Nuzulul Qur'an: Kisah Nabi Muhammad SAW Menyendiri di Gua Hira di Bulan Ramadan

Kamis, 30 Maret 2023 - 18:39 WIB
loading...
A A A
Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mana kebenaran dalam alam semesta yang luas ini, luas dengan buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya?

Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang memancarkan cahaya dan kehangatan kepada manusia, dari sana pula hujan diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara?

Tidak! Bintang-bintang itu tidak lain adalah benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau barangkali di balik benda-benda itu terdapat eter yang tak terbatas, tak berkesudahan?

Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami sekarang, dan besok akan berkesudahan? Apa asalnya, dan apa sumbernya? Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan pula kita di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak mungkin bila dasarnya hanya kebetulan saja.

Apa yang dialami manusia, kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia memilih yang lain?

Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga yang dipikirkan Muhammad selama ia mengasingkan diri dan bertekun dalam Gua Hira'. Ia ingin melihat Kebenaran itu dan melihat hidup itu seluruhnya.

Pemikirannya itu memenuhi jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya.



Siang dan malam hal ini menderanya terus menerus. Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena diapun ingin lega hatinya bila sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.

Kebiasaan ini dilakukan Muhammad saban tahun di bulan Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh.

Sesudah beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya. Bersamaan dengan itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan segala macam kemewahan yang tiada berguna.

Ketika itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar, dan hidup kerohanian mereka telah rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya.

Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu.

Apa yang disebutkan mereka itu masing masing memang benar; tapi masih mengandung bermacam-macam takhayul dan pelbagai macam cara paganisma, yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang sederhana, tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong, yang menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu.

Dan Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. "Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atompun akan dilihatNya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat atompun akan dilihatNya pula." (Qur'an, 99:7-8)

Dan bahwa surga itu benar adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman yang paling durhaka.



Muhammad sudah menjelang usia 40 tahun. Pergi ia ke Hira' melakukan tahannuth. Jiwanya sudah penuh iman atas segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia telah membebaskan diri dari segala kebatilan. Tuhan telah mendidiknya, dan didikannya baik sekali.

Dengan sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada Kebenaran yang Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.

Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah malam, kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa, dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari gua itu, melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali ke tempatnya berkhalwat, hendak menguji apa gerangan yang berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat dalam mimpi itu?
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1772 seconds (0.1#10.140)