Sikap Nabi Muhammad Terhadap Perkara Baru Dalam Agama

Selasa, 16 Agustus 2022 - 23:01 WIB
Setiap hal-hal baru dalam agama hendaknya dikembalikan kepada kaidah-kaidah dan maqoshid Syariah agar tidak mudah menghukumi bidah sesat. Foto/ilustrasi
Sikap Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam terhadap hal-hal baru dalam agama perlu dicermati agar kita tidak mudah menyalahkan orang lain. Apalagi menuduh sesama muslim sebagai ahli bid'ah dan sesat.

Ketika menemukan hal-hal baru dalam agama (bid'ah), hendaknya mengembalikannya kepada kaidah-kaidah dan Maqoshid Syariah. Tidak memukul rata sebagai bid'ah sesat yang tercela.

Para ulama mengatakan, apabila perkara baru itu menyelisihi, maka ia masuk ke dalam bid'ah tercela. Dan jika tidak, maka ia bid'ah yang tidak tercela.

Dai yang belajar di Kairo Mesir, Ustaz Amru Hamdany dalam satu kajiannya menceritakan, dulu pada zaman Nabi, Beliau shollallohu 'alaihi wasallam pernah menemukan perkara bid'ah.

Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, beliau bercerita:"Rasulullah SAW suatu saat pernah memasuki masjid, di sana beliau menemukan ada tali terbentang antara dua tiang masjid. Beliau kemudian bertanya, "Apa ini?". Para sahabat menjawab: "Ini milik Sayyidah Zainab, jika merasa letih, ia berpegang di sana ketika sholat."



Nabi kemudian bersabda: "Lepaskan tali ini, hendaknya kalian sholat ketika semangat, jika merasa letih maka duduklah (jangan dipaksakan)."

Mengikat tali di tiang masjid sebagai tempat berpegang ketika sholat adalah hal yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi. Bid'ah ini beliau tolak karena menyelisihi ruh Syari'at yang dibangun atas kemudahan sebagaimana firman Allah:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Artinya: "dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama..." (QS. Al-Hajj Ayat 78)

Rasulullah SAW menolak perkara baru di atas karena dianggap buruk dan menyelisihi syariat. Sekarang, coba kita perhatikan bagaimana sikap Nabi terhadap bid'ah yang tidak menyelisihi syariat.

Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, suatu hari saat para sahabat sholat berjamaah dengan Nabi, ada seorang sahabat berdzikir dengan dzikir yang tidak pernah diajarkan Nabi. Setelah Nabi mengucapkan "Sami'alllahu liman hamidah" ketika bangun dari Ruku', sahabat itu mengatakan:

ربنا ولك الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه

"Robbana wa Lakal Hamdu hamdan Katsiron Thoyyiban Mubarakan Fiih."

Seusai sholat, Nabi bertanya: "siapa yang mengucapkan dzikir tadi? Saya melihat ada 30 Malaikat berebut siapa yang lebih dulu menulis kebaikan dzikir itu."

Karena tidak ada kaidah dan Maqoshid Syariah yang diselisihi (masih sejalan dengan usul syari'ah), maka Rasulullah SAW menerimanya.

Hadits di atas dikomentari oleh Imam Ibnu Hajar dengan mengatakan:

"واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير مأثور، إذا كان لا يخالف المأثور"

Artinya: "Dari hadits itu bisa diambil dalil bahwa boleh membuat dzikir di dalam sholat, selama tidak menyelisihi dzikir ma'tsurnya."

Mantan Mufti Mesir Syaikh Ali Jum'ah menambah penjelasan Imam Ibnu Hajar ini dengan mengatakan: "Kalau saja membuat hal baru yang tidak menyelisihi sunnah di dalam sholat diperbolehkan, maka di luar sholat tentu lebih longgar lagi."
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
Hadits of The Day
Dari Aisyah Ummul Mukminin, bahwa ia berkata:  Sudah biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa beberapa hari, hingga kami mengira bahwa beliau akan berpuasa terus. Namun beliau juga biasa berbuka (tidak puasa) beberapa hari hingga kami mengira bahwa beliau akan tidak puasa terus. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyempurnakan puasanya sebulan penuh, kecuali Ramadhan.  Dan aku juga tidak pernah melihat beliau puasa sunnah dalam sebulan yang lebih banyak daripada puasanya ketika bulan Sya'ban.

(HR. Muslim No. 1956)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More