3 Pendapat Mengenai Ayat-Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat dalam Al-Qur'an
loading...
A
A
A
Pandangan Para Filsuf
Menurut Cak Nur, para filsuf adalah kalangan orang-orang Muslim yang paling banyak melakukan ta'wil, disebabkan kuatnya pengakuan sebagai para pencari hakikat dan kebenaran demonstratif (yang terbuktikan secara tak terbantah).
Mereka dengan kuat memandang, ungkapan-ungkapan kebahasaan dalam sumber-sumber ajaran agama, baik Kitab Suci maupun Sunnah Nabi adalah ungkapan-ungkapan metaforis atau alegoris.
"Jadi tidak dimaksudkan seperti apa adanya menurut arti lahiriah ungkapan-ungkapan itu. Untuk dapat menangkap arti sebenarnya dari ungkapan-ungkapan itu, diperlukan disiplin dan latihan berpikir yang tinggi, yang menurut mereka hanya diperoleh melalui pemikiran kefilsafatan," ujar Cak Nur.
Sesuai dengan makna asal katanya dalam bahasa Yunani, filsafat adalah kecintaan kepada kearifan (wisdom), kemudian menjadi kearifan itu sendiri, sehingga filsafat pun disebut al-hikmah. Maka para filsuf Islam memandang diri mereka sebagai "penganut kearifan" (ahl al-hikmah) atau para orang arif-bijaksana (al-hukama). Kadang-kadang juga disebut ahl al-burhan ("para penganut kebenaran demonstratif atau apodeiktik, yakni kebenaran tak terbantah").
Kelebihan mereka itu, kata Cak Nur, mereka adalah golongan khawas di kalangan umat, dan mereka berhak, bahkan wajib, menggunakan metode interpretasi metaforis terhadap teks-teks keagamaan.
Filsuf Islam terkenal dari Cordova, Spanyol, Ibn Rusyd atau Averroes, misalnya berpandangan para filsuf selaku ahl al-burhan itulah yang dimaksudkan dalam firman Ilahi sebagai "orang-orang yang mendalam ilmunya," karena mereka ini berhak atau wajib melakukan ta'wil terhadap bunyi teks-teks suci.
Jadi bagi Ibn Rusyd firman Tuhan itu harus dibaca kaum khawas sedemikian rupa sehingga "orang-orang yang mendalam ilmunya" termasuk ke dalam yang mengetahui ta'wil ayat-ayat mutasyabihat. Yaitu dengan memindah tanda baca berhenti (waqaf:) sehingga terbaca, "... Padahal tidak mengetahui ta'wilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka ini berkata, "Kami beriman kepada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami..." sebagai ganti cara baca kaum awam (lihat terjemah kutipan firman itu di atas). (lihat Ibn Rusyd dalam Fashl al-Maqal wa Taqrir Ma bayn al-Hikmah wa al-Syari'ah min al-Ittishal).
Jadi para filsuf dengan kata lain, memandang Nabi mengutarakan sesuatu dengan ungkapan-ungkapan metaforis dan alegoris, yang tidak memaksudkan makna-makna lahir ungkapan-ungkapan itu, melainkan pada makna batinnya.
"Karena itu para filsuf rawan terhadap tuduhan, mereka sebenarnya menganut teori, Nabi telah melakukan sejenis kebohongan: Mengungkapkan sesuatu tanpa memaksudkan makna lahiriah ungkapan itu. Tapi 'kebohongan' Nabi bukanlah kejahatan, karena bertujuan kebaikan, yaitu pendidikan orang banyak atau kaum awam, agar mereka berbuat baik dan meninggalkan keburukan. Dengan kata lain, para filsuf menganut teori Nabi telah melakukan 'kebohongan untuk kebaikan' (al-kidzb li al-mashlahah), seperti yang dituduhkan Ibn Taymiyyah," tutur Cak Nur.
Menurut Cak Nur, karena pendidikan itu ditujukan pada kalangan awam, maka kalangan khawas, yakni, para filsuf sendiri, tak seharusnya mengikuti cara awam dalam memahami ajaran agama.
Para flsuf harus melakukan ta'wil terhadap bunyi-bunyi teks suci baik Kitab maupun Sunnah (Hadis), sedangkan orang awam harus menerimanya menurut apa adanya sesuai dengan bunyi dan makna lahiriah lafalnya itu.
Para filsuf akan menjadi kafir jika tidak melakukan interpretasi karena bagi mereka ajaran-ajaran agama tertentu seperti surga dan neraka dalam pengertian fisik itu tidak masuk akal, jadi tertolak). Dan sebaliknya, orang awam akan menjadi kafir jika melakukan interpretasi, disebabkan sulitnya pemahaman interpretatif yang abstrak itu, yang tak terjangkau kemampuan akal mereka.
Adanya bahaya ini, maka Ibn Rusyd berpendapat, ta'wil harus disimpan dan dirahasiakan untuk kalangan kaum khawas saja. Sehingga sering dikatakan, metode Ibn Rusyd yang membagi manusia dalam golongan khawas dan awam itu akan melahirkan semacam elitisme dalam kehidupan beragama.
(mhy)