Zakat Tak Ada Kaitannya dengan Pemerataan, Begini Penjelasan Kiai Masdar Masudi
Senin, 19 Desember 2022 - 05:15 WIB
Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusi kekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yang dimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yang diperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka yang tak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentingan bersama.
Seyogyanyalah pengalihan itu dilaksanakan kalangan berada atas kesadaran mereka sendiri. Tapi karena manusia mengidap nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiran lembaga yang memiliki kewenangan memaksa untuk melakukan pengalihan itu pun menjadi tak terelakkan.
Lembaga itu, yang dalam realitas sosiologis memuncak pada apa yang dikenal dengan negara (state), dari sudut moral memang merupakan anomali.
Tapi lembaga anomali tersebut perlu justru untuk menjadi penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia, yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi.
Di sinilah persoalannya, lembaga negara yang secara moral hanya bisa dijustified sepanjang berfungsi sebagai racun penawar terhadap kerakusan duniawi masyarakat manusia (yang kuat), dalam sejarahnya justru cenderung memainkan peran terbalik.
Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti sistem hukum dan perundang-undangan) maupun yang keras (seperti satelit pengintai dan senjata rudalnya) seringkali menjadi alat bagi kepentingan "penyakit keduniaan" yang seharusnya dinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti apabila pernah muncul suatu obsesi dalam sejarah pemikiran manusia yang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang disebut lembaga negara itu tak usah ada lagi.
Ajaran Nabi Isa secara implisit ingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx, 18 abad kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya.
"Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara telah lenyap berikut seluruh akar-akarnya," ujar Kiai Masdar.
Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajak sedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaan seperti tersebut di atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggi yang disebut dengan pajak progresif. Tapi persoalannya, setelah pajak yang tinggi itu ditarik dari masyarakat wajib pajak, apakah memang kemudian ditasarufkan untuk mengangkat kehidupan mereka yang tak punya dan untuk kemaslahatan semua pihak?
Inilah persoalan dasar, siapa yang sebenarnya paling diuntungkan oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara, atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini?
Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negara yang dikelola secara otoriter, atau semi otoriter, seperti yang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga terhadap negara-negara lain yang mengaku berjalan secara demokratis, seperti Amerika dan negara-negara Barat.
Memang lebih gila lagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolut zaman dulu. Apabila negara di zaman modern sudah mulai melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya dalam menentukan penggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarki absolut memandang kewenangan pengalokasian uang pajak (upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja.
Tapi ya itu tadi, kata Kiai Masdar, dengan peranan lembaga perwakilan rakyat dalam tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uang pajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasan rakyat lemah.
Dimulai dari pembebasan di bidang ekonomi, kemudian menyusul bidang-bidang kehidupan lain yang lebih sublim, politik dan budaya.
Penjelasannya sederhana, di negara-negara Timur yang paternalistik, keberadaan lembaga perwakilan rakyat umumnya hanya merupakan permainan politik kalangan elite penguasa. Lembaga Perwakilan Rakyat hanyalah sekadar "nama dan proforma". Kesadaran dan perilaku mereka tetaplah untuk mengelabui rakyat bagi kepentingan para penguasa yang mengatur keberadaan mereka.
"Lembaga Perwakilan Rakyat di negara-negara Timur yang paternalistik, pada hakikatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa," tuturnya.
Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensi lembaga perwakilan rakyat dengan penguasa (baca: eksekutif) memang cukup kuat. Tapi hal itu tetap bukan (belum?) dalam rangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentingan rakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata.
Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagi sepenuhnya milik penguasa (kaum bangsawan, aristokrat, baik secara keturunan maupun SK jabatan seperti di Timur). Tapi juga belum berarti telah kembali pada pemiliknya yang sah, yaitu rakyat keseluruhan yang dimulai dari lapisannya yang paling jelata.
Seyogyanyalah pengalihan itu dilaksanakan kalangan berada atas kesadaran mereka sendiri. Tapi karena manusia mengidap nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiran lembaga yang memiliki kewenangan memaksa untuk melakukan pengalihan itu pun menjadi tak terelakkan.
Lembaga itu, yang dalam realitas sosiologis memuncak pada apa yang dikenal dengan negara (state), dari sudut moral memang merupakan anomali.
Tapi lembaga anomali tersebut perlu justru untuk menjadi penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia, yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi.
Di sinilah persoalannya, lembaga negara yang secara moral hanya bisa dijustified sepanjang berfungsi sebagai racun penawar terhadap kerakusan duniawi masyarakat manusia (yang kuat), dalam sejarahnya justru cenderung memainkan peran terbalik.
Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti sistem hukum dan perundang-undangan) maupun yang keras (seperti satelit pengintai dan senjata rudalnya) seringkali menjadi alat bagi kepentingan "penyakit keduniaan" yang seharusnya dinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti apabila pernah muncul suatu obsesi dalam sejarah pemikiran manusia yang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang disebut lembaga negara itu tak usah ada lagi.
Ajaran Nabi Isa secara implisit ingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx, 18 abad kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya.
"Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara telah lenyap berikut seluruh akar-akarnya," ujar Kiai Masdar.
Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajak sedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaan seperti tersebut di atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggi yang disebut dengan pajak progresif. Tapi persoalannya, setelah pajak yang tinggi itu ditarik dari masyarakat wajib pajak, apakah memang kemudian ditasarufkan untuk mengangkat kehidupan mereka yang tak punya dan untuk kemaslahatan semua pihak?
Inilah persoalan dasar, siapa yang sebenarnya paling diuntungkan oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara, atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini?
Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negara yang dikelola secara otoriter, atau semi otoriter, seperti yang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga terhadap negara-negara lain yang mengaku berjalan secara demokratis, seperti Amerika dan negara-negara Barat.
Memang lebih gila lagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolut zaman dulu. Apabila negara di zaman modern sudah mulai melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya dalam menentukan penggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarki absolut memandang kewenangan pengalokasian uang pajak (upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja.
Tapi ya itu tadi, kata Kiai Masdar, dengan peranan lembaga perwakilan rakyat dalam tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uang pajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasan rakyat lemah.
Dimulai dari pembebasan di bidang ekonomi, kemudian menyusul bidang-bidang kehidupan lain yang lebih sublim, politik dan budaya.
Penjelasannya sederhana, di negara-negara Timur yang paternalistik, keberadaan lembaga perwakilan rakyat umumnya hanya merupakan permainan politik kalangan elite penguasa. Lembaga Perwakilan Rakyat hanyalah sekadar "nama dan proforma". Kesadaran dan perilaku mereka tetaplah untuk mengelabui rakyat bagi kepentingan para penguasa yang mengatur keberadaan mereka.
"Lembaga Perwakilan Rakyat di negara-negara Timur yang paternalistik, pada hakikatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa," tuturnya.
Baca Juga
Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensi lembaga perwakilan rakyat dengan penguasa (baca: eksekutif) memang cukup kuat. Tapi hal itu tetap bukan (belum?) dalam rangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentingan rakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata.
Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagi sepenuhnya milik penguasa (kaum bangsawan, aristokrat, baik secara keturunan maupun SK jabatan seperti di Timur). Tapi juga belum berarti telah kembali pada pemiliknya yang sah, yaitu rakyat keseluruhan yang dimulai dari lapisannya yang paling jelata.