Kisah Pertentangan Politik Abu Bakar dengan Umar bin Khattab yang Paling Menonjol
Senin, 16 Mei 2022 - 21:14 WIB
“Bukankah dia sudah menjadi pilihan Allah dan Qur'an sudah diwahyukan kepadanya, sudah diberi janji kemenangan dan Allah akan menjaga agama-Nya! Bagaimana seorang Muslim yang sudah mengorbankan dirinya tidak akan melaksanakan perintahnya. Bagaimana pula penggantinya yang pertama akan menjadi orang yang pertama pula melanggar!” ujar Haekal.
Sikap Umar tentang Usamah
Bagi Umar, sudah menjadi kewajiban seorang politikus mempertimbangkan segala peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Di antara sekian banyak peristiwa itu adanya perbedaan pendapat antara Muhajirin dengan Ansar, yang pada masa Rasulullah tidak tampak, seperti yang kemudian terjadi di Saqifah, dan pembangkangan orang-orang Arab terhadap kekuasaan Madinah tidak setajam pemberontakan bani setelah tersiar berita tentang kematian Rasulullah di segenap penjuru Semenanjung Arab.
Kaum Muslimin waktu itu sangat menaati segala perintah Rasulullah dengan sungguh-sungguh dan penuh keimanan. Menurut Haekal, Abu Bakar tidak berhak menuntut orang agar menaatinya seperti menaati Rasulullah yang sudah menjadi pilihan Allah. Maka sudah seharusnya Khalifah memperhatikan semua masalah itu dan sudah seharusnya pula ia menjadi seorang politikus yang dapat mengatur segala persoalan dengan penalaran dan pandangan yang lebih tajam, sesudah tak ada lagi kepengurusan atau kekuasaan yang akan dapat mengawasinya dengan sungguh-sungguh dan sesudah wahyu pun terputus dengan meninggalnya Rasulullah.
Haekal mengatakan ini merupakan perbedaan dasar antara kedua tokoh itu dalam menjalankan politik negara. Tetapi perbedaan ini tak sampai mengurangi penghargaan mereka masing-masing serta kecintaan dan penghormatan mereka satu sama lain. Oleh karenanya, Umar tetap menjalankan kewajibannya terhadap Abu Bakar, dan tidak lebih ia hanya menyampaikan pendapat kaum Muslimin dan dia mendukungnya dengan alasannya sendiri.
Setelah Abu Bakar bersikeras dengan pendapatnya, Umar pun berangkat sebagai seorang prajurit yang berjuang di jalan Allah di bawah pimpinan Usamah.
“Mengapa tidak akan dilakukannya, dia pula yang telah membaiat Abu Bakar dan mengakuinya sebagai pengganti Rasulullah. Abu Bakar pun menjalankan kewajibannya terhadap Umar, dipilihnya ia sebagai wazir-nya, sebagai tangan kanannya, untuk memberikan saran-saran kepadanya seperti kepada Rasulullah dulu,” tulis Haekal. “Dengan demikian, hubungan antara kedua orang ini tetap akrab dan penuh keikhlasan, saling menghormati dan bantu-membantu, demi kepentingan Islam dan kaum Muslimin,” lanjutnya.
Penolak Zakat
Perbedaan pendapat demikian antara dua tokoh ini dengan pasukan Usamah masih terjadi dalam menghadapi pendukung-pendukung Romawi di bagian utara Semenanjung Arab, yaitu tatkala kabilah-kabilah Abs dan Zubyan yang berdekatan dengan Madinah tak mau menunaikan zakat.
Abu Bakar berpendapat akan memerangi mereka, dan menangkis alasan mereka yang menentang pendapatnya dengan mengatakan: "Demi Allah, orang keberatan menunaikan zakat kepada saya, yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam, akan saya perangi."
Umar termasuk orang yang menentangnya dan yang berpendapat mengambil jalan damai dengan mereka yang enggan membayar zakat itu dan lebih baik meminta bantuan mereka dalam memerangi kaum pembangkang.
Umar begitu keras dalam membela pendapatnya itu sehingga kata-katanya agak tajam ditujukan kepada Abu Bakar. "Bagaimana kita akan memerangi orang yang kata Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam; 'Aku diperintah memerangi orang sampai mereka berkata: Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul-Nya. Barang siapa berkata demikian, darah dan hartanya dijamin, kecuali dengan alasan, dan masalahnya kembali kepada Allah."
Tantangan Umar itu dijawab oleh Abu Bakar dengan mengatakan: "Demi Allah, saya akan memerangi siapa saja yang memisahkan salat dengan zakat. Zakat adalah kewajiban harta. Dan dia sudah berkata: 'sesuai dengan kewajiban zakat.'
Dengan perbedaan pendapat yang demikian rupa, dengan tanggung jawab sepenuhnya yang harus dipikulkan ke bahu Abu Bakar dalam memerangi mereka yang enggan membayar zakat dan berhasil mengalahkan mereka, persahabatan antara keduanya tidak berubah.
Umar tetap mendampingi Abu Bakar dengan berjuang dalam barisan Muslimin. Dia memang laki-laki yang penuh disiplin, dan Abu Bakar memang yang bertanggung jawab dalam urusan negara.
Umar berkewajiban memberikan pendapat kepadanya, dan menjadi kewajibannya menaati segala perintah Khalifah, dan semua ini sudah dilakukannya. Kemudian ia tetap sebagai wazir-nya, sebagai tangan kanannya yang patuh dan menghargai pendapatnya.
Abu Bakar berhasil menghadapi mereka yang menolak membayar zakat, dan keberhasilan ini merupakan bukti yang nyata ketepatan pendapatnya dan kebijakan politiknya.
Tentang Umar mengenai hal ini ada disebutkan bahwa ia berkata: "Sungguh, apa yang saya saksikan ini ternyata Allah memang telah melapangkan dada Abu Bakar dalam menghadapi perang, maka saya tahu bahwa dia benar."
Sikap Umar tentang Usamah
Bagi Umar, sudah menjadi kewajiban seorang politikus mempertimbangkan segala peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Di antara sekian banyak peristiwa itu adanya perbedaan pendapat antara Muhajirin dengan Ansar, yang pada masa Rasulullah tidak tampak, seperti yang kemudian terjadi di Saqifah, dan pembangkangan orang-orang Arab terhadap kekuasaan Madinah tidak setajam pemberontakan bani setelah tersiar berita tentang kematian Rasulullah di segenap penjuru Semenanjung Arab.
Kaum Muslimin waktu itu sangat menaati segala perintah Rasulullah dengan sungguh-sungguh dan penuh keimanan. Menurut Haekal, Abu Bakar tidak berhak menuntut orang agar menaatinya seperti menaati Rasulullah yang sudah menjadi pilihan Allah. Maka sudah seharusnya Khalifah memperhatikan semua masalah itu dan sudah seharusnya pula ia menjadi seorang politikus yang dapat mengatur segala persoalan dengan penalaran dan pandangan yang lebih tajam, sesudah tak ada lagi kepengurusan atau kekuasaan yang akan dapat mengawasinya dengan sungguh-sungguh dan sesudah wahyu pun terputus dengan meninggalnya Rasulullah.
Haekal mengatakan ini merupakan perbedaan dasar antara kedua tokoh itu dalam menjalankan politik negara. Tetapi perbedaan ini tak sampai mengurangi penghargaan mereka masing-masing serta kecintaan dan penghormatan mereka satu sama lain. Oleh karenanya, Umar tetap menjalankan kewajibannya terhadap Abu Bakar, dan tidak lebih ia hanya menyampaikan pendapat kaum Muslimin dan dia mendukungnya dengan alasannya sendiri.
Setelah Abu Bakar bersikeras dengan pendapatnya, Umar pun berangkat sebagai seorang prajurit yang berjuang di jalan Allah di bawah pimpinan Usamah.
“Mengapa tidak akan dilakukannya, dia pula yang telah membaiat Abu Bakar dan mengakuinya sebagai pengganti Rasulullah. Abu Bakar pun menjalankan kewajibannya terhadap Umar, dipilihnya ia sebagai wazir-nya, sebagai tangan kanannya, untuk memberikan saran-saran kepadanya seperti kepada Rasulullah dulu,” tulis Haekal. “Dengan demikian, hubungan antara kedua orang ini tetap akrab dan penuh keikhlasan, saling menghormati dan bantu-membantu, demi kepentingan Islam dan kaum Muslimin,” lanjutnya.
Penolak Zakat
Perbedaan pendapat demikian antara dua tokoh ini dengan pasukan Usamah masih terjadi dalam menghadapi pendukung-pendukung Romawi di bagian utara Semenanjung Arab, yaitu tatkala kabilah-kabilah Abs dan Zubyan yang berdekatan dengan Madinah tak mau menunaikan zakat.
Abu Bakar berpendapat akan memerangi mereka, dan menangkis alasan mereka yang menentang pendapatnya dengan mengatakan: "Demi Allah, orang keberatan menunaikan zakat kepada saya, yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam, akan saya perangi."
Umar termasuk orang yang menentangnya dan yang berpendapat mengambil jalan damai dengan mereka yang enggan membayar zakat itu dan lebih baik meminta bantuan mereka dalam memerangi kaum pembangkang.
Umar begitu keras dalam membela pendapatnya itu sehingga kata-katanya agak tajam ditujukan kepada Abu Bakar. "Bagaimana kita akan memerangi orang yang kata Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam; 'Aku diperintah memerangi orang sampai mereka berkata: Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul-Nya. Barang siapa berkata demikian, darah dan hartanya dijamin, kecuali dengan alasan, dan masalahnya kembali kepada Allah."
Tantangan Umar itu dijawab oleh Abu Bakar dengan mengatakan: "Demi Allah, saya akan memerangi siapa saja yang memisahkan salat dengan zakat. Zakat adalah kewajiban harta. Dan dia sudah berkata: 'sesuai dengan kewajiban zakat.'
Dengan perbedaan pendapat yang demikian rupa, dengan tanggung jawab sepenuhnya yang harus dipikulkan ke bahu Abu Bakar dalam memerangi mereka yang enggan membayar zakat dan berhasil mengalahkan mereka, persahabatan antara keduanya tidak berubah.
Umar tetap mendampingi Abu Bakar dengan berjuang dalam barisan Muslimin. Dia memang laki-laki yang penuh disiplin, dan Abu Bakar memang yang bertanggung jawab dalam urusan negara.
Umar berkewajiban memberikan pendapat kepadanya, dan menjadi kewajibannya menaati segala perintah Khalifah, dan semua ini sudah dilakukannya. Kemudian ia tetap sebagai wazir-nya, sebagai tangan kanannya yang patuh dan menghargai pendapatnya.
Abu Bakar berhasil menghadapi mereka yang menolak membayar zakat, dan keberhasilan ini merupakan bukti yang nyata ketepatan pendapatnya dan kebijakan politiknya.
Tentang Umar mengenai hal ini ada disebutkan bahwa ia berkata: "Sungguh, apa yang saya saksikan ini ternyata Allah memang telah melapangkan dada Abu Bakar dalam menghadapi perang, maka saya tahu bahwa dia benar."