Kisah Anggota Nation of Islam Johnny Lee X Mencari Tuhan
Selasa, 20 Desember 2022 - 05:15 WIB
Steven Barbosa dalam bukunya berjudul American Jihad, Islam After Malcolm X menyebutkan Johnny Lee X adalah bekas pengawal Malcolm X. Dia memeluk Islam, meninggalkan Nation, kemudian bergabung kembali.
"Dia tampan, rapi, mengenakan pakaian dari wol, dasi kupu-kupu, jaket kulit hitam yang panjang --gambaran seorang yang sehat dan gagah dalnm usia enam puluh tujuh tahun di restoran Seaman's Net di pusat kota Harlem," tutur Barbosa.
Berikut adalah penuturan Johnny Lee X tentang dirinya sebagaimana dinukil dalam buku yang diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" (Mizan, 1995)
Saya kira, saya sedang mencari Tuhan. Saya pergi ke gereja Holy Roller. Lucu sekali, saya geli melihat mereka. Mereka berbaring di atas sebuah matras yang digelar di lantai dan mereka berguling-guling ke sekeliling ruang. Mereka menendang-nendang sambil berteriak-teriak.
Mereka memiliki sebuah pipa asap kompor yang sudah usang, dan mereka pukul-pukul pipa itu hingga hancur berkeping-keping. Saya berkata dalam hati, "Wah, ini tidak mungkin ajaran yang benar."
Seorang wanita gendut berteriak sambil melompat-lompat dan dia terjatuh menimpa seorang rekannya dan dia menarik pisaunya. Saya berkata, "Saya yakin ini tidak benar."
Saya tertawa. Kemudian seseorang berkata, "Buka pintu." Dia memegang kerah saya dan membawa saya keluar.
Saya bilang, "Oh, tidak apa-apa."
Kemudian pada suatu hari saya berjalan di New York dan saya melihat tanda yang bertuliskan: MUHAMMAD TELAH DATANG.
Saya berkata, "Nama yang aneh. Nama siapa itu?" Mengapa saya tidak mencari tahu?
Saya datang ke sana. Saya melihat anak-anak muda ini. Mereka semua mengenakan dasi dan begitu disiplin. Saya berkata, "Mungkin inilah yang selama ini saya cari."
Ketika melihat Yang Mulia Elijah Muhammad dan mendengar mereka berbicara, saya segera mengetahui inilah yang saya cari.
Saya berkata, "Saya belum pernah mendengar orang membicarakan topik seperti ini."
Mereka sedang membicarakan tentang masyarakat kulit putih!
Saya berkata, "Saya tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan mereka."
Kemudian dia bertanya siapa yang percaya pada ajarannya --mohon berdiri. Saya tidak langsung berdiri saat itu; saya hanya mendengarkan, pulang ke rumah, dan mempelajarinya.
Kemudian pada kesempatan berikutnya saya pergi untuk mendengarkan mereka mengajar di Rockland Palace. Saya bersyahadat dan memeluk agama Islam. Itu terjadi pada 1959.
Saya harus menulis sebuah surat. Para muallaf di Nation of Islam diharuskan melepas nama keluarga mereka dan menggantinya dengan "X". Hal itu menyimbolkan ditinggalkannya nama budak dan kebangkitan kembali masyarakat kulit hitam. Hal ini hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin tertulis dari Yang Mulia Elijah Muhammad. Surat harus ditulis dengan jelas sekali.
Surat saya yang pertama tidak dibalas. Saya menulis enam atau tujuh surat. Tetapi hal itu membuat saya semakin bertekad untuk dapat meloloskan surat itu.
Seorang rekan wanita memberitahu saya, "Jika kami meluluskan kamu, engkau harus dapat berbicara dengan orang dari segala lapisan, dengan orang dari kalangan bawah sampai ke Presiden." Dengan kata lain, mereka membuat saya menjadi orang bijaksana.
Saya mulai melakukan sholat. Kemudian saya dapat merasakan hidup saya berubah. Orang-orang membicarakan agama, tetapi saya melaksanakannya. Saya berhenti merokok, saya berhenti makan babi, dan mulai menjalankan sholat lima kali sehari.
Sebuah surat yang memberinya gelar "X" datang pada 24 Oktober 1959.
Setelah mendapatkan gelar "X", saya kembali ke kota asal saya dan terlibat dalam perdebatan dengan paman saya. Hingga ayam berkokok keesokan harinya, kami masih berdebat tentang siapakah iblis itu sebenarnya, mengapa kami ada di sini dan siapakah kami. Mereka tidak pernah mendengar pembicaraan seperti itu.
Paman saya berkata, "Kita tidak dapat berbuat apa-apa."
Saya datang ke 116th Street dan untuk pertama kalinya saya bertemu dengan Malcolm. Saya melihat dia berjalan sambil menjinjing tas kopernya. Saya bertanya, "Siapa itu?"
Seseorang berkata, "Itu Malcolm X. Anda tidak pernah mendengarnya?"
Saya berkata, "Tidak."
Dia berkata, "Orang itu jahat."
Saat itu dia berdiri di mimbar dan mulai berpidato.
Saya berkata, "Wooooooo, orang ini dapat bicara."
Saya banyak bergaul dengan Malcolm. Dia tidak pernah memeluk Anda seperti yang dilakukan Farrakhan, pimpinan Nation of Islam yang telah diperbarui.
Dia adalah orang yang sangat keras. Anda tidak dapat berbuat bebas di hadapannya seperti terhadap Farrakhan. Bersama Malcolm, seorang rekan wanita dapat berbicara dengan saya, dan saya sangat takut sekalipun hanya untuk menatapnya pada hari Kebangkitan Pertama. (Anggota Nation of Islam yang sekarang menyebut Nation pada masa Elijah Muhammad sebagai Kebangkitan Pertama).
Saya berada di dekatnya, untuk meyakinkan tidak ada orang asing yang mendekatinya. Kami mengadakan ceramah di 125th Street, di mana sekarang berdiri State Building. Salah seorang hadirin terlihat membawa sesuatu yang menonjol di sakunya. Kami kira itu sebuah senjata. Kami segera bersiaga untuk mendepaknya keluar dari planet ini.
Kami bersiap-siap untuk mengadakan pertemuan di kota. Tetapi ketika John F. Kennedy terbunuh, Yang Mulia Elijah Muhammad membatalkan pertemuan. Malcolm berkata kepadanya bahwa dia telah menghabiskan uang untuk pertemuan itu dan kami tidak bisa mendapatkannya kembali.
Saya tawarkan diri untuk menyelenggarakan pertemuan itu. Sang Utusan berkata, jika engkau melaksanakannya, jangan menyebut-nyebut soal Presiden. Jangan katakan sesuatu tentang Presiden.
Pertemuan itu berjalan lancar. Saya berdiri tepat di hadapan Malcolm. Persis sebelum pertemuan berakhir, seseorang bertanya tentang terbunuhnya Presiden. Malcolm berkata, "Itu seperti seekor ayam yang kembali ke kandang untuk mengeram. Hal itu tidak pernah membuat saya bersedih; bahkan selalu membuat saya gembira." Dan itulah akhir dari pertemuan tersebut.
Malam harinya radio memberitakan bahwa Menteri menyingkirkan Malcolm karena pernyataan itu. Dia dikucilkan selama sembilan puluh hari. Bukannya menjalani masa pengasingannya selama sembilan puluh hari dan menjadi dingin serta menjauh dari pusat perhatian, Malcolm justru diketahui pergi ke Florida dan tampil di seluruh stasiun televisi. Jadi dia dikucilkan untuk jangka waktu yang tidak terbatas dan kemudian memulai usahanya sendiri.
Saya datang ke masjid setelah dia dikucilkan. Keadaan di situ sedang kacau.
Saya bertanya, "Apa yang terjadi?"
Mereka berkata, "Kami akan mengikuti Malcolm. Engkau sendiri bagaimana?"
Saya berkata, "Terlalu banyak masalah di sini. Saya tidak akan pergi sebelum semua persoalan terselesaikan."
Saya tahu bahwa Yang Mulia Elijah Muhammad adalah pengarang ajaran ini. Saya tidak dapat pergi begitu saja dan mengikutinya, walaupun saya mencintainya.
Ketika Malcolm ditembak mereka mengutus saya pergi untuk suatu urusan. Tepat ketika saya sampai di sekretariat 116th Street, Edward X berlari keluar dan berkata, "Ayo kita pergi ke Audubon. Malcolm baru saja dibunuh!"
Saya kaget, "Apa!" '
Kami masuk ke dalam mobil. Kami lihat banyak orang masih berkeliaran di situ. Kami mengitari daerah itu dan kemudian kembali ke 116th Street.
Saya sangat terkejut. Saya benar-benar tidak dapat mempercayai hal itu akan terjadi. Saya masih sedih ketika memikirkan hal itu. Kami semua mencintainya. Saya dapat mengingat ucapan Malcolm kata demi kata. Saya masih memiliki catatan tentang hal-hal yang diajarkannya.
Ketika Malcolm baru terbunuh, mereka melihat enam truk orang Muslim menuju ke Chicago. Mereka menemui Elijah Muhammad. Penjualan koran-koran melonjak tinggi. Hanya itulah yang Anda dengar lewat berita.
Saya sangat ingin menghadiri pemakaman Malcolm. Tetapi saya tidak ingin terlibat dalam hubungan yang buruk dengan Nation.
Saya melihat banyak rekan yang dulunya sama-lama di Nation. Mereka telah menyimpang jauh. Setelah 1975 saya mulai menyimpang sedikit. Saya mulai merokok sedikit. Saya tidak pernah lagi makan babi. Tetapi sesekali saya minum sedikit untuk ramah-tamah. Tetapi kemudian ketika saya mendengar menteri (Louis Farrakhan) akan mengajar, saya berkata, "Di mana?" Saya menghentikan semua kelakuan itu.
Malcolm senantiasa meramalkan bahwa Wallace (Warith D. Mohammed) akan melakukan sebuah tindakan yang luar biasa, karena namanya diambil dari nama Master Farad. Ketika Elijah Muhammad wafat, saya pikir Farrakhan akan mengambil alih.
Mungkin akan terjadi pertumpahan darah saat itu. Banyak rekan yang hampir terbunuh karena sebagian ingin mengikuti Farrakhan, sebagian lainnya ingin mengikuti Wallace.
Saya bingung dengan cara Wallace mengajar. Dia menanggalkan seragam kami dan membubarkan FOI. Dia mulai mengajak orang kulit putih bergabung dengan Nation.
Saya bilang, "Hai, apa yang dia lakukan?"
Ajaran Wallace bagi saya sama dampaknya dengan yang diajarkan oleh gereja Kristen. Saya dulu sering tertidur ketika pendeta berpidato. Saya berdiri di sana dan mendengarkannya berkhutbah dan ketika saya pikir pendeta akan mengatakan siapa Tuhan itu, dia berhenti dan mulai bernyanyi. Saya berkata, "Apa yang dibicarakannya!"
Sebenarnya tidak ada yang perlu dilakukan. Tidak ada lagi yang perlu dicari. Ketika saya mendengar ajaran itu lagi, saya tahu itulah yang saya cari. Dahulu saya begitu bahagia. Ketika saya mendengar Farrakhan mengajar lagi, saya menangis.
Anda lihat, saya hidup di dua sisi mata uang. Sekarang saya mendapat kesempatan untuk hidup di sisi yang baik.
Saya dahulu menembak, membantai. Ketika saya sedang "marah" saya selalu membawa senjata. Saya mulai membawa senjata lagi setelah keluar dari Nation.
Saya hanya berpikir ada sesuatu "di dalam" diri saya dengan membawa pistol --dan sebuah pisau bertangkai hitam. Saya pikir jika pistol saya macet, ada sebilah pisau untuk melindungi saya.
Ketika saya masih kecil di Virginia, saya biasa pergi ke tempat-tempat yang paling keras. Saya menyebutnya dengan Ember Darah. Saya pikir itu karena mereka memakan makanan yang buruk, lalu menjadi panas, dan ingin berkelahi. Tetapi sekarang, saya tidak akan melukai siapa pun. Saya kira saya tidak tega dan tidak mampu menyakiti seseorang. Saya tidak memiliki naluri untuk membunuh.
Sekarang, saya tidak memiliki senjata. Hanya satu yang saya yakini akan melindungi saya, Allah. Jika saya harus mati, saya rasa itu memang waktunya bagi saya untuk mati.
Farrakhan banyak mengingatkan saya pada Malcolm. Kami menyebut diri kami Nation of Islam baru. Kebangkitan Pertama adalah bersama Elijah Muhammad, dan Kebangkitan Kedua bersama Farrakhan. Itu hanyalah perubahan komando, hanya itu.
Sejak saya kembali kepada Nation, saya menjadi letnan. Mereka bilang banyak kisah yang harus saya sampaikan.
"Dia tampan, rapi, mengenakan pakaian dari wol, dasi kupu-kupu, jaket kulit hitam yang panjang --gambaran seorang yang sehat dan gagah dalnm usia enam puluh tujuh tahun di restoran Seaman's Net di pusat kota Harlem," tutur Barbosa.
Berikut adalah penuturan Johnny Lee X tentang dirinya sebagaimana dinukil dalam buku yang diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" (Mizan, 1995)
Saya kira, saya sedang mencari Tuhan. Saya pergi ke gereja Holy Roller. Lucu sekali, saya geli melihat mereka. Mereka berbaring di atas sebuah matras yang digelar di lantai dan mereka berguling-guling ke sekeliling ruang. Mereka menendang-nendang sambil berteriak-teriak.
Mereka memiliki sebuah pipa asap kompor yang sudah usang, dan mereka pukul-pukul pipa itu hingga hancur berkeping-keping. Saya berkata dalam hati, "Wah, ini tidak mungkin ajaran yang benar."
Seorang wanita gendut berteriak sambil melompat-lompat dan dia terjatuh menimpa seorang rekannya dan dia menarik pisaunya. Saya berkata, "Saya yakin ini tidak benar."
Saya tertawa. Kemudian seseorang berkata, "Buka pintu." Dia memegang kerah saya dan membawa saya keluar.
Saya bilang, "Oh, tidak apa-apa."
Kemudian pada suatu hari saya berjalan di New York dan saya melihat tanda yang bertuliskan: MUHAMMAD TELAH DATANG.
Saya berkata, "Nama yang aneh. Nama siapa itu?" Mengapa saya tidak mencari tahu?
Saya datang ke sana. Saya melihat anak-anak muda ini. Mereka semua mengenakan dasi dan begitu disiplin. Saya berkata, "Mungkin inilah yang selama ini saya cari."
Ketika melihat Yang Mulia Elijah Muhammad dan mendengar mereka berbicara, saya segera mengetahui inilah yang saya cari.
Saya berkata, "Saya belum pernah mendengar orang membicarakan topik seperti ini."
Mereka sedang membicarakan tentang masyarakat kulit putih!
Saya berkata, "Saya tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan mereka."
Kemudian dia bertanya siapa yang percaya pada ajarannya --mohon berdiri. Saya tidak langsung berdiri saat itu; saya hanya mendengarkan, pulang ke rumah, dan mempelajarinya.
Kemudian pada kesempatan berikutnya saya pergi untuk mendengarkan mereka mengajar di Rockland Palace. Saya bersyahadat dan memeluk agama Islam. Itu terjadi pada 1959.
Saya harus menulis sebuah surat. Para muallaf di Nation of Islam diharuskan melepas nama keluarga mereka dan menggantinya dengan "X". Hal itu menyimbolkan ditinggalkannya nama budak dan kebangkitan kembali masyarakat kulit hitam. Hal ini hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin tertulis dari Yang Mulia Elijah Muhammad. Surat harus ditulis dengan jelas sekali.
Surat saya yang pertama tidak dibalas. Saya menulis enam atau tujuh surat. Tetapi hal itu membuat saya semakin bertekad untuk dapat meloloskan surat itu.
Seorang rekan wanita memberitahu saya, "Jika kami meluluskan kamu, engkau harus dapat berbicara dengan orang dari segala lapisan, dengan orang dari kalangan bawah sampai ke Presiden." Dengan kata lain, mereka membuat saya menjadi orang bijaksana.
Saya mulai melakukan sholat. Kemudian saya dapat merasakan hidup saya berubah. Orang-orang membicarakan agama, tetapi saya melaksanakannya. Saya berhenti merokok, saya berhenti makan babi, dan mulai menjalankan sholat lima kali sehari.
Sebuah surat yang memberinya gelar "X" datang pada 24 Oktober 1959.
Setelah mendapatkan gelar "X", saya kembali ke kota asal saya dan terlibat dalam perdebatan dengan paman saya. Hingga ayam berkokok keesokan harinya, kami masih berdebat tentang siapakah iblis itu sebenarnya, mengapa kami ada di sini dan siapakah kami. Mereka tidak pernah mendengar pembicaraan seperti itu.
Paman saya berkata, "Kita tidak dapat berbuat apa-apa."
Saya datang ke 116th Street dan untuk pertama kalinya saya bertemu dengan Malcolm. Saya melihat dia berjalan sambil menjinjing tas kopernya. Saya bertanya, "Siapa itu?"
Seseorang berkata, "Itu Malcolm X. Anda tidak pernah mendengarnya?"
Saya berkata, "Tidak."
Dia berkata, "Orang itu jahat."
Saat itu dia berdiri di mimbar dan mulai berpidato.
Saya berkata, "Wooooooo, orang ini dapat bicara."
Saya banyak bergaul dengan Malcolm. Dia tidak pernah memeluk Anda seperti yang dilakukan Farrakhan, pimpinan Nation of Islam yang telah diperbarui.
Dia adalah orang yang sangat keras. Anda tidak dapat berbuat bebas di hadapannya seperti terhadap Farrakhan. Bersama Malcolm, seorang rekan wanita dapat berbicara dengan saya, dan saya sangat takut sekalipun hanya untuk menatapnya pada hari Kebangkitan Pertama. (Anggota Nation of Islam yang sekarang menyebut Nation pada masa Elijah Muhammad sebagai Kebangkitan Pertama).
Saya berada di dekatnya, untuk meyakinkan tidak ada orang asing yang mendekatinya. Kami mengadakan ceramah di 125th Street, di mana sekarang berdiri State Building. Salah seorang hadirin terlihat membawa sesuatu yang menonjol di sakunya. Kami kira itu sebuah senjata. Kami segera bersiaga untuk mendepaknya keluar dari planet ini.
Kami bersiap-siap untuk mengadakan pertemuan di kota. Tetapi ketika John F. Kennedy terbunuh, Yang Mulia Elijah Muhammad membatalkan pertemuan. Malcolm berkata kepadanya bahwa dia telah menghabiskan uang untuk pertemuan itu dan kami tidak bisa mendapatkannya kembali.
Saya tawarkan diri untuk menyelenggarakan pertemuan itu. Sang Utusan berkata, jika engkau melaksanakannya, jangan menyebut-nyebut soal Presiden. Jangan katakan sesuatu tentang Presiden.
Pertemuan itu berjalan lancar. Saya berdiri tepat di hadapan Malcolm. Persis sebelum pertemuan berakhir, seseorang bertanya tentang terbunuhnya Presiden. Malcolm berkata, "Itu seperti seekor ayam yang kembali ke kandang untuk mengeram. Hal itu tidak pernah membuat saya bersedih; bahkan selalu membuat saya gembira." Dan itulah akhir dari pertemuan tersebut.
Baca Juga
Malam harinya radio memberitakan bahwa Menteri menyingkirkan Malcolm karena pernyataan itu. Dia dikucilkan selama sembilan puluh hari. Bukannya menjalani masa pengasingannya selama sembilan puluh hari dan menjadi dingin serta menjauh dari pusat perhatian, Malcolm justru diketahui pergi ke Florida dan tampil di seluruh stasiun televisi. Jadi dia dikucilkan untuk jangka waktu yang tidak terbatas dan kemudian memulai usahanya sendiri.
Saya datang ke masjid setelah dia dikucilkan. Keadaan di situ sedang kacau.
Saya bertanya, "Apa yang terjadi?"
Mereka berkata, "Kami akan mengikuti Malcolm. Engkau sendiri bagaimana?"
Saya berkata, "Terlalu banyak masalah di sini. Saya tidak akan pergi sebelum semua persoalan terselesaikan."
Saya tahu bahwa Yang Mulia Elijah Muhammad adalah pengarang ajaran ini. Saya tidak dapat pergi begitu saja dan mengikutinya, walaupun saya mencintainya.
Ketika Malcolm ditembak mereka mengutus saya pergi untuk suatu urusan. Tepat ketika saya sampai di sekretariat 116th Street, Edward X berlari keluar dan berkata, "Ayo kita pergi ke Audubon. Malcolm baru saja dibunuh!"
Saya kaget, "Apa!" '
Kami masuk ke dalam mobil. Kami lihat banyak orang masih berkeliaran di situ. Kami mengitari daerah itu dan kemudian kembali ke 116th Street.
Saya sangat terkejut. Saya benar-benar tidak dapat mempercayai hal itu akan terjadi. Saya masih sedih ketika memikirkan hal itu. Kami semua mencintainya. Saya dapat mengingat ucapan Malcolm kata demi kata. Saya masih memiliki catatan tentang hal-hal yang diajarkannya.
Ketika Malcolm baru terbunuh, mereka melihat enam truk orang Muslim menuju ke Chicago. Mereka menemui Elijah Muhammad. Penjualan koran-koran melonjak tinggi. Hanya itulah yang Anda dengar lewat berita.
Saya sangat ingin menghadiri pemakaman Malcolm. Tetapi saya tidak ingin terlibat dalam hubungan yang buruk dengan Nation.
Saya melihat banyak rekan yang dulunya sama-lama di Nation. Mereka telah menyimpang jauh. Setelah 1975 saya mulai menyimpang sedikit. Saya mulai merokok sedikit. Saya tidak pernah lagi makan babi. Tetapi sesekali saya minum sedikit untuk ramah-tamah. Tetapi kemudian ketika saya mendengar menteri (Louis Farrakhan) akan mengajar, saya berkata, "Di mana?" Saya menghentikan semua kelakuan itu.
Malcolm senantiasa meramalkan bahwa Wallace (Warith D. Mohammed) akan melakukan sebuah tindakan yang luar biasa, karena namanya diambil dari nama Master Farad. Ketika Elijah Muhammad wafat, saya pikir Farrakhan akan mengambil alih.
Mungkin akan terjadi pertumpahan darah saat itu. Banyak rekan yang hampir terbunuh karena sebagian ingin mengikuti Farrakhan, sebagian lainnya ingin mengikuti Wallace.
Saya bingung dengan cara Wallace mengajar. Dia menanggalkan seragam kami dan membubarkan FOI. Dia mulai mengajak orang kulit putih bergabung dengan Nation.
Saya bilang, "Hai, apa yang dia lakukan?"
Ajaran Wallace bagi saya sama dampaknya dengan yang diajarkan oleh gereja Kristen. Saya dulu sering tertidur ketika pendeta berpidato. Saya berdiri di sana dan mendengarkannya berkhutbah dan ketika saya pikir pendeta akan mengatakan siapa Tuhan itu, dia berhenti dan mulai bernyanyi. Saya berkata, "Apa yang dibicarakannya!"
Sebenarnya tidak ada yang perlu dilakukan. Tidak ada lagi yang perlu dicari. Ketika saya mendengar ajaran itu lagi, saya tahu itulah yang saya cari. Dahulu saya begitu bahagia. Ketika saya mendengar Farrakhan mengajar lagi, saya menangis.
Anda lihat, saya hidup di dua sisi mata uang. Sekarang saya mendapat kesempatan untuk hidup di sisi yang baik.
Saya dahulu menembak, membantai. Ketika saya sedang "marah" saya selalu membawa senjata. Saya mulai membawa senjata lagi setelah keluar dari Nation.
Saya hanya berpikir ada sesuatu "di dalam" diri saya dengan membawa pistol --dan sebuah pisau bertangkai hitam. Saya pikir jika pistol saya macet, ada sebilah pisau untuk melindungi saya.
Ketika saya masih kecil di Virginia, saya biasa pergi ke tempat-tempat yang paling keras. Saya menyebutnya dengan Ember Darah. Saya pikir itu karena mereka memakan makanan yang buruk, lalu menjadi panas, dan ingin berkelahi. Tetapi sekarang, saya tidak akan melukai siapa pun. Saya kira saya tidak tega dan tidak mampu menyakiti seseorang. Saya tidak memiliki naluri untuk membunuh.
Sekarang, saya tidak memiliki senjata. Hanya satu yang saya yakini akan melindungi saya, Allah. Jika saya harus mati, saya rasa itu memang waktunya bagi saya untuk mati.
Farrakhan banyak mengingatkan saya pada Malcolm. Kami menyebut diri kami Nation of Islam baru. Kebangkitan Pertama adalah bersama Elijah Muhammad, dan Kebangkitan Kedua bersama Farrakhan. Itu hanyalah perubahan komando, hanya itu.
Sejak saya kembali kepada Nation, saya menjadi letnan. Mereka bilang banyak kisah yang harus saya sampaikan.
(mhy)