Ketimbang Nabi Musa, Cinta Allah SWT Lebih Besar kepada Nabi Muhammad SAW
Sabtu, 23 Juli 2022 - 16:32 WIB
Muhammad Quraish Shihab mengatakan sikap Allah SWT kepada Rasulullah SAW lebih besar ketimbang Nabi Musa as . Nabi Musa as bermohon agar Allah menganugerahkan kepadanya kelapangan dada, serta memohon agar Allah memudahkan segala persoalannya.
"Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku ( QS Thaha [20] : 25-26).
Sedangkan Nabi Muhammad SAW memperoleh anugerah kelapangan dada tanpa mengajukan permohonan. Perhatikan firman Allah dalam surat Alam Nasyrah, "Bukankah Kami telah melapangkan dadamu?" ( QS Alam Nasyrah [94 ]: 1).
Dapat diambil kesimpulan bahwa yang diberi tanpa bermohon tentunya lebih dicintai daripada yang bermohon, baik permohonannya dikabulkan, lebih-lebih yang tidak.
Permohonan Nabi Musa as adalah agar urusannya dipermudah, sedangkan Nabi Muhammad SAW bukan sekadar urusan yang dimudahkan Tuhan, melainkan beliau sendiri yang dianugerahi kemudahan. Sehingga betapapun sulitnya persoalan yang dihadapi --dengan pertolongan Allah-- beliau akan mampu menyelesaikannya.
Mengapa demikian? Karena Allah menyatakan kepada Nabi Muhammad dalam surat Al-A'la (87) : 8: "Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah."
Quraish Shihab mengatakan mungkin saja urusan telah mudah, namun seseorang, karena satu dan lain sebab-tidak mampu menghadapinya. "Tetapi jika yang bersangkutan telah memperoleh kemudahan, walaupun sulit urusan tetap akan terselesaikan," tuturnya.
Keistimewaan yang dimiliki beliau tidak berhenti di sana saja. Juga dengan keistimewaan kedua, yaitu "jalan yang beliau tempuh selalu dimudahkan Tuhan" sebagaimana tersurat dalam firman Allah, "Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah." ( QS Al-A'la [87] : 8).
Bukan Berarti Dimanja
Dari sini jelas, kata Quraish Shihab, bahwa apa yang diperoleh oleh Nabi Muhammad SAW melebihi apa yang diperoleh oleh Nabi Musa as, karena beliau tanpa bermohon pun memperoleh kemudahan berganda, sedangkan Nabi Musa baru memperoleh anugerah "kemudahan urusan" setelah mengajukan permohonannya.
"Itu bukan berarti bahwa Nabi Muhammad SAW dimanjakan oleh Allah, sehingga beliau tidak akan ditegur apabila melakukan sesuatu yang kurang wajar sebagai manusia pilihan," jelas Quraish Shihab.
Menurutnya, dari Al-Qur'an ditemukan sekian banyak teguran-teguran Allah kepada beliau, dari yang sangat tegas hingga yang lemah lembut.
Perhatikan teguran firman Allah ketika beliau memberi izin kepada beberapa orang munafik untuk tidak ikut berperang.
"Allah telah memaafkan kamu. Mengapa engkau mengizinkan mereka? (Seharusnya izin itu engkau berikan) setelah terbukti bagimu siapa yang berbohong dalam alasannya, dan siapa pula yang berkata benar ( QS Al-Tawbah [9] : 43)
Dalam ayat tersebut Allah mendahulukan penegasan bahwa beliau telah dimaafkan, baru kemudian disebutkan "kekeliruannya."
Quraish Shihab mengatakan teguran keras baru akan diberikan kepada beliau terhadap ucapan yang mengesankan bahwa beliau mengetahui secara pasti orang yang diampuni Allah, dan yang akan disiksa-Nya, maupun ketika beliau merasa dapat menetapkan siapa yang berhak disiksa.
"Engkau tidak mempunyai sedikit urusan pun. (Apakah) Allah menerima tobat mereka atau menyiksa mereka ( QS Ali 'Imran [3] : 128).
Perhatikan teguran Allah dalam surat 'Abasa ayat 1-2 kepada Nabi Muhammad SAW, yang tidak mau melayani orang buta yang datang meminta untuk belajar pada saat Nabi SAW sedang melakukan pembicaraan dengan tokoh-tokoh kaum musyrik di Mekkah
"Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya..."
Teguran ini dikemukakan dengan rangkaian sepuluh ayat, dan diakhiri dengan: "Sekali-kali jangan (demikian). Sesungguhnya ajaran-ajaran Allah adalah suatu peringatan" ( QS 'Abasa [80] : 11).
Nabi berpaling dan sekadar bermuka masam ketika seseorang mengganggu konsentrasi dan pembicaraan serius pada saat rapat; hakikatnya dapat dinilai sudah sangat baik bila dikerjakan oleh manusia biasa. Namun karena Muhammad SAW adalah manusia pilihan, sikap dernikian itu dinilai kurang tepat, yang dalam istilah Al-Qur'an disebut zanb (dosa).
Menurut Quraish Shihab, dalam hal ini ulama memperkenalkan kaidah: Hasanat al-abrar, sayyiat al-muqarrabin, yang berarti "kebajikan-kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang baik, (dapat dinilai sebagai) dosa (bila diperbuat oleh) orang-orang yang dekat kepada Tuhan."
"Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku ( QS Thaha [20] : 25-26).
Sedangkan Nabi Muhammad SAW memperoleh anugerah kelapangan dada tanpa mengajukan permohonan. Perhatikan firman Allah dalam surat Alam Nasyrah, "Bukankah Kami telah melapangkan dadamu?" ( QS Alam Nasyrah [94 ]: 1).
Dapat diambil kesimpulan bahwa yang diberi tanpa bermohon tentunya lebih dicintai daripada yang bermohon, baik permohonannya dikabulkan, lebih-lebih yang tidak.
Permohonan Nabi Musa as adalah agar urusannya dipermudah, sedangkan Nabi Muhammad SAW bukan sekadar urusan yang dimudahkan Tuhan, melainkan beliau sendiri yang dianugerahi kemudahan. Sehingga betapapun sulitnya persoalan yang dihadapi --dengan pertolongan Allah-- beliau akan mampu menyelesaikannya.
Mengapa demikian? Karena Allah menyatakan kepada Nabi Muhammad dalam surat Al-A'la (87) : 8: "Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah."
Quraish Shihab mengatakan mungkin saja urusan telah mudah, namun seseorang, karena satu dan lain sebab-tidak mampu menghadapinya. "Tetapi jika yang bersangkutan telah memperoleh kemudahan, walaupun sulit urusan tetap akan terselesaikan," tuturnya.
Keistimewaan yang dimiliki beliau tidak berhenti di sana saja. Juga dengan keistimewaan kedua, yaitu "jalan yang beliau tempuh selalu dimudahkan Tuhan" sebagaimana tersurat dalam firman Allah, "Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah." ( QS Al-A'la [87] : 8).
Bukan Berarti Dimanja
Dari sini jelas, kata Quraish Shihab, bahwa apa yang diperoleh oleh Nabi Muhammad SAW melebihi apa yang diperoleh oleh Nabi Musa as, karena beliau tanpa bermohon pun memperoleh kemudahan berganda, sedangkan Nabi Musa baru memperoleh anugerah "kemudahan urusan" setelah mengajukan permohonannya.
"Itu bukan berarti bahwa Nabi Muhammad SAW dimanjakan oleh Allah, sehingga beliau tidak akan ditegur apabila melakukan sesuatu yang kurang wajar sebagai manusia pilihan," jelas Quraish Shihab.
Menurutnya, dari Al-Qur'an ditemukan sekian banyak teguran-teguran Allah kepada beliau, dari yang sangat tegas hingga yang lemah lembut.
Perhatikan teguran firman Allah ketika beliau memberi izin kepada beberapa orang munafik untuk tidak ikut berperang.
"Allah telah memaafkan kamu. Mengapa engkau mengizinkan mereka? (Seharusnya izin itu engkau berikan) setelah terbukti bagimu siapa yang berbohong dalam alasannya, dan siapa pula yang berkata benar ( QS Al-Tawbah [9] : 43)
Dalam ayat tersebut Allah mendahulukan penegasan bahwa beliau telah dimaafkan, baru kemudian disebutkan "kekeliruannya."
Quraish Shihab mengatakan teguran keras baru akan diberikan kepada beliau terhadap ucapan yang mengesankan bahwa beliau mengetahui secara pasti orang yang diampuni Allah, dan yang akan disiksa-Nya, maupun ketika beliau merasa dapat menetapkan siapa yang berhak disiksa.
"Engkau tidak mempunyai sedikit urusan pun. (Apakah) Allah menerima tobat mereka atau menyiksa mereka ( QS Ali 'Imran [3] : 128).
Perhatikan teguran Allah dalam surat 'Abasa ayat 1-2 kepada Nabi Muhammad SAW, yang tidak mau melayani orang buta yang datang meminta untuk belajar pada saat Nabi SAW sedang melakukan pembicaraan dengan tokoh-tokoh kaum musyrik di Mekkah
"Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya..."
Teguran ini dikemukakan dengan rangkaian sepuluh ayat, dan diakhiri dengan: "Sekali-kali jangan (demikian). Sesungguhnya ajaran-ajaran Allah adalah suatu peringatan" ( QS 'Abasa [80] : 11).
Nabi berpaling dan sekadar bermuka masam ketika seseorang mengganggu konsentrasi dan pembicaraan serius pada saat rapat; hakikatnya dapat dinilai sudah sangat baik bila dikerjakan oleh manusia biasa. Namun karena Muhammad SAW adalah manusia pilihan, sikap dernikian itu dinilai kurang tepat, yang dalam istilah Al-Qur'an disebut zanb (dosa).
Menurut Quraish Shihab, dalam hal ini ulama memperkenalkan kaidah: Hasanat al-abrar, sayyiat al-muqarrabin, yang berarti "kebajikan-kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang baik, (dapat dinilai sebagai) dosa (bila diperbuat oleh) orang-orang yang dekat kepada Tuhan."
(mhy)
Lihat Juga :