidah Zainab kala itu sedang tak harmonis. Zaid kerap mengadukan masalah rumah tangga yang ia hadapi kepada Rasulullah. Bahkan ia meminta izin kepada Nabi SAW hendak menceraikan Zainab. Zaid tak mampu mempertahankan biduk rumah tangganya. Ia pun menceraikan istrinya.
Dan setelah masa iddah Zainab berakhir, Rasulullah SAW berkata pada Zaid, "Pergilah dan pinanglah dia untuk diriku!"
Kemudian Zaid pergi menemui bekas istrinya. "Rasulullah mengirimku untuk meminang dirimu," katanya.
Zainab berkata, "Aku tidak melakukan apa-apa hingga Tuhanku memerintahkan sesuatu."
Dan sungguh Al-Qur'an memerintahkan Rasulullah untuk menikahi dirinya (Zainab). Rasulullah kemudian menikahi Zainab dan memberinya sedekah sebesar 400 dirham.
Zainab pernah berkata, "Demi Allah, sungguh aku bukan seperti para istri Rasulullah SAW. Sesungguhnya mereka istri yang diberi mahar dan para suami mereka dulunya adalah para kekasih. Dan Allah menikahkan diriku dengan Rasul-Nya, dan hal itu termaktub dalam Al-Qur'an yang akan dibaca oleh setiap Muslim yang tidak dapat diganti dan tidak pula dapat diubah."
Pernikahan yang terjadi antara Rasulullah dan Zainab binti Jahsy bin Rabab radhiyallahu ‘anha berlangsung tanpa adanya wali dan saksi. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang menyatakan bahwasannya Zainab pernah berkata:
زوجكن أهاليكن وزوجني الله من فوق سبع سموات
Artinya “Kalian dinikahkan oleh orang tua kalian, sementara aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang tujuh.” (HR. Bukhari)
Pernikahan tersebut terjadi pada bulan Dzul Qa’dah tahun 5 H. Akan tetapi ada pendapat yang menyatakan bahwa Rasulullah dan Sayyidah Zainab menikah pada tahun 6 H.
Sayyidah Zainab adalah seorang yang pandai menggunakan keahlian tangan. Dia menyamak kulit dan menjual apa yang telah dibuatnya, kemudian memberi sedekah pada fakir miskin.
Beliau meriwayatkan sekitar 11 hadis dari Rasulullah SAW. Beberapa orang juga meriwayatkan darinya, di antara mereka adalah Ummu Habibah binti Abu Sufyan, keponakannya (Muhammad bin Jahsy), Zainab binti Abu Salamah, Kultsum bin Mushtalaq dan beberapa orang lainnya.
Sayyidah Zainab binti Jahsy wafat pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab , dalam usia 53 tahun. Jasadnya dibawa dalam keranda mayat, dan pada saat itulah dirinya menjadi orang yang pertama kali dibawa dalam keranda mayat.
Ketika Umar melihat keranda mayat itu, dia berkata, "Benar, ini adalah tenda bagi istri Nabi."
Setelah mendengar berita kematian Zainab, Aisyah menangis dan berdoa agar Allah memberi kasih sayang padanya. "Zainab adalah orang yang mempunyai derajat tinggi di atas diriku, di antara para istri Nabi lainnya di mata Rasulullah SAW. Dan aku tidak melihat seorang perempuan pun yang lebih baik darinya dalam perilaku agamanya, yang lebih suci, dan lebih takwa pada Allah. Ia wanita paling jujur dalam tutur kata, paling rajin menyambung tali silaturrahmi, paling banyak bersedekah, paling keras berusaha, dan paling giat mendekatkan diri pada Allah," kata Aisyah.
(mhy)