Berikut Kebiasaan Ibadah dan Bacaan Zikir Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
Senin, 30 Mei 2022 - 15:05 WIB
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani adalah mutiara sejarah abad ke-12 M/6 H. Beliau adalah ulama yang berhasil memadukan antara syariat dan sufisme secara praktis-aplikatif. Karena itu, ia mendapat julukan quthubul auliya' serta ghautsul a'dzam, orang suci terbesar dalam Islam.
Al-Jilani membumi karena ajaran amaliahnya. Sehingga, dalam masyarakat Muslim, namanya sangat populer, dijadikan sarana wushuliyyah, serta selalu disebut dalam setiap acara-acara keagamaan, di samping manakib-nya yang juga banyak dibaca tentang riwayat hidup sang tokoh.
Sebagian besar umat Islam Indonesia pernah mendengar nama tokoh ini. Demikian pula para pengkaji tasawuf di Barat dan Timur yang sangat menaruh hormat kepadanya karena keberhasilannya membumikan tasawuf bagi masyarakat Muslim hingga saat ini.
Menurut Walter Braune dalam bukunya Die 'Futuh al-Ghaib' des Abdul Qodir (Berlin & Leipzig, 1933), ia adalah wali yang paling terkenal di dunia Islam. Sedangkan, penulis Muslim Jerman, Mehmed Ali Aini (Un Grand Saint del Islam: Abd al-Kadir Guilani, Paris, 1967), menyebut al-Jilani sebagai orang suci terbesar di dunia Islam.
Ia lahir sebagai anak yatim (ayahnya telah wafat sewaktu beliau masih dalam kandungan enam bulan) di tengah keluarga yang hidup sederhana dan saleh. Ayahnya, al-Imam Sayyid Abi Shalih Musa Zangi Dausat, adalah ulama fuqaha ternama, Mazhab Hambali, dan garis silsilahnya berujung pada Hasan bin Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah SAW.
Sedangkan, ibunya adalah Ummul Khair Fathimah, putri Sayyid Abdullah Sauma'i, seorang sufi terkemuka waktu itu. Dari jalur ini, silsilahnya akan sampai pada Husain bin Ali bin Abi Thalib. Jika silsilah ini diteruskan, akan sampai kepada Nabi Ibrahim melalui kakek Nabi SAW, Abdul Muthalib. Ia termasuk keturunan Rasulullah dari jalur Siti Fatimah binti Muhammad SAW. Karena itu, ia diberi gelar pula dengan nama Sayyid.
Keistimewaan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sudah tampak ketika dilahirkan. Konon, ketika mengandung, ibunya sudah berusia 60 tahun. Sebuah usia yang sangat rawan untuk melahirkan. Bahkan, ketika dilahirkan yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tidak mau menyusu sejak terbit fajar hingga Maghrib.
Namun, kebesaran Syaikh Abdul Qadir bukan semata-mata karena faktor nasab dan karamahnya. Ia termasuk pemuda yang cerdas, pendiam, berbudi pekerti luhur, jujur, dan berbakti kepada orang tua.
Selain itu, kemasyhuran namanya karena kepandaiannya dalam menguasai berbagai ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang agama. Ia menguasai ilmu fikih dan ushul fikih. Kendati menguasai Mazhab Hanafi, ia pernah menjadi mufti Mazhab Syafi'i di Baghdad.
Di samping itu, ia juga dikenal sangat alim dan wara. Hal ini berkaitan dengan ajaran sufi yang dipelajarinya. Ia suka tirakat, melakukan riyadhah dan mujahadah melawan hawa nafsu.
Selain penguasaannya dalam bidang ilmu fikih, Syekh Abdul Qadir juga dikenal sebagai peletak dasar ajaran tarekat Qadiriyah. Al-Jilani dikenal juga sebagai orang yang memberikan spirit keagamaan bagi banyak umat. Karena itu, banyak ulama yang menjuluki 'Muhyidin' (penghidup agama) di depan namanya.
Al-Jilani membumi karena ajaran amaliahnya. Sehingga, dalam masyarakat Muslim, namanya sangat populer, dijadikan sarana wushuliyyah, serta selalu disebut dalam setiap acara-acara keagamaan, di samping manakib-nya yang juga banyak dibaca tentang riwayat hidup sang tokoh.
Sebagian besar umat Islam Indonesia pernah mendengar nama tokoh ini. Demikian pula para pengkaji tasawuf di Barat dan Timur yang sangat menaruh hormat kepadanya karena keberhasilannya membumikan tasawuf bagi masyarakat Muslim hingga saat ini.
Menurut Walter Braune dalam bukunya Die 'Futuh al-Ghaib' des Abdul Qodir (Berlin & Leipzig, 1933), ia adalah wali yang paling terkenal di dunia Islam. Sedangkan, penulis Muslim Jerman, Mehmed Ali Aini (Un Grand Saint del Islam: Abd al-Kadir Guilani, Paris, 1967), menyebut al-Jilani sebagai orang suci terbesar di dunia Islam.
Ia lahir sebagai anak yatim (ayahnya telah wafat sewaktu beliau masih dalam kandungan enam bulan) di tengah keluarga yang hidup sederhana dan saleh. Ayahnya, al-Imam Sayyid Abi Shalih Musa Zangi Dausat, adalah ulama fuqaha ternama, Mazhab Hambali, dan garis silsilahnya berujung pada Hasan bin Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah SAW.
Sedangkan, ibunya adalah Ummul Khair Fathimah, putri Sayyid Abdullah Sauma'i, seorang sufi terkemuka waktu itu. Dari jalur ini, silsilahnya akan sampai pada Husain bin Ali bin Abi Thalib. Jika silsilah ini diteruskan, akan sampai kepada Nabi Ibrahim melalui kakek Nabi SAW, Abdul Muthalib. Ia termasuk keturunan Rasulullah dari jalur Siti Fatimah binti Muhammad SAW. Karena itu, ia diberi gelar pula dengan nama Sayyid.
Keistimewaan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sudah tampak ketika dilahirkan. Konon, ketika mengandung, ibunya sudah berusia 60 tahun. Sebuah usia yang sangat rawan untuk melahirkan. Bahkan, ketika dilahirkan yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tidak mau menyusu sejak terbit fajar hingga Maghrib.
Namun, kebesaran Syaikh Abdul Qadir bukan semata-mata karena faktor nasab dan karamahnya. Ia termasuk pemuda yang cerdas, pendiam, berbudi pekerti luhur, jujur, dan berbakti kepada orang tua.
Selain itu, kemasyhuran namanya karena kepandaiannya dalam menguasai berbagai ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang agama. Ia menguasai ilmu fikih dan ushul fikih. Kendati menguasai Mazhab Hanafi, ia pernah menjadi mufti Mazhab Syafi'i di Baghdad.
Di samping itu, ia juga dikenal sangat alim dan wara. Hal ini berkaitan dengan ajaran sufi yang dipelajarinya. Ia suka tirakat, melakukan riyadhah dan mujahadah melawan hawa nafsu.
Selain penguasaannya dalam bidang ilmu fikih, Syekh Abdul Qadir juga dikenal sebagai peletak dasar ajaran tarekat Qadiriyah. Al-Jilani dikenal juga sebagai orang yang memberikan spirit keagamaan bagi banyak umat. Karena itu, banyak ulama yang menjuluki 'Muhyidin' (penghidup agama) di depan namanya.
(mhy)