Tata Cara Haji: Amalan di Hari Tasyrik

Senin, 22 Mei 2023 - 16:16 WIB
loading...
Tata Cara Haji: Amalan di Hari Tasyrik
Wajib bermalam di Mina pada malam-malam hari tasyrik. Foto/Ilustrasi: syaamil quran
A A A
Yusuf bin Abdullah bin Ahmad Al-Ahmad dalam bukunya berjudul "Shifatul Hajji wal Umrati wa Ahkamish Shalati fi Masjidin Nabawi" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Tata Cara Haji, Umrah dan Hukum Shalat di Masjid Nabawi" menjelaskan amalan yang dilakukan jemaah haji di hari-hari tasyrik .

1. Wajib bermalam di Mina pada malam-malam hari tasyrik, yakni malam ke-11 dan ke-12 (bagi yang terburu-buru) serta malam ke-13 (bagi yang mengakhirkan/tetap tinggal).

2. Wajib melempar jumrah pada hari-hari tasyrik, caranya adalah sebagai berikut:



Setiap jemaah haji melempar ketiga jumrah (ula, wustha, aqabah) pada setiap hari dari hari-hari tasyrik setelah tergelincirnya matahari. Yakni dengan tujuh batu kerikil secara berurutan untuk masing-masing jumrah, dan hendaknya bertakbir setiap kali melempar. Dengan demikian jumlah batu kerikil yang wajib dilemparkan setiap harinya adalah 21 batu kerikil. Ukuran batu kerikil tersebut lebih besar sedikit dari biji kacang.

Jemaah haji memulai dengan melempar jumrah ula, yakni jumrah yang letaknya dekat masjid Al-Khaif, kemudian hendaknya ia maju ke sebelah kanan seraya berdiri dengan menghadap kiblat. Di sana hendaknya ia berdiri lama untuk berdo’a dengan mengangkat tangan.

Lalu ia melempar jumrah wustha, kemudian mencari posisi di sebelah kiri dan berdiri menghadap kiblat. Di sana hendaknya ia berdiri lama untuk berdo’a seraya mengangkat tangan.

Selanjutnya ia melempar jumrah aqabah dengan menghadap kepadanya serta menjadikan kota Makkah berada di sebelah kirinya dan Mina di sebelah kanannya. Di sana ia tidak berhenti (untuk berdo’a). Demikianlah, hal yang sama hendaknya ia lakukan pada tanggal 12 dan 13 Dzulhijjah.



Di sisi lain, Yusuf bin Abdullah bin Ahmad Al-Ahmad memperingatkan:

1. Adalah salah, membasuh batu-batu kerikil (sebelum melemparkannya), sebab yang demikian itu tidak ada keterangannya dari Nabi SAW, juga tidak dari para sahabatnya.

2. Yang menjadi ukuran (benarnya lemparan) adalah jatuhnya batu kerikil ke dalam penampungan, dan bukan melempar tiang yang ada di tengah-tengah penampungan (batu kerikil).

3. Waktu melempar jumrah adalah dimulai dari sejak tergelincirnya matahari hingga terbenamnya, tetapi tidak mengapa melemparnya hingga malam hari, jika hal itu memang diperlukan.

Hal itu berdasarkan sabda Nabi SAW: “Penggembala melempar (jumrah) pada malam hari dan menggembala (ternaknya) di siang hari.” [Hadits hasan, As-Silsilah Ash-Shahihah, 2477].

4. Tidak boleh mewakilkan dalam melempar jumrah kecuali ketika dalam keadaan lemah (tak mampu) atau takut akan bahaya karena telah lanjut usia, sakit, masih kecil atau sejenisnya. Dan ketika mewakili, hendaknya ia melempar jumrah ula sebanyak tujuh kali untuk dirinya sendiri terlebih dahulu, lalu melemparkan untuk orang yang diwakilinya. Demikian pula hendaknya yang ia lakukan dalam jumrah wustha dan aqabah (jika mewakili orang lain).



Adapun sebagian orang pada saat ini yang dengan mudahnya mewakilkan melempar jumrah adalah hal keliru. Orang yang takut berdesak-desakan dengan laki-laki dan perempuan maka hendaknya ia pergi melempar pada saat-saat yang sepi, misalnya ketika malam hari.

5. Hendaknya melempar ketiga jumrah tersebut secara tertib, yakni shughra kemudian wustha lalu aqabah.

6. Sungguh keliru orang yang mencaci dan mencerca ketika melempar jumrah, atau melempar dengan sepatu, payung dan batu besar, serta kepercayaan sebagian orang bahwa setan diikat pada tiang yang ada di tengah penampungan batu kerikil.

7. Bermalam yang wajib dilakukan di Mina adalah dengan tinggal di sana pada sebagian besar waktu malam. Misalnya, jika seluruh waktu malam adalah sebelas jam maka ia wajib tinggal di Mina lebih dari lima jam 30 menit.

8. Diperbolehkan bagi orang yang tergesa-gesa untuk meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah, yakni setelah melempar jumrah dan hendaknya ia keluar dari Mina sebelum tenggelamnya matahari.

Jika matahari telah tenggelam dan ia masih berada di Mina maka ia wajib bermalam dan melempar lagi keesokan harinya, kecuali jika ia telah bersiap-siap meninggalkan Mina lalu matahari tenggelam karena jalan macet atau sejenisnya maka ia dibolehkan tetap pergi dan hal itu tidak mengapa baginya.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2606 seconds (0.1#10.140)