Makna Innamal A'malu Binniyat Menurut Masdar Farid Mas'udi
loading...
A
A
A
Kiai Haji Masdar Farid Mas’udi mengatakan dengan mengatakan innama 'l-a'malu bi'l-niyyat (amal ditentukan niatnya), maka sesungguhnya Nabi Muhammad SAW sedang berteori bagaimana suatu amal, harus dikritik atau, dalam bahasa manajemennya, dievaluasi. Niat, seperti diketahui, adalah kesadaran tentang tujuan suatu amal dilakukan.
Menurutnya amal berdimensi ganda. Pertama yang bersifat ke dalam dan personal, dan kedua yang bersifat keluar dan sosial.
"Tujuan amal yang bersifat 'ke dalam' landasannya adalah 'iman', sedang tujuan yang bersifat 'ke luar' landasannya adalah 'realitas kehidupan'," ujar Masdar Farid Mas’udi dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab Telaah Kritis atas Teologi Mutazilah.
Syahdan, kritik amal atas dasar niat yang bersifat ke dalam sama sekali bukan urusan kita. Itu adalah urusan Tuhan dan pribadi yang bersangkutan, dan waktunya, menurut agama, bukan di sini, di dunia ini, tapi di sana, di alam akhirat nanti.
Masdar mengatakan yang ada pada wewenang kita, sebagai makhluk sosial, adalah kritik atau evaluasi amal dari sudut niat (tujuan)nya yang bersifat "ke luar," yaitu mengapa dan dalam konteks sosial yang bagaimana suatu amal telah dilakukan.
Dalam hubungan ini, katanya, innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat akan berarti, amal itu diikat dan ditentukan oleh konteksnya, oleh realitas kehidupan yang mendorong kehadirannya.
Tak ada suatu amal yang muncul begitu saja lepas dari kaitan sebab akibat yang melingkupinya. Dan hanya dalam kaitan sebab akibat itulah suatu amal bisa dinilai, dikritik atau dievaluasi. Dengan menerima dasar penilaian atau kritik yang demikian ini, maka bisa dikemukakan beberapa acuan sebagai berikut.
Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amal pemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah, justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah juga bersifat relatif dan berubah.
Kedua, bobot dan relevansi suatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaian benar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih pada kenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yang diresponsnya.
Ketiga, karena setiap amal adalah respons terhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot dan relevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atas realitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisi realitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot dan relevansi pemikiran yang diresponinya.
Sementara itu, realitas yang menjadi pijakan amal pemikiran, dapat kita kelompokkan dalam dua kategori, yaitu realitas teoritik dan realitas empirik. Yang pertama adalah realitas yang terdapat dalam dunia ide yang dipikirkan.
Sedangkan yang kedua adalah realitas yang ada dalam dunia kenyataan yang dirasakan.
Menurut Masdar, memang, keduanya tak harus selalu terpisah; yang satu terhadap yang lain bisa saling pengaruh mempengaruhi. "Tapi yang saya maksudkan adalah, sebagian amal pemikiran benar-benar lahir dengan titik tolak keprihatinan pada realitas teoritis (baru kemudian, jika dirasa perlu, bergerak ke realitas empiris), sedang sebagian amal pemikiran yang lain, titik tolaknya adalah keprihatinan terhadap realitas empiris (baru kemudian realitas yang bersifat teoritis)," tulisnya.
Pemikiran kategori pertama, karena titik tolak keprihatinannya pada realitas abstrak dan umumnya terbatas hanya pada concern kalangan tertentu, maka dampak sosialnya pun cenderung abstrak dan terbatas pada kalangan tertentu saja.
Sebaliknya, pemikiran yang lahir dari keprihatinan pada realitas riil yang dirasakan orang banyak, dengan sendirinya, juga akan cenderung pada hal-hal yang konkrit yang bisa mengena pada kepentingan orang banyak.
Demikianlah, pemikiran katagori pertama, akan cenderung bercorak elitis, sedang yang kedua akan bercorak populis.
Menurutnya amal berdimensi ganda. Pertama yang bersifat ke dalam dan personal, dan kedua yang bersifat keluar dan sosial.
"Tujuan amal yang bersifat 'ke dalam' landasannya adalah 'iman', sedang tujuan yang bersifat 'ke luar' landasannya adalah 'realitas kehidupan'," ujar Masdar Farid Mas’udi dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab Telaah Kritis atas Teologi Mutazilah.
Syahdan, kritik amal atas dasar niat yang bersifat ke dalam sama sekali bukan urusan kita. Itu adalah urusan Tuhan dan pribadi yang bersangkutan, dan waktunya, menurut agama, bukan di sini, di dunia ini, tapi di sana, di alam akhirat nanti.
Masdar mengatakan yang ada pada wewenang kita, sebagai makhluk sosial, adalah kritik atau evaluasi amal dari sudut niat (tujuan)nya yang bersifat "ke luar," yaitu mengapa dan dalam konteks sosial yang bagaimana suatu amal telah dilakukan.
Dalam hubungan ini, katanya, innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat akan berarti, amal itu diikat dan ditentukan oleh konteksnya, oleh realitas kehidupan yang mendorong kehadirannya.
Tak ada suatu amal yang muncul begitu saja lepas dari kaitan sebab akibat yang melingkupinya. Dan hanya dalam kaitan sebab akibat itulah suatu amal bisa dinilai, dikritik atau dievaluasi. Dengan menerima dasar penilaian atau kritik yang demikian ini, maka bisa dikemukakan beberapa acuan sebagai berikut.
Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amal pemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah, justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah juga bersifat relatif dan berubah.
Kedua, bobot dan relevansi suatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaian benar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih pada kenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yang diresponsnya.
Ketiga, karena setiap amal adalah respons terhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot dan relevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atas realitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisi realitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot dan relevansi pemikiran yang diresponinya.
Sementara itu, realitas yang menjadi pijakan amal pemikiran, dapat kita kelompokkan dalam dua kategori, yaitu realitas teoritik dan realitas empirik. Yang pertama adalah realitas yang terdapat dalam dunia ide yang dipikirkan.
Sedangkan yang kedua adalah realitas yang ada dalam dunia kenyataan yang dirasakan.
Menurut Masdar, memang, keduanya tak harus selalu terpisah; yang satu terhadap yang lain bisa saling pengaruh mempengaruhi. "Tapi yang saya maksudkan adalah, sebagian amal pemikiran benar-benar lahir dengan titik tolak keprihatinan pada realitas teoritis (baru kemudian, jika dirasa perlu, bergerak ke realitas empiris), sedang sebagian amal pemikiran yang lain, titik tolaknya adalah keprihatinan terhadap realitas empiris (baru kemudian realitas yang bersifat teoritis)," tulisnya.
Baca Juga
Pemikiran kategori pertama, karena titik tolak keprihatinannya pada realitas abstrak dan umumnya terbatas hanya pada concern kalangan tertentu, maka dampak sosialnya pun cenderung abstrak dan terbatas pada kalangan tertentu saja.
Sebaliknya, pemikiran yang lahir dari keprihatinan pada realitas riil yang dirasakan orang banyak, dengan sendirinya, juga akan cenderung pada hal-hal yang konkrit yang bisa mengena pada kepentingan orang banyak.
Demikianlah, pemikiran katagori pertama, akan cenderung bercorak elitis, sedang yang kedua akan bercorak populis.
(mhy)