Mengontruksi Ulang Tafsir Surat al-Fil, Ketika Tairan Ababil Jadi Semacam Virus

Sabtu, 11 Juni 2022 - 19:29 WIB
Artinya: Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (QS Al-Fil 1-5)



Haekal menduga barangkali kuman-kuman wabah itu yang datang dibawa angin dari jurusan laut, dan menular menimpa Abrahah sendiri. Ia merasa ketakutan sekali.

Pasukannya diperintahkan pulang ke Yaman, dan mereka yang tadinya menjadi penunjuk jalan sudah lari, dan ada pula yang mati.

Bencana wabah ini makin hari makin mengganas dan anggota pasukan yang mati sudah tak terbilang lagi banyaknya.

Sampai juga Abrahah ke Shan'a' tapi badannya sudah dihinggapi penyakit. Tidak berselang lama kemudian diapun mati seperti anggota pasukannya yang lain. Dan dengan demikian orang Mekkah mencatatnya sebagai Tahun Gajah.

Epidemi Cacar

Seperti juga Haekal, menurut seorang ahli medicohistorico, Dr Kurtz Sprenger, musnahnya pasukan Abrahah tersebut karena epidemi cacar yang sangat dahsyat. Alasannya, epidemi sejenis itu mula-mula menjangkit di Jazirah Arab, bersamaan dengan peristiwa hancurnya pasukan Abrahah, yaitu sekitar tahun 558 M.

Pendapat Sprenger dikuatkan Sir William Muir. Ibnu Katsir jauh sebelumnya juga telah mengemukakan riwayat bahwa pada Tahun Gajah itu mulai menjangkit penyakit sejenis campak atau sejenis cacar.

Para ahli banyak tertarik menganalisis ayat demi ayat pada surah al-Fil, khususnya pada tiga ayat terakhir, karena mereka menilai tersirat sebuah isyarat ilmiah yang cukup penting. Kata thairan ababil banyak diterjemahkan para mufasir dengan ‘binatang yang berbondong-bondong’.

Hanya Muhammad Abduh yang menolak mengartikan al-thair dengan ‘burung’. Ia mengartikannya dengan sejenis serangga atau dewasa ini sering disebut dengan virus. Virus atau mikroba ini disebarkan melalui angin yang memusnahkan seluruh pasukan gajah Abrahah.

Apabila zat tersebut menyentuh anggota badan manusia, langsung mengakibatkan luka-luka yang pada akhirnya menyebabkan hancurnya seluruh badan, yang mengingatkan kita kepada virus antraks.

Segolongan ahli mengartikan sijjil dengan ‘tanah yang terbakar’, ‘batu yang dipahat’. Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa kata sijjil bermakna ‘tanah keras’. Ahmad Ramali menegaskan hancurnya pasukan Abrahah sebagai akibat epidemi peracun yang amat ganas, penularannya melalui udara dan selanjutnya memusnahkan seluruh tentara Abrahah.

Ibnu Ishak dalam as-Sirah an-Nabawiyyah juga menyebutkan bahwa di tahun itu terjangkit wabah yang mematikan. “Bahwa awal munculnya penyakit demam dan cacar yang menyeluruh di tanah Arab itu terjadi di tahun itu (tahun gajah)”.



Batu dari Sijjil

Ada beberapa kata atau frase tertentu yang perlu sedikit penjelasan di sini: yang pertama ialah hijaratan min sijjil (batu dari sijjil). Sijjil sendiri dalam bahasa Arab sebenarnya artinya ialah “catatan” dan karena itu, kata Muhammad Asad, bisa jadi artinya ialah “sesuatu yang sudah ditakdirkan sebelumnya”. Jadi frase hijaratan min sijjil merupakan metafora yang berarti “batu-batu azab yang telah ditakdirkan sebelumnya”.

Seperti yang telah disinggung di atas, yakni kutipan dari Ibnu Ishak yang kemudian banyak dikutip oleh ahli tafsirnya setelahnya seperti Ibnu Kathir misalnya, azab yang diberikan Tuhan kepada pasukan gajah ialah terjangkitnya wabah penyakit yang menyeluruh: “awal munculnya penyakit demam (hisbah) dan cacar (judari) yang menyeluruh di tanah Arab itu terjadi di tahun itu (tahun gajah)”.

Menariknya lagi, dalam kamus-kamus bahasa Arab klasik, terutama penjelasan lebih detail dapat kita temukan pada kamus Tajul Arus, kata hisbah yang menurut ahli disebut juga penyakit tiphus dalam bahasa Arab bisa diekspresikan dengan ungkapan “ashabathu al-hasbah” dan “tarmi hijaratan”.

Secara literal, ungkapan “tarmi hijaratan” ini mengandung arti “melempar batu” namun dalam bahasa Arab klasik “tarmi hijaratan” bisa juga dianggap sebagai frasa idiomatic yang artinya tidak bisa dilihat dari masing-masing satuan lingualnya. Karena dianggap sebagai frasa idiomatik, “Tarmi hijaratan” ini, seperti yang dijelaskan dalam Tajul Arus, artinya ialah terkena penyakit tiphus.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.  Ada seorang sahabat bertanya: bagaimana maksud amanat disia-siakan?  Nabi menjawab: Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.

(HR. Bukhari No. 6015)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More