Misteri Nafs al-Wahidah Menurut Nasaruddin Umar
Minggu, 09 Oktober 2022 - 15:06 WIB
Kitab-kitab tafsir mu'tabar dari kalangan jumhur menafsirkan kata nafs al-wahidah dengan Adam. Hanya saja, tetap saja banyak kalangan yang berpendapat bahwa al-Qur'an tidak menceritakan asal-usul kejadian perempuan.
"Kata Hawa yang selama ini dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi isteri Adam sama sekali tidak pernah ditemukan dalam al-Qur'an, bahkan keberadaan Adam sebagai manusia pertama dan berjenis kelamin laki-laki masih dipermasalahkan," tutur Nasaruddin Umar dalam tulisannya berjudul "Perspektif Jender Dalam Islam" pada "Jurnal Pemikiran Islam Paramadina".
Riffat Hasan, misalnya, memparmasalahkan, mengapa selalu dikatakan Adam wa zawj, sekiranya Adam laki-laki maka kata paling tepat digunakan ialah kata zawjah.
Nasaruddin Umar mengatakan satu-satunya ayat yang mengisyaratkan asal usul kejadian perempuan yaitu Quran surat al-Nisa' ayat 1 sebagai berikut:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari "diri" yang satu (a single self), dan dari padanya Allah menciptakan pasangan (pair)-nya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu."
Akan tetapi, kata Nasaruddin Umar, maksud ayat ini masih terbuka peluang untuk didiskusikan, karena ayat tersebut menggunakan kata-kata bersayap. Para mufassir juga masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan "diri yang satu" (nafs al-wahidah), siapa yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir) "dari padanya" (minha), dan apa yang dimaksud "pasangan" (zawy) pada ayat tersebut?
Kitab-kitab tafsir mu'tabar dari kalangan jumhur seperti Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Mizan, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir al-Sa'ud, Tafsir Jami al-Bayan an Tafsir al-Maraghi, semuanya menafsirkan kata nafs al-wahidah dengan Adam, dan dhamir minha ditafsirkan dengan "dari bagian tubuh Adam", dan kata zawj ditafsirkan dengan Hawa, isteri Adam.
Ulama lain seperti Abu Muslim al-Isfahani, sebagaimana dikutip al-Razi dalam tafsirnya (Tafsir al-Razi), mengatakan bahwa dlamir "ha" pada kata minha bukan dari bagian tubuh Adam tetapi "dari jins (gen), unsur pembentuk Adam".
Pendapat lain dikemukakan oleh ulama Syi'ah yang mengartikan al-nafs al-wahidah dengan "roh" (soul).
Banyak Arti
Menurut Nasaruddin Umar, kedua pendapat terakhir yang berbeda dengan pendapat jumhur ulama cukup beralasan pula. Jika diteliti secara cermat penggunaan kata nafs yang terulang 295 kali dalam berbagai bentuknya dalam al-Qur'an, tidak satupun dengan tegas menunjuk kepada Adam.
Kata nafs kadang-kadang berarti "jiwa" ( QS al-Ma'idah/5 :32), "nafsu" ( QS al-Fajr/89 :27), "nyawa/roh" ( QS al-'Ankabut/29 :57).
Kata al-nafs al-wahidah sebagai "asal-usul kejadian" terulang lima kali tetapi itu semua tidak mesti berarti Adam, karena pada ayat lain, seperti QS al-Syu'ra/42 :11, nafs itu juga menjadi asal-usul binatang. "(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dan jenis binatang ternak pasang-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Kalau dikatakan al-nafs al-wahidah ialah Adam, berarti Adam juga menjadi asal-usul kejadian hewan dan tumbuh-tumbuhan?
Nasaruddin Umar mengingatkan, perhatikan sekali lagi ayat ini menggunakan bentuk nakirah/indefinite "dari satu diri" (min nafsin), bukan dalam bentuk ma'rifah/definite (min al-nafs), berarti menunjukkan kekhususan (yufid al-takhshish) lalu diperkuat (ta'kid) dengan kata "yang satu" (wahidah) sebagai shifat dari min nafsin.
Semuanya ini menunjukkan kepada substansi utama (the first resource), yakni asal (unsur) kejadian Adam, bukan Adam-nya sendiri sebagai secondary resources.
Di samping itu, kata Nasaruddin Umar, seandainya yang dimaksud pada kata nafs ialah Adam, mengapa tidak digunakan kata wahidin dengan bentuk gender laki-laki (mudzakkar), tetapi yang digunakan kata wahidah dalam bentuk perempuan (mu'annats).
Walaupun kita tahu bahwa kata nafs masuk kategori mu'annats sebagaimana beberapa ism 'alam lainnya tetapi dalam al-Qur'an sering dijumpai shifat itu menyalahi bentuk mawshuf-nya kemudian merujuk ke hakekat yang di-shifat-i, jika yang di-shifat-i itu hendak ditekankan oleh Si Pembicara (Mukhathab).
"Kata Hawa yang selama ini dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi isteri Adam sama sekali tidak pernah ditemukan dalam al-Qur'an, bahkan keberadaan Adam sebagai manusia pertama dan berjenis kelamin laki-laki masih dipermasalahkan," tutur Nasaruddin Umar dalam tulisannya berjudul "Perspektif Jender Dalam Islam" pada "Jurnal Pemikiran Islam Paramadina".
Riffat Hasan, misalnya, memparmasalahkan, mengapa selalu dikatakan Adam wa zawj, sekiranya Adam laki-laki maka kata paling tepat digunakan ialah kata zawjah.
Nasaruddin Umar mengatakan satu-satunya ayat yang mengisyaratkan asal usul kejadian perempuan yaitu Quran surat al-Nisa' ayat 1 sebagai berikut:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari "diri" yang satu (a single self), dan dari padanya Allah menciptakan pasangan (pair)-nya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu."
Akan tetapi, kata Nasaruddin Umar, maksud ayat ini masih terbuka peluang untuk didiskusikan, karena ayat tersebut menggunakan kata-kata bersayap. Para mufassir juga masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan "diri yang satu" (nafs al-wahidah), siapa yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir) "dari padanya" (minha), dan apa yang dimaksud "pasangan" (zawy) pada ayat tersebut?
Kitab-kitab tafsir mu'tabar dari kalangan jumhur seperti Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Mizan, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir al-Sa'ud, Tafsir Jami al-Bayan an Tafsir al-Maraghi, semuanya menafsirkan kata nafs al-wahidah dengan Adam, dan dhamir minha ditafsirkan dengan "dari bagian tubuh Adam", dan kata zawj ditafsirkan dengan Hawa, isteri Adam.
Ulama lain seperti Abu Muslim al-Isfahani, sebagaimana dikutip al-Razi dalam tafsirnya (Tafsir al-Razi), mengatakan bahwa dlamir "ha" pada kata minha bukan dari bagian tubuh Adam tetapi "dari jins (gen), unsur pembentuk Adam".
Pendapat lain dikemukakan oleh ulama Syi'ah yang mengartikan al-nafs al-wahidah dengan "roh" (soul).
Banyak Arti
Menurut Nasaruddin Umar, kedua pendapat terakhir yang berbeda dengan pendapat jumhur ulama cukup beralasan pula. Jika diteliti secara cermat penggunaan kata nafs yang terulang 295 kali dalam berbagai bentuknya dalam al-Qur'an, tidak satupun dengan tegas menunjuk kepada Adam.
Kata nafs kadang-kadang berarti "jiwa" ( QS al-Ma'idah/5 :32), "nafsu" ( QS al-Fajr/89 :27), "nyawa/roh" ( QS al-'Ankabut/29 :57).
Kata al-nafs al-wahidah sebagai "asal-usul kejadian" terulang lima kali tetapi itu semua tidak mesti berarti Adam, karena pada ayat lain, seperti QS al-Syu'ra/42 :11, nafs itu juga menjadi asal-usul binatang. "(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dan jenis binatang ternak pasang-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Kalau dikatakan al-nafs al-wahidah ialah Adam, berarti Adam juga menjadi asal-usul kejadian hewan dan tumbuh-tumbuhan?
Nasaruddin Umar mengingatkan, perhatikan sekali lagi ayat ini menggunakan bentuk nakirah/indefinite "dari satu diri" (min nafsin), bukan dalam bentuk ma'rifah/definite (min al-nafs), berarti menunjukkan kekhususan (yufid al-takhshish) lalu diperkuat (ta'kid) dengan kata "yang satu" (wahidah) sebagai shifat dari min nafsin.
Semuanya ini menunjukkan kepada substansi utama (the first resource), yakni asal (unsur) kejadian Adam, bukan Adam-nya sendiri sebagai secondary resources.
Di samping itu, kata Nasaruddin Umar, seandainya yang dimaksud pada kata nafs ialah Adam, mengapa tidak digunakan kata wahidin dengan bentuk gender laki-laki (mudzakkar), tetapi yang digunakan kata wahidah dalam bentuk perempuan (mu'annats).
Walaupun kita tahu bahwa kata nafs masuk kategori mu'annats sebagaimana beberapa ism 'alam lainnya tetapi dalam al-Qur'an sering dijumpai shifat itu menyalahi bentuk mawshuf-nya kemudian merujuk ke hakekat yang di-shifat-i, jika yang di-shifat-i itu hendak ditekankan oleh Si Pembicara (Mukhathab).