Amr Bin Al-Ash: Arthabon Arab yang Taklukkan Arthabon Romawi
Rabu, 13 Juli 2022 - 17:30 WIB
Kemudian ia masuk ke dalam, lalu berkata kepada komandan, “Hatiku terbesit suatu pikiran yang ingin kusampaikan kepadamu sekarang ini. Di pos komandoku sekarang ini sedang menunggu segolongan sahabat Rasul angkatan pertama masuk Islam, di mana pendapat mereka sering didengar oleh Amirul Mukminin untuk mengambil sesuatu keputusan penting. Bahkan, setiap mengirim tentara, mereka selalu diikutsertakan untuk mengawasi tindakan tentara dan langkah-langkah yang mereka ambil. Aku bermaksud membawa mereka ke sini agar dapat mendengar dari mulutmu apa yang telah kudengar, hingga mereka memperoleh penjelasan yang sebaik-baiknya mengenai urusan kita ini.”
Komandan Romawi itu mengerti bahwa Amr bernasib mujur dan lolos dari maut. Dengan sikap gembira ia menyetujui usul Amr, hingga bila Amr nanti kembali dengan sejumlah besar pimpinan dan panglima Islam pilihan, ia akan dapat menjebak mereka semua, daripada hanya Amr seorang diri.
Tanpa sepengetahuan Amr, komandan itu menahan diri untuk tidak mengganggu Amr sambil menyiapkan kembali perangkap yang disediakan untuk panglima Islam tadi agar mereka binasa. Ia melepas Amr dengan besar hati dan menjabat tangannya dengan hangat. Ahli siasat dan tipu muslihat Arab itu menyambutnya dengan tertawa dalam hati.
Waktu subuh keesokan harinya, dengan memacu kudanya yang meringkik keras sebagai nada bangga dan mengejek, Amr kembali memimpin tentaranya menuju benteng. Kuda memang merupakan makhluk lain yang banyak mengetahui kelihaian dan kecerdikan tuannya.
Pada tahun 43 Hijrah Amr bin Al-Ash wafat di Mesir ketika masih menjabat gubernur di sana. Saat kepergiannya itu, ia mengemukakan riwayat hidupnya, “Pada mulanya aku ini seorang kafir dan orang yang sangat keras terhadap Rasulullah SAW hingga seandainya aku meninggal pada saat itu, aku pasti masuk neraka. Kemudian aku berbaiat kepada Rasulullah SAW, dan sejak itu tidak seorang pun di antara manusia yang lebih kucintai dan lebih mulia dalam pandangan mataku selain beliau."
"Seandainya aku diminta untuk melukiskannya, aku tidak akan sanggup karena rasa hormatku kepada beliau. Aku tidak akan mampu menatap beliau sepenuh mataku. Seandainya aku meninggal pada saat itu, besar harapan aku akan menjadi penduduk surga."
"Setelah itu, aku diuji dengan kekuasaan dan urusan lain yang tidak kuketahui apakah itu membawa keuntungan bagi diriku ataukah kerugian.”
Amr lalu mengangkat kepala ke arah langit dengan hati yang tunduk, sambil bermunajat kepada Rabbnya Yang Mahabesar lagi Maha Pengasih: “Ya Allah, aku tidak lepas dari kesalahan, maka ampunilah aku. Aku tidak luput dari kelemahan, maka tolonglah diriku. Bila aku tidak memperoleh karunia-Mu, aku pasti celaka.”
Demikianlah, ia asyik dalam permohonan dan penghinaan diri hingga akhirnya rohnya naik ke langit tinggi, di sisi Allah, Rabb Yang Mahasuci, sedangkan akhir ucapan penutup hayatnya ialah La Ilaha Illallah.
Di pangkuan bumi Mesir, negeri tempat ia memperkenalkan ajaran Islam itu, tubuh kasarnya bersemayam. Di atas tanahnya yang keras, majelisnya yang selama ini digunakannya untuk mengajar, mengadili, dan mengendalikan pemerintahan masih tegak berdiri mengiringi waktu, dinaungi oleh atap masjidnya yang telah berusia lanjut, yaitu Masjid Agung Al-Amr yang merupakan masjid pertama di Mesir.
Di dalamnya nama-nama Allah Yang Tunggal lagi Esa selalu disebut. Kalimat-kalimat Allah serta pokok-pokok Islam dikumandangkan ke setiap pojoknya dari atas mimbar.
Komandan Romawi itu mengerti bahwa Amr bernasib mujur dan lolos dari maut. Dengan sikap gembira ia menyetujui usul Amr, hingga bila Amr nanti kembali dengan sejumlah besar pimpinan dan panglima Islam pilihan, ia akan dapat menjebak mereka semua, daripada hanya Amr seorang diri.
Tanpa sepengetahuan Amr, komandan itu menahan diri untuk tidak mengganggu Amr sambil menyiapkan kembali perangkap yang disediakan untuk panglima Islam tadi agar mereka binasa. Ia melepas Amr dengan besar hati dan menjabat tangannya dengan hangat. Ahli siasat dan tipu muslihat Arab itu menyambutnya dengan tertawa dalam hati.
Waktu subuh keesokan harinya, dengan memacu kudanya yang meringkik keras sebagai nada bangga dan mengejek, Amr kembali memimpin tentaranya menuju benteng. Kuda memang merupakan makhluk lain yang banyak mengetahui kelihaian dan kecerdikan tuannya.
Pada tahun 43 Hijrah Amr bin Al-Ash wafat di Mesir ketika masih menjabat gubernur di sana. Saat kepergiannya itu, ia mengemukakan riwayat hidupnya, “Pada mulanya aku ini seorang kafir dan orang yang sangat keras terhadap Rasulullah SAW hingga seandainya aku meninggal pada saat itu, aku pasti masuk neraka. Kemudian aku berbaiat kepada Rasulullah SAW, dan sejak itu tidak seorang pun di antara manusia yang lebih kucintai dan lebih mulia dalam pandangan mataku selain beliau."
"Seandainya aku diminta untuk melukiskannya, aku tidak akan sanggup karena rasa hormatku kepada beliau. Aku tidak akan mampu menatap beliau sepenuh mataku. Seandainya aku meninggal pada saat itu, besar harapan aku akan menjadi penduduk surga."
"Setelah itu, aku diuji dengan kekuasaan dan urusan lain yang tidak kuketahui apakah itu membawa keuntungan bagi diriku ataukah kerugian.”
Amr lalu mengangkat kepala ke arah langit dengan hati yang tunduk, sambil bermunajat kepada Rabbnya Yang Mahabesar lagi Maha Pengasih: “Ya Allah, aku tidak lepas dari kesalahan, maka ampunilah aku. Aku tidak luput dari kelemahan, maka tolonglah diriku. Bila aku tidak memperoleh karunia-Mu, aku pasti celaka.”
Demikianlah, ia asyik dalam permohonan dan penghinaan diri hingga akhirnya rohnya naik ke langit tinggi, di sisi Allah, Rabb Yang Mahasuci, sedangkan akhir ucapan penutup hayatnya ialah La Ilaha Illallah.
Di pangkuan bumi Mesir, negeri tempat ia memperkenalkan ajaran Islam itu, tubuh kasarnya bersemayam. Di atas tanahnya yang keras, majelisnya yang selama ini digunakannya untuk mengajar, mengadili, dan mengendalikan pemerintahan masih tegak berdiri mengiringi waktu, dinaungi oleh atap masjidnya yang telah berusia lanjut, yaitu Masjid Agung Al-Amr yang merupakan masjid pertama di Mesir.
Di dalamnya nama-nama Allah Yang Tunggal lagi Esa selalu disebut. Kalimat-kalimat Allah serta pokok-pokok Islam dikumandangkan ke setiap pojoknya dari atas mimbar.
(mhy)