Kisah Kekecewaan Al-Asyari kepada Mutazilah dan 3 Kritik Kiai Masdar Farid Masudi
Sabtu, 17 Desember 2022 - 08:05 WIB
Mu'tazilah beranggapan bahwa akal manusia lebih baik dibandingkan tradisi. Oleh karena itu, penganut aliran ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur'an secara lebih bebas dibanding kebanyakan umat Islam. Menurut catatan sejarah yang pertama kali menyatakan kekecewaannya terhadap konsep teologi Mu'tazilah yang rasionalistik itu adalah Abu Ḥasan al-Asy'ari (874–936 M/260–324 H).
Pada suatu ketika, al-Asy'ari bertanya kepada guru besarnya, Abu 'Ali Muḥammad al-Jubba'i, yang adalah teolog Mu'tazilah terkemuka pada zamannya, tentang nasib seorang anak dan seorang dewasa yang sama-sama masuk surga karena imannya. Tapi, sesuai dengan keadilan Tuhan dalam persepsi Mu'tazilah, orang yang mati dewasa itu menempati kedudukan lebih tinggi dibanding kedudukan si anak.
"Mengapa harus begitu?" tanya Asy'ari.
"Karena yang dewasa telah sempat beramal kebaikan, sedang si anak belum," jawab Jubbaiy.
"Kenapa harus terjadi si anak tidak diberi usia yang cukup agar ia bisa berbuat kebaikan seperti temannya yang dewasa?" kejar Asy'ari.
"Tuhan tahu, jika si anak dibiarkan hidup, ia akan tumbuh menjadi manusia durhaka. Sementara Tuhan harus berbuat yang terbaik untuk manusia," kilah Jubbaiy.
"Kalau begitu," kejar Asy'ari lebih lanjut, "Bagaimana jika orang-orang yang dijebloskan dalam neraka protes, kenapa mereka tidak dimatikan saja ketika masih muda, hingga tak sempat tumbuh jadi manusia durhaka?"
Kiai Haji Masdar Farid Mas'udi dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab Telaah Kritis atas Teologi Mutazilah mengomentari ini menjelaskan yang menarik dari diskusi ini bukan saja al-Jubbaiy kehabisan akal menjawabnya, tapi seperti halnya Jubbaiy, Asy'ari pun juga menggunakan akal (logika) untuk mendukung argumentasinya.
Bedanya adalah bahwa Jubbaiy (Mu'tazilah) dengan logika akalnya bersikeras untuk mendefinisikan Tuhan menurut batas-batas manusia, sedang Asy'ari, juga dengan logika akalnya, justru ingin membebaskan-Nya tetap berada di atas batas-batas manusia tadi.
Kiai Masdar mengatakan kalau kritik al-Asy'ari itu adalah juga kritik kita kepada Mu'tazilah, maka kritik kita yang kedua adalah pada klaimnya sebagai telah menemukan kebenaran tunggal yang harus diterima semua pihak.
Sesungguhnyalah kritik ini tidak saja mengena pada Mu'tazilah, kata Kiai Masdar, tapi juga pada semua aliran teologi yang tumbuh pada masa-masa itu karena klaim yang sama. Hanya bedanya, bahwa Mu'tazilah mengaku telah menemukan kebenaran tunggal dan mutlak itu melalui logika akal, sedang lawan-lawannya mengaku menemukan kebenaran mutlak itu melalui huruf-huruf naqal.
Menurutnya, yang tersebut terakhir ini dengan sangat militan diwakili oleh golongan Khasywiyah yang mengaku menjadi pengikut Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H/855 M).
"Itulah sebabnya, salah satu ciri yang menonjol dari sejarah pemikiran keagamaan saat itu adalah kesembronoannya yang benar-benar diyakini dalam menuduh orang atau pihak lain sebagai kafir, syirik, murtad dan sejenisnya hanya lantaran pendapat yang berbeda," ujar Kiai Masdar.
Selanjutnya Kiai Masdar mengatakan untuk kasus Mu'tazilah sikap intoleransi ini ditindak lanjuti dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkarnya yang merisaukan banyak pihak yang menjadi lawan polemiknya.
Seperti diketahui, dengan dalih itu, Mu'tazilah telah melancarkan intrik terhadap orang lain untuk menerima doktrin-doktrin teologinya dan menimpakan hukuman atas siapa saja yang mencoba menolaknya.
Menurut Kiai Masdar, tragedi teologis ini dikenal dengan mihnah, atau inquition yang dilakukannya dengan dukungan tangan-tangan kekuasaan dan birokrasi pemerintahan yang karena alasan politik tertentu dapat dipengaruhinya.
Sementara itu, kritik yang ketiga, karena pada dasarnya Mu'tazilah lahir dari keprihatinan pada realitas teoritis bahkan yang berdimensi metafisik, maka isu-isu yang digelutinya pun hampir tak punya sentuhan yang bermakna bagi umat pada umumnya. "Kritik ini pun mengena pada aliran teologi lainnya, karena dasar keprihatinannya yang serupa," tutur Kiai Masdar.
Prinsip Ajaran
Kiai Masdar mengatakan salah satu prinsip ajaran yang dipropagandakan Mu'tazilah adalah tentang "keadilan" suatu isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu, terutama jika diingat praktik kesewenang-wenangan yang dilakukan kalangan penguasa. Tapi, lantaran dasar keprihatinannya yang elitis tadi, maka rupanya keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan lain (yang bersifat eskatologis) yang berkaitan dengan "peranan" Tuhan di hari kemudian.
Dalam kaitannya dengan persoalan keadilan yang dirasakan umat, kelompok Mu'tazilah ini justru bergandengan-tangan dengan rezim yang berkuasa untuk melakukan tindak sewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya.
"Mencoba konsisten dengan kerangka teori "niat" tersebut maka bagi saya, sistem pemikiran teologis atau apa saja atributnya yang relevan untuk dibangun, adalah yang benar-benar berangkat dari lapisannya paling bawah," ujar Kiai Masdar. "Dari dasar keprihatinannya ini, ia bisa disebut misalnya teologi populis, atau teologi kerakyatan," lanjutnya.
Sehingga kalau realitas yang menggugah keprihatinannya adalah soal keadilan, maka keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan Tuhan yang harus ditegakkan di "sana," tapi keadilan yang menjadi tanggung jawab manusia dalam kehidupan di "sini."
"Saya pikir, kalau teologi abad pertengahan seperti Mu'tazilah maupun lawan-lawannya yang mengabdi kepada kepentingan doktrin disebut teologi dialektik, maka sebutan yang sama pun bisa juga dikenakan pada teologi yang perlu kita kembangkan ini," katanya.
"Tapi kalau dialektika teologi yang mengabdi doktrin itu berwatak retorik --dialektika yang terjadi dalam proses penghadapan antagonis antara satu doktrin dengan doktrin yang lain-- maka dialektika teologi baru itu bersifat empiris --dialektika yang terjadi dari
proses penghadapan kritis antara realitas kehidupan dengan
pesan-pesan universal," jelasnya.
Dilihat dari sudut muaranya, ujar Kiai Masdar, beda antara teologi dialektika retorik di satu pihak dengan dialektika empiris di lain pihak, adalah yang tersebut pertama muaranya adalah pada terbangunnya kesesuaian realitas pemahaman dengan bunyi doktrin yang statis, sedang yang tersebut terakhir concernnya pada kesesuaian antara realitas kehidupan dengan semangat doktrin yang dinamis.
"Yang pertama berwatak formal dengan orientasi pada bentuk dan cenderung tertutup, sedang yang kedua berwatak substansial yang berorientasi pada substansi dan bersifat terbuka," katanya.
Dengan watak keterbukaannya, teologi dialektika empiris ini akan menerima perbedaan pendapat sebagai realitas kehidupan yang wajar. Justru dengan pendapat yang berbeda-beda itu, maka kemungkinan menemukan pilihan "yang terbaik" menjadi tersedia. Dengan demikian, teologi dialektika empiris ini secara vertikal berwatak populis, sedang secara horizontal berwatak demokratis; dua sisi yang selama ini seperti cenderung terpisah.
Pada suatu ketika, al-Asy'ari bertanya kepada guru besarnya, Abu 'Ali Muḥammad al-Jubba'i, yang adalah teolog Mu'tazilah terkemuka pada zamannya, tentang nasib seorang anak dan seorang dewasa yang sama-sama masuk surga karena imannya. Tapi, sesuai dengan keadilan Tuhan dalam persepsi Mu'tazilah, orang yang mati dewasa itu menempati kedudukan lebih tinggi dibanding kedudukan si anak.
"Mengapa harus begitu?" tanya Asy'ari.
"Karena yang dewasa telah sempat beramal kebaikan, sedang si anak belum," jawab Jubbaiy.
"Kenapa harus terjadi si anak tidak diberi usia yang cukup agar ia bisa berbuat kebaikan seperti temannya yang dewasa?" kejar Asy'ari.
"Tuhan tahu, jika si anak dibiarkan hidup, ia akan tumbuh menjadi manusia durhaka. Sementara Tuhan harus berbuat yang terbaik untuk manusia," kilah Jubbaiy.
"Kalau begitu," kejar Asy'ari lebih lanjut, "Bagaimana jika orang-orang yang dijebloskan dalam neraka protes, kenapa mereka tidak dimatikan saja ketika masih muda, hingga tak sempat tumbuh jadi manusia durhaka?"
Kiai Haji Masdar Farid Mas'udi dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab Telaah Kritis atas Teologi Mutazilah mengomentari ini menjelaskan yang menarik dari diskusi ini bukan saja al-Jubbaiy kehabisan akal menjawabnya, tapi seperti halnya Jubbaiy, Asy'ari pun juga menggunakan akal (logika) untuk mendukung argumentasinya.
Bedanya adalah bahwa Jubbaiy (Mu'tazilah) dengan logika akalnya bersikeras untuk mendefinisikan Tuhan menurut batas-batas manusia, sedang Asy'ari, juga dengan logika akalnya, justru ingin membebaskan-Nya tetap berada di atas batas-batas manusia tadi.
Kiai Masdar mengatakan kalau kritik al-Asy'ari itu adalah juga kritik kita kepada Mu'tazilah, maka kritik kita yang kedua adalah pada klaimnya sebagai telah menemukan kebenaran tunggal yang harus diterima semua pihak.
Sesungguhnyalah kritik ini tidak saja mengena pada Mu'tazilah, kata Kiai Masdar, tapi juga pada semua aliran teologi yang tumbuh pada masa-masa itu karena klaim yang sama. Hanya bedanya, bahwa Mu'tazilah mengaku telah menemukan kebenaran tunggal dan mutlak itu melalui logika akal, sedang lawan-lawannya mengaku menemukan kebenaran mutlak itu melalui huruf-huruf naqal.
Menurutnya, yang tersebut terakhir ini dengan sangat militan diwakili oleh golongan Khasywiyah yang mengaku menjadi pengikut Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H/855 M).
"Itulah sebabnya, salah satu ciri yang menonjol dari sejarah pemikiran keagamaan saat itu adalah kesembronoannya yang benar-benar diyakini dalam menuduh orang atau pihak lain sebagai kafir, syirik, murtad dan sejenisnya hanya lantaran pendapat yang berbeda," ujar Kiai Masdar.
Selanjutnya Kiai Masdar mengatakan untuk kasus Mu'tazilah sikap intoleransi ini ditindak lanjuti dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkarnya yang merisaukan banyak pihak yang menjadi lawan polemiknya.
Seperti diketahui, dengan dalih itu, Mu'tazilah telah melancarkan intrik terhadap orang lain untuk menerima doktrin-doktrin teologinya dan menimpakan hukuman atas siapa saja yang mencoba menolaknya.
Menurut Kiai Masdar, tragedi teologis ini dikenal dengan mihnah, atau inquition yang dilakukannya dengan dukungan tangan-tangan kekuasaan dan birokrasi pemerintahan yang karena alasan politik tertentu dapat dipengaruhinya.
Sementara itu, kritik yang ketiga, karena pada dasarnya Mu'tazilah lahir dari keprihatinan pada realitas teoritis bahkan yang berdimensi metafisik, maka isu-isu yang digelutinya pun hampir tak punya sentuhan yang bermakna bagi umat pada umumnya. "Kritik ini pun mengena pada aliran teologi lainnya, karena dasar keprihatinannya yang serupa," tutur Kiai Masdar.
Prinsip Ajaran
Kiai Masdar mengatakan salah satu prinsip ajaran yang dipropagandakan Mu'tazilah adalah tentang "keadilan" suatu isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu, terutama jika diingat praktik kesewenang-wenangan yang dilakukan kalangan penguasa. Tapi, lantaran dasar keprihatinannya yang elitis tadi, maka rupanya keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan lain (yang bersifat eskatologis) yang berkaitan dengan "peranan" Tuhan di hari kemudian.
Dalam kaitannya dengan persoalan keadilan yang dirasakan umat, kelompok Mu'tazilah ini justru bergandengan-tangan dengan rezim yang berkuasa untuk melakukan tindak sewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya.
"Mencoba konsisten dengan kerangka teori "niat" tersebut maka bagi saya, sistem pemikiran teologis atau apa saja atributnya yang relevan untuk dibangun, adalah yang benar-benar berangkat dari lapisannya paling bawah," ujar Kiai Masdar. "Dari dasar keprihatinannya ini, ia bisa disebut misalnya teologi populis, atau teologi kerakyatan," lanjutnya.
Sehingga kalau realitas yang menggugah keprihatinannya adalah soal keadilan, maka keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan Tuhan yang harus ditegakkan di "sana," tapi keadilan yang menjadi tanggung jawab manusia dalam kehidupan di "sini."
"Saya pikir, kalau teologi abad pertengahan seperti Mu'tazilah maupun lawan-lawannya yang mengabdi kepada kepentingan doktrin disebut teologi dialektik, maka sebutan yang sama pun bisa juga dikenakan pada teologi yang perlu kita kembangkan ini," katanya.
"Tapi kalau dialektika teologi yang mengabdi doktrin itu berwatak retorik --dialektika yang terjadi dalam proses penghadapan antagonis antara satu doktrin dengan doktrin yang lain-- maka dialektika teologi baru itu bersifat empiris --dialektika yang terjadi dari
proses penghadapan kritis antara realitas kehidupan dengan
pesan-pesan universal," jelasnya.
Dilihat dari sudut muaranya, ujar Kiai Masdar, beda antara teologi dialektika retorik di satu pihak dengan dialektika empiris di lain pihak, adalah yang tersebut pertama muaranya adalah pada terbangunnya kesesuaian realitas pemahaman dengan bunyi doktrin yang statis, sedang yang tersebut terakhir concernnya pada kesesuaian antara realitas kehidupan dengan semangat doktrin yang dinamis.
"Yang pertama berwatak formal dengan orientasi pada bentuk dan cenderung tertutup, sedang yang kedua berwatak substansial yang berorientasi pada substansi dan bersifat terbuka," katanya.
Dengan watak keterbukaannya, teologi dialektika empiris ini akan menerima perbedaan pendapat sebagai realitas kehidupan yang wajar. Justru dengan pendapat yang berbeda-beda itu, maka kemungkinan menemukan pilihan "yang terbaik" menjadi tersedia. Dengan demikian, teologi dialektika empiris ini secara vertikal berwatak populis, sedang secara horizontal berwatak demokratis; dua sisi yang selama ini seperti cenderung terpisah.
(mhy)