Begini Penjelasan Syaikh Yusuf Al-Qardhawi Mengenai Hukum Mengambil Bunga Bank
Sabtu, 29 Oktober 2022 - 08:38 WIB
Syaikh Yusuf al-Qardhawi menegaskan sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok harta.
"Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba," jelas al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Fatwa-fatwa Kontemporer" (Gema Insani Press).
Dalam hal ini Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." ( QS al-Baqarah : 278-279)
Menurut al-Qardhawi, yang dimaksud dengan tobat di sini ialah seseorang tetap pada pokok hartanya, dan berprinsip bahwa tambahan yang timbul darinya adalah riba.
Bunga-bunga sebagai tambahan atas pokok harta yang diperoleh tanpa melalui persekutuan atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan dagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan.
Al-Qardhawi mengakui Syaikh Syaltut berpendapat: "Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun darurat ijtima'iyah-- maka bolehlah dipungut bunga itu."
Menurut al-Qardhawi, dalam hal ini Syaikh Syaltut memperluas makna darurat melebihi yang semestinya. "San perluasan beliau ini tidak saya setujui," katanya. "Yang pernah beliau fatwakan juga ialah menabung di bank sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap tidak setuju dengan pendapat ini," lanjutnya.
Al-Qardhawi mengatakan Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok hartanya dengan hanya mengambil keuntungan. Apabila dia melakukan perkongsian, dia wajib memperoleh keuntungan begitupun kerugiannya.
"Kalau keuntungannya sedikit, maka dia berbagi keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan yang sama-sama memikul tanggung jawab," katanya.
Perbandingan perolehan keuntungan yang tidak wajar antara pemilik modal dengan pengelola --misalnya pengelola memperoleh keuntungan sebesar 80%-90% sedangkan pemilik modal hanya lima atau enam persen-- atau terlepasnya tanggung jawab pemilik modal ketika pengelola mengalami kerugian, maka cara seperti ini menyimpang dari sistem ekonomi Islam meskipun Syaih Syaltut pernah memfatwakan kebolehannya.
"Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan tidak boleh ia mengambil bunga bank, serta tidaklah memadai jika ia menzakati harta yang ia simpan di bank.
Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi kasus demikian? "Segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki dan wajib disedekahkan sebagaimana dikatakan para ulama muhaqqiq (ahli tahqiq)," jelasnya.
Sedangkan sebagian ulama yang wara' (sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya atau membuangnya ke laut. Dengan alasan, seseorang tidak boleh bersedekah dengan sesuatu yang jelek. "Tetapi pendapat ini bertentangan dengan kaidah syar'iyyah yang melarang menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya," ujar Al-Qardhawi.
Harta itu bolehlah diambil dan disedekahkan kepada fakir miskin, atau disalurkan pada proyek-proyek kebaikan atau lainnya yang oleh si penabung dipandang bermanfaat bagi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram itu bukanlah milik seseorang, uang itu bukan milik bank atau milik penabung, tetapi milik kemaslahatan umum.
Tidak Mensucikan
Demikianlah keadaan harta yang haram, tidak ada manfaatnya dizakati, karena zakat itu tidak dapat mensucikannya. Yang dapat mensucikan harta ialah mengeluarkan sebagian darinya untuk zakat. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari hasil korupsi." (HR Muslim)
Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, karena harta tersebut bukan milik orang yang memegangnya tetapi milik umum yang dikorupsi.
Oleh sebab itu, janganlah seseorang mengambil bunga bank untuk kepentingan dirinya, dan jangan pula membiarkannya menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi hendaklah ia mengambilnya dan menggunakannya pada jalan-jalan kebaikan.
Al-Qardhawi mengatakan sebagian orang ada yang mengemukakan alasan bahwa sesungguhnya seseorang yang menyimpan uang di bank juga memiliki risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugian dan pailit, misalnya karena sebab tertentu.
"Maka saya katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah, walaupun si penabung mengalami kerugian akibat dari kepailitan atau kebangkrutan tersebut, karena hal ini menyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan. Sebab tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam syariat Ilahi -demikian juga dalam undang-undang buatan manusia-- tidak boleh disandarkan kepada perkara-perkara yang ganjil dan jarang terjadi," kata Al-Qardhawi.
Al-Qardhawi menjelaskan semua ulama telah sepakat bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan sebagai sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering terjadi dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya, kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah kulliyyah (kaidah umum).
Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank) dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa memiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami kerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan atau penyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
Boleh ada yang berkata, "Tetapi bank juga mengolah uang para nasabah, maka mengapa saya tidak boleh mengambil keuntungannya?"
Menurut Al-Qardhawi, betul bahwa bank memperdagangkan uang tersebut, tetapi apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu. Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi dengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikut menanggung apabila bank mengalami kerugian. Tetapi pada kenyataannya, pada saat bank mengalami kerugian atau bangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uang mereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkan kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan tersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jika berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah sedikit.
Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah menganggap dirinya bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasa bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
"Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba," jelas al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Fatwa-fatwa Kontemporer" (Gema Insani Press).
Dalam hal ini Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." ( QS al-Baqarah : 278-279)
Menurut al-Qardhawi, yang dimaksud dengan tobat di sini ialah seseorang tetap pada pokok hartanya, dan berprinsip bahwa tambahan yang timbul darinya adalah riba.
Bunga-bunga sebagai tambahan atas pokok harta yang diperoleh tanpa melalui persekutuan atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan dagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan.
Al-Qardhawi mengakui Syaikh Syaltut berpendapat: "Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun darurat ijtima'iyah-- maka bolehlah dipungut bunga itu."
Menurut al-Qardhawi, dalam hal ini Syaikh Syaltut memperluas makna darurat melebihi yang semestinya. "San perluasan beliau ini tidak saya setujui," katanya. "Yang pernah beliau fatwakan juga ialah menabung di bank sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap tidak setuju dengan pendapat ini," lanjutnya.
Al-Qardhawi mengatakan Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok hartanya dengan hanya mengambil keuntungan. Apabila dia melakukan perkongsian, dia wajib memperoleh keuntungan begitupun kerugiannya.
"Kalau keuntungannya sedikit, maka dia berbagi keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan yang sama-sama memikul tanggung jawab," katanya.
Perbandingan perolehan keuntungan yang tidak wajar antara pemilik modal dengan pengelola --misalnya pengelola memperoleh keuntungan sebesar 80%-90% sedangkan pemilik modal hanya lima atau enam persen-- atau terlepasnya tanggung jawab pemilik modal ketika pengelola mengalami kerugian, maka cara seperti ini menyimpang dari sistem ekonomi Islam meskipun Syaih Syaltut pernah memfatwakan kebolehannya.
"Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan tidak boleh ia mengambil bunga bank, serta tidaklah memadai jika ia menzakati harta yang ia simpan di bank.
Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi kasus demikian? "Segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki dan wajib disedekahkan sebagaimana dikatakan para ulama muhaqqiq (ahli tahqiq)," jelasnya.
Sedangkan sebagian ulama yang wara' (sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya atau membuangnya ke laut. Dengan alasan, seseorang tidak boleh bersedekah dengan sesuatu yang jelek. "Tetapi pendapat ini bertentangan dengan kaidah syar'iyyah yang melarang menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya," ujar Al-Qardhawi.
Harta itu bolehlah diambil dan disedekahkan kepada fakir miskin, atau disalurkan pada proyek-proyek kebaikan atau lainnya yang oleh si penabung dipandang bermanfaat bagi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram itu bukanlah milik seseorang, uang itu bukan milik bank atau milik penabung, tetapi milik kemaslahatan umum.
Tidak Mensucikan
Demikianlah keadaan harta yang haram, tidak ada manfaatnya dizakati, karena zakat itu tidak dapat mensucikannya. Yang dapat mensucikan harta ialah mengeluarkan sebagian darinya untuk zakat. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari hasil korupsi." (HR Muslim)
Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, karena harta tersebut bukan milik orang yang memegangnya tetapi milik umum yang dikorupsi.
Oleh sebab itu, janganlah seseorang mengambil bunga bank untuk kepentingan dirinya, dan jangan pula membiarkannya menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi hendaklah ia mengambilnya dan menggunakannya pada jalan-jalan kebaikan.
Al-Qardhawi mengatakan sebagian orang ada yang mengemukakan alasan bahwa sesungguhnya seseorang yang menyimpan uang di bank juga memiliki risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugian dan pailit, misalnya karena sebab tertentu.
"Maka saya katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah, walaupun si penabung mengalami kerugian akibat dari kepailitan atau kebangkrutan tersebut, karena hal ini menyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan. Sebab tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam syariat Ilahi -demikian juga dalam undang-undang buatan manusia-- tidak boleh disandarkan kepada perkara-perkara yang ganjil dan jarang terjadi," kata Al-Qardhawi.
Baca Juga
Al-Qardhawi menjelaskan semua ulama telah sepakat bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan sebagai sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering terjadi dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya, kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah kulliyyah (kaidah umum).
Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank) dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa memiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami kerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan atau penyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
Boleh ada yang berkata, "Tetapi bank juga mengolah uang para nasabah, maka mengapa saya tidak boleh mengambil keuntungannya?"
Menurut Al-Qardhawi, betul bahwa bank memperdagangkan uang tersebut, tetapi apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu. Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi dengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikut menanggung apabila bank mengalami kerugian. Tetapi pada kenyataannya, pada saat bank mengalami kerugian atau bangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uang mereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkan kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan tersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jika berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah sedikit.
Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah menganggap dirinya bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasa bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
(mhy)