Benarkah Ada Kemiripan Antara Sikap Golongan Kolonialis Muslim dan Eropa?
Senin, 16 Januari 2023 - 19:24 WIB
Masalah lain adalah sikap personal para penjajah itu. Diperintah oleh orang-orang asing adalah selalu tidak enak, namun tingkat ketidakenakan ini dapat naik atau turun oleh karena sikap-sikap para penguasa yang memerintah.
Kemiripan
Ada kemiripan antara sikap golongan kolonialis muslim -- tepatnya pemikiran Spanyol -- dan golongan kolonialis Eropa. Pada kedua kasus ini ada kultur para penguasa yang superior dan kedua kasus penguasa kolonialis ini juga merasa dirinya sebagai manusia yang superior terhadap rakyatnya yang dikuasai.
Boleh jadi umat Islam telah mewarisi kebanggaan Arab kuno karena memiliki suku bangsa yang besar dan dapat mengembangkan kesukuan besar ini bagi superioritas Islam sebagai agama.
Sikap para penjajah Eropa ini telah dianalisis secara mendalam oleh Edward Said pada bukunya yang berbicara tentang Orientalism.
Pernyataan-pernyataannya tentang orientalisme itu bahkan menghadiran superioritas para penjajah seperti yang tampak pada ucapan dan tulisan-tulisan AJ Balfour dan Lord Cromer sekitar tahun 1910 berkenaan dengan kontrol Inggris atas negeri Mesir.
Mereka mengasumsikan superioritas Inggris merupakan keharusan yang tak perlu dipersoalkan, dan berdasarkan landasan stereotipe yang bertentangan terhadap perkataan "Oriental" (yang meliputi bangsa Mesir) sebagai yang mempunyai semua bentuk kelemahan: tidak ada kemampuan bagi pemerintah sendiri; degradasi moral dan sosial; tidak mampu berpikir logis atau tidak mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jelas; ketidakcermatan secara umum; dan lain-lain.
Dalam rangka menciptakan suasana agar administrator bangsa Eropa itu merasakan dan memikirkan persoalan-persoalan yang berkembang di atas, agaknya sulit bagi bangsa Eropa untuk bersahabat akrab dengan bangsa Timur atas dasar persamaan hak dan kedudukan.
Boleh jadi hal inilah yang menjadi intisari persoalan keluhan umat Islam dan bangsa-bangsa lain di Asia dan Afrika, sehingga mereka harus berjuang menghadapi para penjajah Eropa itu.
Bangsa Timur diperlakukan sebagai bangsa yang "lemah tanpa hukum" dan sebagai bangsa manusia yang tidak sama martabat dan derajatnya.
Memang benar bahwa bangsa Eropa itu sangat unggul dalam aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap aspek-aspek kehidupan material, namun sama sekali tidak unggul di bidang moral. Oleh karena itu, oriental harus dianggap sebagai bangsa yang rendah secara moral.
Dalam hal ini bangsa Eropa tidak benar dan sahih, sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki secara pasti nyaris memiskinkan kesadaran akan berbagai nilai-nilai fundamental yang akan timbul pada hubungan hubungan manusia.
Sementara itu, Edward Said masih memperlihatkan sikap-sikap bangsa Eropa yang ditampilkan pada orientalisme dan khususnya pada kajian Islam, maka orang-orang barat sadar akan unsur kesalahan yang mendasari seluruh sikap-sikap tersebut.
Thomas Merton dengan artikelnya yang cerdas berjudul "Cargo Cults of the South Pacific", menganalisis hubungan antara administrator-administrator penjajah kulit putih dan penduduk primitif Laut Selatan yang pribumi, didapatkan kelemahan pada roh dan jiwa peradaban barat. Dia berharap agar kita dapat menggunakan pemahaman gerakan-gerakan seperti pelaksanaan terhadap cargo tersebut:
Membantu mengantarkan diri kita dari takhyul superioritas kulit putih yang mengerikan ini. Namun malahan kita merasa harus menjawab dan memang kita berkeinginan untuk membantu bangsa kulit hitam saudara kita itu. Namun bantuan itu diwujudkan dalam terma-terma arogan, sia-sia dan hanya memuaskan diri sendiri, semaunya sendiri.
Satu-satunya harapan adalah kita hendak menolong bangsa kulit hitam agar benar-benar seperti kita, walaupun di saat yang sama mustahil dapat menjadi sama persis seperti kita.
Lalu kita menempatkannya pada persembunyian yang tak akan mungkin diketahui dan kemudian harus merasa kasihan mengapa dia pedih menderita.
Semua bangsa manusia yang bukan kulit putih, adalah bangsa manusia yang serba kekurangan, sama-sama amat rindu akan pembalasan yang sahih kepada bangsa kulit putih, disimbolisasi oleh makan bersama, duduk di meja yang sama, mengakui satu sama lain sebagai bangsa manusia yang saling memberi pada makanan yang sama.
Kemiripan
Ada kemiripan antara sikap golongan kolonialis muslim -- tepatnya pemikiran Spanyol -- dan golongan kolonialis Eropa. Pada kedua kasus ini ada kultur para penguasa yang superior dan kedua kasus penguasa kolonialis ini juga merasa dirinya sebagai manusia yang superior terhadap rakyatnya yang dikuasai.
Boleh jadi umat Islam telah mewarisi kebanggaan Arab kuno karena memiliki suku bangsa yang besar dan dapat mengembangkan kesukuan besar ini bagi superioritas Islam sebagai agama.
Sikap para penjajah Eropa ini telah dianalisis secara mendalam oleh Edward Said pada bukunya yang berbicara tentang Orientalism.
Pernyataan-pernyataannya tentang orientalisme itu bahkan menghadiran superioritas para penjajah seperti yang tampak pada ucapan dan tulisan-tulisan AJ Balfour dan Lord Cromer sekitar tahun 1910 berkenaan dengan kontrol Inggris atas negeri Mesir.
Mereka mengasumsikan superioritas Inggris merupakan keharusan yang tak perlu dipersoalkan, dan berdasarkan landasan stereotipe yang bertentangan terhadap perkataan "Oriental" (yang meliputi bangsa Mesir) sebagai yang mempunyai semua bentuk kelemahan: tidak ada kemampuan bagi pemerintah sendiri; degradasi moral dan sosial; tidak mampu berpikir logis atau tidak mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jelas; ketidakcermatan secara umum; dan lain-lain.
Dalam rangka menciptakan suasana agar administrator bangsa Eropa itu merasakan dan memikirkan persoalan-persoalan yang berkembang di atas, agaknya sulit bagi bangsa Eropa untuk bersahabat akrab dengan bangsa Timur atas dasar persamaan hak dan kedudukan.
Boleh jadi hal inilah yang menjadi intisari persoalan keluhan umat Islam dan bangsa-bangsa lain di Asia dan Afrika, sehingga mereka harus berjuang menghadapi para penjajah Eropa itu.
Bangsa Timur diperlakukan sebagai bangsa yang "lemah tanpa hukum" dan sebagai bangsa manusia yang tidak sama martabat dan derajatnya.
Memang benar bahwa bangsa Eropa itu sangat unggul dalam aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap aspek-aspek kehidupan material, namun sama sekali tidak unggul di bidang moral. Oleh karena itu, oriental harus dianggap sebagai bangsa yang rendah secara moral.
Dalam hal ini bangsa Eropa tidak benar dan sahih, sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki secara pasti nyaris memiskinkan kesadaran akan berbagai nilai-nilai fundamental yang akan timbul pada hubungan hubungan manusia.
Sementara itu, Edward Said masih memperlihatkan sikap-sikap bangsa Eropa yang ditampilkan pada orientalisme dan khususnya pada kajian Islam, maka orang-orang barat sadar akan unsur kesalahan yang mendasari seluruh sikap-sikap tersebut.
Thomas Merton dengan artikelnya yang cerdas berjudul "Cargo Cults of the South Pacific", menganalisis hubungan antara administrator-administrator penjajah kulit putih dan penduduk primitif Laut Selatan yang pribumi, didapatkan kelemahan pada roh dan jiwa peradaban barat. Dia berharap agar kita dapat menggunakan pemahaman gerakan-gerakan seperti pelaksanaan terhadap cargo tersebut:
Membantu mengantarkan diri kita dari takhyul superioritas kulit putih yang mengerikan ini. Namun malahan kita merasa harus menjawab dan memang kita berkeinginan untuk membantu bangsa kulit hitam saudara kita itu. Namun bantuan itu diwujudkan dalam terma-terma arogan, sia-sia dan hanya memuaskan diri sendiri, semaunya sendiri.
Satu-satunya harapan adalah kita hendak menolong bangsa kulit hitam agar benar-benar seperti kita, walaupun di saat yang sama mustahil dapat menjadi sama persis seperti kita.
Lalu kita menempatkannya pada persembunyian yang tak akan mungkin diketahui dan kemudian harus merasa kasihan mengapa dia pedih menderita.
Semua bangsa manusia yang bukan kulit putih, adalah bangsa manusia yang serba kekurangan, sama-sama amat rindu akan pembalasan yang sahih kepada bangsa kulit putih, disimbolisasi oleh makan bersama, duduk di meja yang sama, mengakui satu sama lain sebagai bangsa manusia yang saling memberi pada makanan yang sama.