Apakah Boleh Tidak Menikah? Begini Jawaban Imam Syafi'i

Minggu, 30 April 2023 - 16:46 WIB
loading...
Apakah Boleh Tidak Menikah? Begini Jawaban Imam Syafii
Dalam ilmu fiqih, hukum menikah tergantung pada keadaan orang yang hendak melakukannya. Namun wajib hukumnya bagi orang yang mampu dan khawatir berbuat zina. Foto ilustrasi/gettyimages
A A A
Dalam satu kajian Gus Musa Muhammad bercerita tentang hukum pernikahan. Kebetulan saat ini bulan Syawal, banyak pasangan yang melangsungkan pernikahan.

Suatu hari ulama besar Imam Syafi'i (150-204 Hijriyah) pernah ditanya, apakah boleh tidak menikah? Beliau menjawab, "boleh". Lalu beliau ditanya apa dalilnya, bukankah Nabi Muhammad SAW bersabda: "An-nikahu sunnati, man raghiba 'an sunnati falaisa minni (nikah itu sunnahku, dan yang tidak mau mengikuti sunnahku, tidaklah termasuk umatku)."

Kemudian Imam Syafi'i meyitir Surat Ali Imran ayat 39 sebagai jawaban:

فَنَادَتۡهُ الۡمَلٰٓٮِٕكَةُ وَهُوَ قَآٮِٕمٌ يُّصَلِّىۡ فِى الۡمِحۡرَابِۙ اَنَّ اللّٰهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحۡيٰى مُصَدِّقًۢا بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ وَسَيِّدًا وَّحَصُوۡرًا وَّنَبِيًّا مِّنَ الصّٰلِحِيۡنَ

Artinya: "Kemudian para Malaikat memanggilnya, ketika dia berdiri melaksanakan shalat di mihrab, "Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran) Yahya, yang membenarkan sebuah kalimat (firman) dari Allah, panutan, berkemampuan menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi di antara orang-orang shalih." (QS Ali Imran ayat 39)

Lebih lanjut Imam Syafi'i menukil kalimat dari ayat tersebut: "Wa Sayyidan wa hashuran wa nabiyyan minasshaalihin. (Nabi Yahya) menjadi panutan, (pribadi) yang menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang Nabi yang termasuk keturunan dari orang-orang saleh."

Allah Ta'ala menyebut sekian hamba-Nya yang saleh. Dan di antara hambanya yang saleh itu berstatus Al-Hashur (orang yang tidak nikah). Artinya, tidak menikah itu selama tidak mengganggu kesalehan, maka itu halal.

Dalam Islam sendiri diketahui bahwa Nabi Isa dan Nabi Yahya semasa hidupnya tidak menikah atau Al-Hashur (menahan diri dari hawa nafsu).

Ulama yang Tidak Menikah
Imam Syafi'i merupakan mujtahid mutlaq sekaligus pendiri Mazhab Syafi'i wafat 204 H. Sekitar 430 tahun kemudian lahirlah Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi, atau lebih dikenal Imam Nawawi, seorang ulama besar Mazhab Syafi'i. Beliau lahir di Desa Nawa, dekat kota Damaskus (Suriah), pada 631 H dan wafat 24 Rajab 676 H.

Beliau merupakan mufti fatwa utama Madzhab Syafii dengan penguasaan beberapa disiplin ilmu, baik ilmu al Quran, Hadis hingga Fiqh. Beliau meninggal di usia 45 tahun tidak pernah menikah?

Lantas bagaimana dengan maksud hadis "An Nikahu Sunnati" apakah beliau mengingkarinya?

Ketika membaca biografi beberapa ulama besar terdahulu, kita akan mendapati bahwa sebagian mereka ada yang tidak menikah atau hidup membujang hingga akhir hayat. Misalnya Imam at-Thabari, Abu Bakar al Ambari, an-Nawawi. Dari kalangan perempuan ada Khadijah binti Imam Abdus Salam Sahnun bin Sa'id, Rabi'ah Al-Adawiyah.

Lantas, apakah kita akan menghakimi beliau-beliau sebagai bukan dari golongan Nabi, padahal beliau seorang ulama yang memahami dan banyak menulis atau mensyarahi kitab-kitab Hadis?

Sebenarnya hukum menikah itu tidak wajib. Memang hukum asalnya adalah sunnah. Tapi itu pun bisa berubah menjadi wajib, makruh bahkan haram bergantung kondisi masing-masing orang. Sedangkan maksud hadis "an-nikahu sunnati" bahwa menikah itu pola hidup yang disenangi Nabi. Maka dalam kondisi yang berkecukupan, seseorang dianjurkan untuk menikah.

Adapun orang yang hidup membujang bukan dengan maksud meremehkan sunnahnya menikah, melainkan karena ingin fokus ibadah dan berkhidmat, seperti shalat, menulis kitab dan memberikan pengajaran pada orang lain, apalagi tidak dikhawatirkan melakukan zina, maka orang seperti ini tidak dikategorikan menyelesihi sunnah. Inilah yang dipraktikkan oleh Imam Nawawi.

Hukum Menikah
Dalam Kitab al-Minhaj dijelaskan tentang hukum menikah:

هو مستحب لمحتاج اليه يجد اهبته فان فقدها استحب تركه و يكسر شهوته بالصوم فان لم يحتج كره ان فقد الاهبة و الا فلا لكن العبادة افضل قلت فان لم يتعبد فالنكاح افضل له في الاصح

"Nikah hukumnya sunnah bagi orang yang membutuhkan dan punya biaya. Jika tidak punya biaya, sunnah hukumnya meninggalkannya dan lemahkanlah syahwatnya dengan berpuasa. Jika tidak butuh menikah, maka menikah hukumnya makruh kalau tidak punya biaya. Jika punya biaya tidaklah makruh, tetapi melakukan ibadah lebih utama. Aku (Imam Nawawi) berkata: "Jika memang seseorang tidak menggunakan waktunya untuk beribadah, maka nikah lebih utama".

Ketika Imam an-Nawawi memilih hidup membujang sampai ahir hayatnya. Beliau lalui hari-harinya dengan beribadah, menulis karya ilmiyah, mengajar, membaca Al-Qur'an. Manfaatnya pun bisa dirasakan umat muslim hingga kini, di mana tidak ada satu pesantren pun yang tidak lepas dari kajian kitab Imam Nawawi.

Kembali ke hukum menikah. Hukum menikah tergantung pada keadaan orang yang hendak melakukannya. Berikut hukum menikah dalam pandangan ulama Fiqih:

1. WAJIB
Bagi orang yang telah mampu dan bila ia tidak segera menikah amat dikhawatirkan akan berbuat zina.

2. SUNNAH
Bagi orang yg menginginkan sekali punya anak, tetapi ia masih mampu mengendalikan diri dari perbuatan zina, baik ia sudah berminat menikah atau belum walaupun jika menikah nanti ibadah sunnah yang sudah biasa ia lakukan akan sedikit terlantar.

3. MAKRUH
Bagi orang yg belum berminat punya anak, juga belum pernah menikah sedangkan ia mampu menahan diri dari berbuat zina padahal bila ia menikah amalan ibadah sunnahnya akan terlantar.

4. MUBAH
Bagi orang yang mampu menahan gejolak nafsunya dari berbuat zina, sementara ia belum berminat memiliki anak dan seandainya ia menikah ibadah sunnahnya tidak sampai terlantar.

5. HARAM
Bagi orang yang apabila ia menikah justru akan merugikan istrinya karena ia tidak mampu memberikan nafkah lahir dan batin atau jika menikah ia akan cari mata pencaharian yang diharamkan Allah walaupun orang tersebut sudah berminat menikah dan mampu menahan gejolak nafsunya dari berbagai zina.

Hukum menikah di atas juga berlaku bagi kaum wanita. Ibnu Arafah (ulama fiqh Madzhab Dzahiri) menambahkan, bagi wanita hukum menikah wajib, apabila ia tidak mampu menafkahi dirinya sendiri sedangkan jalan satu-satunya untuk menanggulangi nafkah tersebut adalah menikah. (Minhaj ath Thalibin)

Wallahu A'lam

(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2285 seconds (0.1#10.140)