Zakat Tak Ada Kaitannya dengan Pemerataan, Begini Penjelasan Kiai Masdar Masudi

Senin, 19 Desember 2022 - 05:15 WIB
Di Barat negara dengan seluruh soko gurunya (eksekutif, legislatif maupun judikatif), sudah berada di tangan rakyat, tapi baru yang ada di lapisan menengah dan terutama lapisan atas.

Mereka yang ada di lapisan bawah, yang justru merupakan pemilik utama sebutan "rakyat" kapan saja ia diucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara.

Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas, misalnya, dalam alokasi penggunaan dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yang paling besar dari dana itu diperuntukkan untuk melindungi atau melayani kepentingan kelas menengah ke atas. Apakah melalui sektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demi kepentingan nasional mereka, atau melalui sektor pembangunan sarana-sarana mana yang diperuntukkan utamanya bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke atas.

Kiai Masdar mengatakan memang ada drama yang menarik, dan bisa mengelabui banyak orang, seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telah menempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat sejati, kaum lemah dan melarat.

Drama itu pementasannya di masyarakat bangsa negara-negara Timur yang umumnya miskin dan lemah.

Setiap kali bencana dan musibah terjadi di masyarakat dunia Timur, negara-negara Barat segera menunjukkan kedermawanannya (charity). Lebih dari itu, apabila negara-negara Timur yang miskin itu memerlukan perbaikan ekonomi, mereka siap menawarkan bantuannya. Baik yang berupa hibah (grant) maupun yang berupa pinjaman (loan).



Menurut Kiai Masdar, akibat permainan drama kolosal ini, banyak orang terhegemoni untuk meyakini bahwa Barat memang teladan dunia; sistem kenegaraan/pemerintahan yang liberal-kapitalistik memang merupakan pilihan sejarah terbaik dan terakhir.

Padahal, jika dilihat sedikit lebih kritis, akan segera tampak pada kita bahwa apa yang diperbuat negara-negara Barat tetaplah demi kepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan rakyat dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka (negara-negara Barat), seperti disebutkan di atas adalah kepentingan kelompok yang mengontrol roda kenegaraan atau pemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang secara politik mengendalikan jalannya pemerintahan itu sendiri dan kalangan para kaya kapitalis, selaku cukongnya.

Tak Sampai ke Alamat

Sampai titik ini sebenarnya telah jelas bagi kita bahwa, sekurang-kurangnya dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakat bukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur pemikiran kenegaraan, lebih-lebih kenegaraan modern. Dengan pranata pajaknya ide zakat (bahwa yang kuat harus menanggung beban) sudah banyak dilaksanakan oleh hampir semua negara di zaman ini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi.

Hanya masalahnya, bahwa beban yang ditimpakan kepada mereka yang punya, yakni beban pajak, ternyata digelapkan oleh negara sehingga tak sampai ke alamat (mustahiq) yang semestinya.

Di dunia Timur yang feodalistik, dana pajak yang dikenakan atas orang-orang kaya dibelokkan pentasarufannya untuk kepentingan para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

Sementara di Barat yang liberal-kapitalistik, dana pajak yang semestinya diprioritaskan pentasarufannya untuk memperkuat yang lemah, diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yang sudah kuat, yakni kaum kapitalis dan tentu saja para elite politik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya.

Dengan kata lain, kata Kiai Masdar, persoalan pokok dalam topik redistribusi kekayaan (asset) untuk pemerataan, dan kemudian keadilan sosial dalam tatarannya yang lebih luas, agaknya tak lagi terutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan tak ada masalah sama sekali. Nafsu kerakusan mereka untuk mengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak lagi, jelas merupakan persoalan yang tetap serius bagi ide pemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa dalam kerakusannya mereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian dari kekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan pokok tak lagi sepenuhnya di tangan mereka.

"Persoalan pokok itu kini jelas terutama ada di pihak apa yang kita sebut lembaga negara. Karena dia (lembaga negara)-lah yang berbuat selingkuh. So, what?" ujar Kiai Masdar.



Menuruti obsesi Marx bahwa lembaga negara mesti dienyahkan atau pengingkaran Isa as terhadap lembaga itu rasa-rasanya tak realistik.

Negara, apalagi dalam pengertian yang lebih luas sebagai lembaga permufakatan kolektif, betapa pun konyolnya tidaklah mungkin dihindari.

Mengingkari lembaga negara untuk semangat (ruh) kolektivitas manusia hukumnya sama belaka dengan mengingkari badan bagi ruh individualitas manusia. Seperti halnya badan (kecil), negara sebagai badan besar pun mengidap nafsu-nafsu (interests) negatif duniawi yang selalu cenderung memperalat dirinya.
Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
خُذِ الۡعَفۡوَ وَاۡمُرۡ بِالۡعُرۡفِ وَاَعۡرِضۡ عَنِ الۡجٰهِلِيۡنَ
Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.

(QS. Al-A'raf Ayat 199)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More