Kisah Fatimah binti Maimun, Pendakwah Islam di Jawa Timur sebelum Wali Songo
Selasa, 02 Agustus 2022 - 17:03 WIB
Di balik bidang batu nisan Sayyidah Fatimah binti Maimun, terdapat tulisan Arab yang merupakan petikan QS ar-Rahman (55): 55. Petikan ayat al-Qur'an tersebut ditulis dengan khat kufi (tulisan khas Kufah, IraQ).
Khat kufi berbeda dengan khat Arab. Salah satu perbedaannya, jika dalam khat Arab huruf “sin” bergigi, dalam khat kufi tidak bergigi. Hal ini menandakan bahwa Sayyidah Fatimah binti Maimun beserta para pengikutnya bertradisikan Persia, bukan Arab.
Dapat dimaklumi bahwa, meskipun Sayyidah Fatimah binti Maimun menikah dengan seorang lelaki Arab, tetapi buyutnya, Sulaiman Abu Zain al-Bashri bin Ali Uraidi, menurut naskah Wangsakerta, dikatakan menetap di Persia.
Bukti arkeologis makam Sayyidah Fatimah binti Maimun kian menguatkan teori yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia, bahkan ke Asia Tenggara, dibawa oleh orang-orang Persia.
Inskripsi di makam Sayyidah Fatimah binti Maimun, menurut kajian epigrafis dalam buku Hasan Muarif Ambary, "Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia", memiliki kesamaan dengan sebuah makam kuno di Pandurangga (Panh-Rang) di wilayah Champa (kini Vietnam bagian tengah dan selatan).
Kedua batu nisan yang bertuliskan huruf kufi itu merupakan bukti arkeologis tertua mengenai kehadiran Islam di Asia Tenggara pada abad ke-5 H/ke-11 M.
Menurut Agus Sunyoto, keberadaan makam Sayyidah Fatimah binti Maimun tampak berhubungan dengan kisah migrasi Suku Lor asal Lorestan, Persia, yang datang ke Jawa pada abad ke-10 M.2
SO Fatimi, dalam "Islam Come to Malay" mencatat bahwa pada abad ke-10 M, terjadi migrasi keluarga-keluarga (marga) Persia ke Nusantara. Di antara keluarga-keluarga itu, yang terbesar ada empat keluarga.
Pertama, keluarga Rumai. Mereka datang ke Nusantara dan tinggal di timur Sumatera. Oleh karena itu, para penulis Arab abad ke-9 dan ke-10 M, menyebut Pulau Sumatera dengan sebutan Al-Rumi.
Kedua, keluarga Syiah. Mereka datang ke Nusantara sekitar tahun 357 H/969 M dan tinggal di bagian tengah Sumatera Timur. Di sana, mereka mendirikan kampung yang dikenal dengan sebutan “Siak”, yang kemudian menjadi “Nagari Siak”.
Mereka berimigrasi dari Persia ke Nusantara pada masa pemerintahan Rukduddaulah bin Hasan bin Buwaih ad-Dailami (947-977 M) dari Dinasti Buwaihi yang berkedudukan di Persia dan berpaham Syi'ah.
Ketiga, keluarga Jawani. Mereka datang sekitar tahun 301 H/913 M, tatkala Iran berada di bawah kekuasaan Jawani alKurdi. Mereka tinggal di Pasai, Sumatera Utara, dan dikenal sebagai penyusun khat Jawi, tulisan Jawi.
Keempat, keluarga Lor. Keluarga ini datang ke Nusantara pada sekitar tahun 300 H/912 M. Mereka berasal dari wilayah Lor, Persia, pada saat wilayah itu dipimpin oleh Nasiruddin bin Badr. Keluarga inilah yang tinggal di Jawa dan diperkirakan oleh Agus Sunyoto mendirikan kampung Leran (kediaman orang-orang Lor) di Gresik.
Menurut Laporan Penelitian Arkeologi di Situs Pesucian, Kecamatan Manyar (1994-1996), Leran pada zaman dulu merupakan sebuah kota perdagangan yang berkembang pesat. Kota ini dibangun oleh orang-orang Lor yang dikenal memiliki semangat berbisnis yang kuat sehingga mereka dihormati oleh penduduk sekitar dan para pedagang yang berasal dari berbagai daerah. Bahkan, Kota Leran menjadi pasar internasional, di mana para pedagang dari luar negeri menjajakan barang dagangannya di sana.
Hal ini dibuktikan dari penemuan arkeologis di Dusun Leran di sekitar kompleks makam Sayyidah Fatimah binti Maimun berupa mangkuk-mangkuk keramik khas Tiongkok, India, dan Timur Tengah yang berasal dari abad ke-10 dan ke-11 M.
Salah seorang pemimpin yang paling disegani dan dihormati pada zaman itu adalah Sayyidah Fatimah binti Maimun. Kata “syaahidah” dalam inskripsi makamnya, menurut M. Yamin, bisa dimaknai sebagai “pemimpin wanita”, alih-alih “wanita korban syahid”. Sebab, bisa dibayangkan, jika bukan sosok yang sangat dihormati, tidaklah mungkin makam Sayyidah Fatimah binti Maimun dibangun megah berikut inskripsinya, sedangkan hampir semua makam tua di Leran tidak semegah makam tokoh itu.
Bukti galian arkeologis dan inskripsi pada batu nisan makam Sayyidah Fatimah binti Maimun, pada satu sisi dapat dihubungkan dengan para migran Suku Lor asal Persia yang pada abad ke-10 Masehi bermigrasi ke Jawa dengan mendirikan permukiman bernama Loram dan Leran.
Itu berarti, Sayyidah Fatimah binti Maimun yang wafat pada hari Jumat, bulan Rajab, tahun 475 H/1082 M itu bukanlah seorang wanita asing, melainkan wanita kelahiran setempat keturunan pemukim-pemukim awal Suku Lor yang tinggal di Loram dan Leran sejak abad ke-10 Masehi.
Khat kufi berbeda dengan khat Arab. Salah satu perbedaannya, jika dalam khat Arab huruf “sin” bergigi, dalam khat kufi tidak bergigi. Hal ini menandakan bahwa Sayyidah Fatimah binti Maimun beserta para pengikutnya bertradisikan Persia, bukan Arab.
Dapat dimaklumi bahwa, meskipun Sayyidah Fatimah binti Maimun menikah dengan seorang lelaki Arab, tetapi buyutnya, Sulaiman Abu Zain al-Bashri bin Ali Uraidi, menurut naskah Wangsakerta, dikatakan menetap di Persia.
Bukti arkeologis makam Sayyidah Fatimah binti Maimun kian menguatkan teori yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia, bahkan ke Asia Tenggara, dibawa oleh orang-orang Persia.
Inskripsi di makam Sayyidah Fatimah binti Maimun, menurut kajian epigrafis dalam buku Hasan Muarif Ambary, "Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia", memiliki kesamaan dengan sebuah makam kuno di Pandurangga (Panh-Rang) di wilayah Champa (kini Vietnam bagian tengah dan selatan).
Kedua batu nisan yang bertuliskan huruf kufi itu merupakan bukti arkeologis tertua mengenai kehadiran Islam di Asia Tenggara pada abad ke-5 H/ke-11 M.
Menurut Agus Sunyoto, keberadaan makam Sayyidah Fatimah binti Maimun tampak berhubungan dengan kisah migrasi Suku Lor asal Lorestan, Persia, yang datang ke Jawa pada abad ke-10 M.2
SO Fatimi, dalam "Islam Come to Malay" mencatat bahwa pada abad ke-10 M, terjadi migrasi keluarga-keluarga (marga) Persia ke Nusantara. Di antara keluarga-keluarga itu, yang terbesar ada empat keluarga.
Pertama, keluarga Rumai. Mereka datang ke Nusantara dan tinggal di timur Sumatera. Oleh karena itu, para penulis Arab abad ke-9 dan ke-10 M, menyebut Pulau Sumatera dengan sebutan Al-Rumi.
Kedua, keluarga Syiah. Mereka datang ke Nusantara sekitar tahun 357 H/969 M dan tinggal di bagian tengah Sumatera Timur. Di sana, mereka mendirikan kampung yang dikenal dengan sebutan “Siak”, yang kemudian menjadi “Nagari Siak”.
Mereka berimigrasi dari Persia ke Nusantara pada masa pemerintahan Rukduddaulah bin Hasan bin Buwaih ad-Dailami (947-977 M) dari Dinasti Buwaihi yang berkedudukan di Persia dan berpaham Syi'ah.
Ketiga, keluarga Jawani. Mereka datang sekitar tahun 301 H/913 M, tatkala Iran berada di bawah kekuasaan Jawani alKurdi. Mereka tinggal di Pasai, Sumatera Utara, dan dikenal sebagai penyusun khat Jawi, tulisan Jawi.
Keempat, keluarga Lor. Keluarga ini datang ke Nusantara pada sekitar tahun 300 H/912 M. Mereka berasal dari wilayah Lor, Persia, pada saat wilayah itu dipimpin oleh Nasiruddin bin Badr. Keluarga inilah yang tinggal di Jawa dan diperkirakan oleh Agus Sunyoto mendirikan kampung Leran (kediaman orang-orang Lor) di Gresik.
Menurut Laporan Penelitian Arkeologi di Situs Pesucian, Kecamatan Manyar (1994-1996), Leran pada zaman dulu merupakan sebuah kota perdagangan yang berkembang pesat. Kota ini dibangun oleh orang-orang Lor yang dikenal memiliki semangat berbisnis yang kuat sehingga mereka dihormati oleh penduduk sekitar dan para pedagang yang berasal dari berbagai daerah. Bahkan, Kota Leran menjadi pasar internasional, di mana para pedagang dari luar negeri menjajakan barang dagangannya di sana.
Hal ini dibuktikan dari penemuan arkeologis di Dusun Leran di sekitar kompleks makam Sayyidah Fatimah binti Maimun berupa mangkuk-mangkuk keramik khas Tiongkok, India, dan Timur Tengah yang berasal dari abad ke-10 dan ke-11 M.
Salah seorang pemimpin yang paling disegani dan dihormati pada zaman itu adalah Sayyidah Fatimah binti Maimun. Kata “syaahidah” dalam inskripsi makamnya, menurut M. Yamin, bisa dimaknai sebagai “pemimpin wanita”, alih-alih “wanita korban syahid”. Sebab, bisa dibayangkan, jika bukan sosok yang sangat dihormati, tidaklah mungkin makam Sayyidah Fatimah binti Maimun dibangun megah berikut inskripsinya, sedangkan hampir semua makam tua di Leran tidak semegah makam tokoh itu.
Bukti galian arkeologis dan inskripsi pada batu nisan makam Sayyidah Fatimah binti Maimun, pada satu sisi dapat dihubungkan dengan para migran Suku Lor asal Persia yang pada abad ke-10 Masehi bermigrasi ke Jawa dengan mendirikan permukiman bernama Loram dan Leran.
Itu berarti, Sayyidah Fatimah binti Maimun yang wafat pada hari Jumat, bulan Rajab, tahun 475 H/1082 M itu bukanlah seorang wanita asing, melainkan wanita kelahiran setempat keturunan pemukim-pemukim awal Suku Lor yang tinggal di Loram dan Leran sejak abad ke-10 Masehi.