Bolehkah Mewakilkan Ibadah Haji kepada Orang Lain?
loading...
A
A
A
Ada seorang wanita yang ingin mewakilkan pelaksanaan ibadah hajinya kepada seseorang dengan alasan:
1. Orang yang mewakilinya itu berilmu.
2. Wanita itu percaya kepada orang yang akan mewakilinya itu bahwa dia akan melaksanakan ibadah haji dengan sempurna.
3. Wanita itu merasa pemahamannya tentang ibadah haji sangat sedikit di samping juga dia khawatir kedatangan masa haid saat melaksanakan ibadah haji.
4. Wanita itu ingin fokus mendidik dan memelihara anak-anaknya di rumah.
Bolehkah wanita ini mewakilkan pelaksanaan ibadah hajinya kepada orang lain dengan berbagai alasan tersebut?
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kitab "Fatawa Nur alad Darb" menjawab sebagai berikut:
Penyerahan mandat dari seseorang kepada orang lain untuk mewakilinya dalam pelaksanaan ibadah haji itu tidak lepas dari dua keadaan: 1. Kejadian itu terjadi pada haji yang wajib. 2. Kejadian itu terjadi pada haji yang sunah atau nafilah.
Apabila itu terjadi pada haji yang wajib atau fardhu, maka seseorang tidak boleh mewakilkan pelaksanaannya kepada orang lain untuk menghajikannya. Kecuali jika dia benar-benar tidak bisa berangkat atau tidak bisa sampai ke Makkah karena menderita penyakit yang terus menerus yang tidak ada harapan akan sembuh, atau karena usianya yang sudah renta.
Jika masih ada harapan akan sembuh dari penyakit yang menderanya itu, maka pelaksanaan ibadah hajinya ditunda sampai Allah SWT memberikan kesembuhan kepadanya lalu ia melaksanakan sendiri ibadah hajinya.
Adapun, jika tidak ada yang menghalanginya dari pelaksanaan ibadah haji dan dia mampu untuk melakukannya sendiri, maka dia tidak boleh mewakilkan pelaksanaannya kepada orang lain. Karena dia sendiri dituntut untuk melaksanakannya. Allah SWT berfirman:
"Dan mengerjakan haji itu adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah" ( QS Ali Imran /3:97)
Pada dasarnya, ibadah-ibadah itu dikerjakan sendiri agar sempurna penghambaan dirinya kepada Allah dan juga ketundukannya kepada Allah.
Lagi pula, orang yang mewakilkan pelaksanaan suatu ibadah kepada orang lain, maka dia tidak akan merasakan makna yang agung ini, yang karenanya semua ibadah itu disyariatkan.
Haji Nafilah
Sedangkan jika orang yang hendak mewakilkan itu adalah orang yang sudah melaksanakan ibadah haji yang wajib atasnya lalu dia ingin meminta orang lain untuk mewakilinya dalam melaksanaan ibadah haji yang nafilah (sunah), maka dalam masalah ini para Ulama berbeda pendapat.
Di antara mereka ada yang membolehkannya, sementara sebagian yang lain tidak membolehkannya. "Dalam pandangan saya, pendapat yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa itu terlarang atau tidak boleh."
Artinya, tidak boleh bagi seseorang untuk meminta orang lain mewakilinya dalam melaksanakan ibadah haji atau umrah dalam haji yang sunah baginya. Karena hukum asalnya adalah ibadah-ibadah itu dikerjakan sendiri, sebagaimana seseorang tidak boleh meminta orang lain mewakilinya dalam melaksanakan ibadah puasa, padahal seandainya orang itu mati dan memiliki tanggungan ibadah puasa, maka walinya wajib berpuasa untuknya, begitu pula terkait ibadah haji.
Ibadah haji adalah ibadah yang dikerjakan oleh kaum Muslimin dengan anggota badan mereka, bukan ibadah maliyah (harta) yang bertujuan memberikan manfaat kepada orang lain dengan harta itu.
Jika haji ini adalah ibadah badaniyah yang harus dikerjakan oleh seseorang dengan raganya sendiri, maka pelaksanaannya oleh orang lain untuk orang lain itu tidak sah, kecuali dalam kondisi-kondisi yang dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi SAW.
Dan tidak ada disebutkan dalam hadis-hadis tentang adanya orang yang mewakili orang lain dalam melaksanakan ibadah haji, sehingga kita tidak memiliki alasan untuk membolehkannya. Ini adalah satu riwayat dari imam Ahmad.
1. Orang yang mewakilinya itu berilmu.
2. Wanita itu percaya kepada orang yang akan mewakilinya itu bahwa dia akan melaksanakan ibadah haji dengan sempurna.
3. Wanita itu merasa pemahamannya tentang ibadah haji sangat sedikit di samping juga dia khawatir kedatangan masa haid saat melaksanakan ibadah haji.
4. Wanita itu ingin fokus mendidik dan memelihara anak-anaknya di rumah.
Bolehkah wanita ini mewakilkan pelaksanaan ibadah hajinya kepada orang lain dengan berbagai alasan tersebut?
Baca Juga
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kitab "Fatawa Nur alad Darb" menjawab sebagai berikut:
Penyerahan mandat dari seseorang kepada orang lain untuk mewakilinya dalam pelaksanaan ibadah haji itu tidak lepas dari dua keadaan: 1. Kejadian itu terjadi pada haji yang wajib. 2. Kejadian itu terjadi pada haji yang sunah atau nafilah.
Apabila itu terjadi pada haji yang wajib atau fardhu, maka seseorang tidak boleh mewakilkan pelaksanaannya kepada orang lain untuk menghajikannya. Kecuali jika dia benar-benar tidak bisa berangkat atau tidak bisa sampai ke Makkah karena menderita penyakit yang terus menerus yang tidak ada harapan akan sembuh, atau karena usianya yang sudah renta.
Jika masih ada harapan akan sembuh dari penyakit yang menderanya itu, maka pelaksanaan ibadah hajinya ditunda sampai Allah SWT memberikan kesembuhan kepadanya lalu ia melaksanakan sendiri ibadah hajinya.
Adapun, jika tidak ada yang menghalanginya dari pelaksanaan ibadah haji dan dia mampu untuk melakukannya sendiri, maka dia tidak boleh mewakilkan pelaksanaannya kepada orang lain. Karena dia sendiri dituntut untuk melaksanakannya. Allah SWT berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
"Dan mengerjakan haji itu adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah" ( QS Ali Imran /3:97)
Pada dasarnya, ibadah-ibadah itu dikerjakan sendiri agar sempurna penghambaan dirinya kepada Allah dan juga ketundukannya kepada Allah.
Lagi pula, orang yang mewakilkan pelaksanaan suatu ibadah kepada orang lain, maka dia tidak akan merasakan makna yang agung ini, yang karenanya semua ibadah itu disyariatkan.
Haji Nafilah
Sedangkan jika orang yang hendak mewakilkan itu adalah orang yang sudah melaksanakan ibadah haji yang wajib atasnya lalu dia ingin meminta orang lain untuk mewakilinya dalam melaksanaan ibadah haji yang nafilah (sunah), maka dalam masalah ini para Ulama berbeda pendapat.
Di antara mereka ada yang membolehkannya, sementara sebagian yang lain tidak membolehkannya. "Dalam pandangan saya, pendapat yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa itu terlarang atau tidak boleh."
Artinya, tidak boleh bagi seseorang untuk meminta orang lain mewakilinya dalam melaksanakan ibadah haji atau umrah dalam haji yang sunah baginya. Karena hukum asalnya adalah ibadah-ibadah itu dikerjakan sendiri, sebagaimana seseorang tidak boleh meminta orang lain mewakilinya dalam melaksanakan ibadah puasa, padahal seandainya orang itu mati dan memiliki tanggungan ibadah puasa, maka walinya wajib berpuasa untuknya, begitu pula terkait ibadah haji.
Ibadah haji adalah ibadah yang dikerjakan oleh kaum Muslimin dengan anggota badan mereka, bukan ibadah maliyah (harta) yang bertujuan memberikan manfaat kepada orang lain dengan harta itu.
Jika haji ini adalah ibadah badaniyah yang harus dikerjakan oleh seseorang dengan raganya sendiri, maka pelaksanaannya oleh orang lain untuk orang lain itu tidak sah, kecuali dalam kondisi-kondisi yang dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi SAW.
Dan tidak ada disebutkan dalam hadis-hadis tentang adanya orang yang mewakili orang lain dalam melaksanakan ibadah haji, sehingga kita tidak memiliki alasan untuk membolehkannya. Ini adalah satu riwayat dari imam Ahmad.
(mhy)