Hukum Mengadakan Syukuran Haji di Kampung Halaman, Begini Pandangan Ulama

Sabtu, 02 Juli 2022 - 10:26 WIB
Hukum mengadakan syukuran haji ada perbedaan pendapat di kalangan utama, namun tasyakuran ibadah haji atau yang dikenal dengan walimatus safar ini, memang cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia. Foto ilustrasi/ist
Hukum mengadakan syukuran haji di kampung halaman masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Syukuran atau tasyakuran ibadah haji atau yang dikenal dengan walimatus safar ini, memang cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia. Bagaimanakah ulama memotret walimatus safar haji dalam kerangka kajian fiqih/hukum syariat ini?

Memang terjadi sedikit perbedaan pandangan para ulama soal walimatus safar haji ini. Ada yang berpendapat, tasyakuran haji ini dibolehkan. Tapi ada yang beranggapan acara ini tidak perlu diadakan. Namun, mayoritas umat Islam di Indonesia menilai walimatus safar ini banyak unsur kebaikannya. Karena di dalamnya ada unsur silaturahim, pemberian makanan dan doa untuk saling menumbuhkan rasa cinta sesama umat muslim.



Secara garis besar, bisa diartikan bahwa walimah berarti “pesta/tasyakuran” dan safar artinya “perjalanan”. Jadi walimatus safar merupakan pesta/ tasyakuran yang diadakan untuk melepas calon jamaah haji pergi ke tanah suci atau menyambut kedatangannya. Jadi semacam acara pelepasan dan penyembuhan jamaah haji.

Imam An Nawawi di dalam kitabAl Majmu’ Syarh Al Muhadzab. Beliau berkata bahwa an-naqi’ah itu disunnahkan. Yaitu makanan yang disedekahkan karena sekembalinya dari perjalanan. Dan hal ini dimutlakkan baik bagi musafirnya (Calon Haji) atau bagi orang lain (keluarganya).



Intinya, an-naqi’ah itu adalah makanan yang disiapkan untuk makan bersama undangan karena menyambut orang yang datang.

Pendapat Imam Nawawi tersebut berdasarkan hadis riwayat sahabat Jabir Radhiallahu'anhu :

“Bahwasannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam ketika sampai di Madinah dari perjalanannya, beliau menyembelih kambing atau sapi.” (HR. Al Bukhari)

Selain itu, Imam Al Bukhari di dalam kitabShahih-nya secara gamblang memberikan judul bab “Babu Istiqbalul Haji Al Qadimin was Salasah Alad Dawab” atau bab penyambutan orang haji yang baru datang dan tiga orang (diantaranya) naik kendaraan.

Di dalam bab tersebut imam Al Bukhari meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas yang mengatakan:

“Ketika Rasulullah tiba di Mekah, Beliau disambut oleh anak-anak kecil Suku Bani ‘Abdul Muthalib lalu Beliau menggendong salah satu dari mereka di depan dan yang lainnya dibelakang.'

Dari dalil tersebut, para ulama menyebut bahwa walimatus safar dibolehkan bahkan dianjurkan. Apalagi semangatwalimatus safaradalah silaturahim, mensyukuri nikmat Allah(tasyakur bini'mah), dan berbagi kebahagiaan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Wa ammaa bini'matirobbika fahadits"(dan terhadap nikmat Rabbmu hendaklah kamu menyebut-nyebutnya).

Imam al Nawawi mengatakan dalam kitab al Majmu’:”disunnahkan ’al naqi’ah’, yaitu memberikan ucapan doa selamat dan menyediakan makanan bagi orang yang baru datang dari perjalanan (termasuk jamaah haji) dan bagi orang yang menyambut kedatangannya.”

Jadi, tasyakuran haji ini tidak hanya sekedar tradisi baik yang dilakukan oleh mayoritas kalangan umat muslim sebelum dan sesudah berangkat haji dan umrah. Tetapi ternyata ada riwayat dan dalil yang jelas tentang kesunahannya.

Namun, sebagian ulama lain memiliki pandangan berbeda. Yakni agar acara walimah safar ini dihindari. Dikarenakan bisa berpotensi menjadi acara yang diisi oleh ritual-ritual yang tidak ada petunjuknya dari Rasulullah.

Misalnya, calon jamaah haji ketika akan berangkat dilepas dengan alunan suara adzan dan ketika apabila datang dari Mekah, mereka tidak boleh masuk ke rumah sebelum dimintai berkah doanya.

Lalu air zamzam yang dibawa dari Mekah dimasukkan ke dalam sumur atau bak mandi sehingga sumur tersebut diyakini keberkahannya.

Ustadz Zaenal Abidin Lc, mengutip Ibnu Taimiyah rahimahullah, dalam Alfatawa atau buku fatwa fatwa Ibnu Taimiyah dijelaskan bahwa agama kaum muslimin itu harus dibangun atas dasar ittiba’ (mengikuti) kepada al-Qur’ân, as-Sunnah, dan ijma’ umat Islam.

Ketiga dasar tersebut bersifat ma’sûm (bebas dari kesalahan), sehingga seluruh perkara yang diperselisihkan umat harus dikembalikan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, bukan berdasarkan hawa nafsu, perasaan, gagasan tokoh ataupun peninggalan budaya.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
Hadits of The Day
Dari 'Urwah bahwa Aisyah telah mengabarkan kepadanya bahwa dalam shalatnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sering berdoa: ALLAHUMMA INNI 'AUUDZUBIKA MIN 'ADZAABIL QABRI WA A'UUDZUBIKA MIN FITNATIL MASIIHID DAJJAL WA A'UUDZUBIKA MIN FITNATIL MAHYA WAL MAMAATI, ALLAHUMMA INNI A'UUDZUBIKA MINAL MA'TSMI WAL MAGHRAMI (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, aku berlindung dari fitnah Dajjal, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian, ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan dosa dan lilitan hutang). Maka seseorang bertanya kepada beliau, Alangkah seringnya anda memohon perlindungan diri dari lilitan hutang. Beliau bersabda: Sesungguhnya apabila seseorang sudah sering berhutang, maka dia akan berbicara dan berbohong, dan apabila berjanji, maka dia akan mengingkari.

(HR. Sunan Abu Dawud No. 746)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More