2 Metode untuk Bisa Menemui Tuhan Menurut Imam Al-Ghazali

Selasa, 21 Februari 2023 - 05:15 WIB
loading...
2 Metode untuk Bisa...
Imam al-Ghazali. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang terkenal berbunyi "Dia yang mengenal dirinya, mengenal Allah." Artinya, Imam al-Ghazali mengatakan dengan merenungkan wujud dan sifat-sifatnya, manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Tuhan.

"Tetapi karena banyak orang yang merenungkan dirinya tidak juga menemui Tuhan, berarti bahwa tentulah ada cara-cara tersendiri untuk melakukan hal tersebut," ujar al-Ghazali dalam bukunya berjudul "The Alchemy of Happiness" yang diterjemahkan Haidar Bagir menjadi " Kimia Kebahagiaan ".

Kenyataannya, kata al-Ghazali, ada dua metode untuk bisa sampai pada pengetahuan ini. Salah satu di antaranya sedemikian musykil sehingga tidak bisa dicerna dengan kecerdasan biasa dan karenanya lebih baik tidak dijelaskan.



Metode yang lain adalah sebagai berikut. Jika seorang manusia merenungkan dirinya, ia akan tahu bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana tertulis di dalam al-Qur'an : "Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan apa-apa?"

Selanjutnya ia ketahui bahwa ia terbuat dari satu tetes air yang tidak mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan sebagainya. "Dari sini jelaslah bahwa, setinggi apa pun tingkat kesempurnaannya, ia tidak menciptakan dirinya dan tidak pula ia mampu mencipta seutas rambut sekalipun," jelas Imam al-Ghazali.

Betapa sangat tak berdayanya ia pada waktu ia baru hanya berupa setetes air itu! Jadi, dia dapati pada wujudnya sendiri terpantulkan sebagai, katakanlah, suatu miniatur kekuasaan, kebijakan dan cinta Sang Pencipta.

Jika semua orang pandai dari seluruh dunia dikumpulkan dan hidup mereka diperpanjang sampai waktu yang tidak terbatas, tidak akan bisa mereka hasilkan perbaikan apa pun atas bangun satu bagian saja dari jasad manusia.

Misalnya, kata al-Ghazali lagi, pada penyesuaian geligi depan dan samping pada pengunyahan makanan, serta pada bangun lidah, kelenjar-kelenjar air liur dan kerongkongan untuk penelanannya, kita dapati peralatan-peralatan yang tidak bisa dibuat lebih baik lagi.



Demikian pula seseorang yang merenungkan tangan dengan lima jari-jarinya yang tidak sama panjang - empat di antaranya dengan tiga persendian dan jempol yang hanya mempunyai dua - serta dengan cara bagaimana ia bisa dipergunakan untuk mencekal, menjinjing atau memukul, secara terus terang akan mengakui bahwa tidak akan mungkin kebijakan manusia bisa membuatnya lebih baik lagi dengan mengubah jumlah dan aturan jari-jari tersebut, atau dengan jalan lain apa pun.

Jika seorang manusia lebih lanjut memikirkan bagaimana beragam keinginannya akan makanan, penginapan dan lain sebagainya, pemenuhannya begitu banyak disodorkan dari gudang penciptaan, ia pun menjadi sadar bahwa rahmat Allah adalah sebesar kekuasaan dan kebijakan-Nya, sebagaimaan Ia sendiri berkata: "Rahmat-Ku lebih luas dari kutukan-Ku."

Dan menurut hadis Nabi (SAW), Allah lebih lembut penciptaan dirinya sendiri, manusia menjadi tahu akan kemaujudan Tuhan. Dari kerangka tubuhnya yang menakjubkan ia mengetahui kekuasaan dan kebijakkan Allah. Dan lewat karunia yang berlimpah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, ia mengetahui kecintaan Allah. Dengan cara ini pengetahuan tentang diri menjadi kunci bagi pengetahuan tentang Allah.

Bukan saja sifat-sifat manusia merupakan suatu pantulan sifat-sifat Tuhan, tetapi bentuk kemaujudan jiwa manusia pun menghasilkan suatu wawasan tentang bentuk kemaujudan Allah.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Allah dan jiwa kedua-duanya tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, serta berada di luar pengelompokan-pengelompokan jumlah dan kualitas.



Demikian pula gagasan-gagasan tentang bentuk, warna atau ukuran tidak bisa pula dihubungkan dengan keduanya. Orang mengalami kesulitan untuk membentuk suatu konsepsi tentang hakikat semacam itu yang hampa kualitas, jumlah, dan sebagainya, padahal kesulitan yang sama terkaitkan pula dengan konsepsi tentang perasaan kita sehari-hari, seperti marah, sakit, senang atau cinta.

Semuanya itu adalah konsep-konsep pikiran dan tidak bisa dimengerti oleh indra, sementara kualitas, jumlah dan lain sebagainya adalah konsep-konsep indra.

Sebagaimana telinga tidak bisa mengenali warna, tidak pula mata bisa mengenali suara; dalam ketidakmampuan kita membayangkan hakikat-hakikat puncak, yaitu Allah dan roh, kita dapati diri kita berada di dalam suatu wilayah di mana konsep-konsep indera tidak bisa ambil bagian.

Meskipun demikian, Imam al-Ghazali mengatakan, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah pengatur jagat dan Ia - yang berada di luar ruang dan waktu, kuantitas dan kualitas - mengatur apa-apa yang sedemikian terkondisikan.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1839 seconds (0.1#10.140)