Syaikh Al-Qardhawi: Ijtihad Bukan Asal Tajdid, Bukan Pula Tabdid
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan sesungguhnya seruan untuk berijtihad dewasa ini bukan sekadar asal-asalan dan membuka pintunya kepada setiap orang yang mengaku dengan lantang padahal belum terpenuhi syarat-syarat utama dalam ijtihad.
Dalam buku berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997), Al-Qardhawi menjelaskan sesungguhnya sebagian da'i atau aktivis Tajdid (pembaharuan) dan 'Ath-Thawwur', (perkembangan) ada yang menghendaki untuk mengembangkan Islam sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka.
Allah SWT berfirman: "Andaikan kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya." ( QS Al Mu'minun : 71)
Hawa nafsu mereka itu dipengaruhi oleh pengetahuan yang mereka peroleh dari pengetahuan Barat dengan pemahaman yang dangkal atau sudah dikaburkan dari orisinalitas Islam.
"Mereka tidak mampu memisahkan antara sisi keislaman yang memiliki sifat konstan dan tetap selamanya dalam hukum Islam dan ajarannya dengan sisi, fleksibel yang berkembang dan yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman, tempat dan kondisi," ujar Al-Qardhawi.
Mereka mengkritik fiqih dan menganggapnya sebagai sekadar sudut pandang yang menggambarkan pendapat orang tertentu dalam lingkungan tertentu dan pada masa tertentu. Sehingga apabila terjadi perbedaan masa, perbedaan lingkungan dan perbedaan orangnya maka dibolehkan untuk membuat fiqih baru yang menggambarkan perubahan masa, tempat dan orangnya.
Ini memang benar, kata Al-Qardhawi, jika dilihat dari rincian pendapat sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha' dalam berbagai ijtihad, tetapi tidak benar jika dilihat dari fiqih secara keseluruhan sebagai khasanah kekayaan hukum yang besar yang telah dibangun oleh orang-orang yang berakal cerdas dimulai dari para sahabat, kemudian generasi setelahnya sepanjang masa dengan berpedoman pada Al Qur'an Al Karim dan Sunnah Muthaharah.
"Saya tidak tahu dan saya kira tidak ada orang yang tahu bahwa ada sebuah umat yang membuang warisannya berupa hukum positif ke belakang dan memulai dari nol untuk membuat undang-undang baru untuk hari ini dan esok, tanpa mau mengambil faedah dari sejarah masa lalunya," ujar Al-Qardhawi. "Apatah lagi terhadap warisan fiqih yang memancar dari sumber Rabani (dari Allah)," lanjutnya.
Baca juga: Syaikh Al-Qardhawi: Hukum Positif ke Negeri Muslim Mirip dengan Masuknya Bangsa Yahudi ke Tanah Palestina
https://kalam.sindonews.com/read/1103963/69/syaikh-al-qardhawi-hukum-positif-ke-negeri-muslim-mirip-dengan-masuknya-bangsa-yahudi-ke-tanah-palestina-1684627540
Jika kita serahkan mereka dalam hal-hal yang berkaitan dengan fiqih dan fuqaha' maka kita akan mendapatkan mereka itu melompat dengan lompatan lain, yang dengan itu mereka ingin menolak Sunnah Nabawiyah yang berfungsi sebagai penjelas Al Qur'an baik secara teori ataupun secara aplikatif, padahal Allah telah mewajibkan kepada kita untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya.
Sebagaimana dalam firman-Nya: "Katakanlah, "Taatilah Allah dan taatilah Rasul...." ( QS An Nuur : 54)
Allah menjadikan taat kepada Rasul-Nya itu sebagai taat kepada-Nya: "Barangsiapa taat kepada Rasul maka ia kepada Allah." ( QS An-Nisa ':80)
Tidak heran jika kita menemukan di antara mereka ada yang mengajak untuk cukup dengan Al Qur'an dan menolak seluruh Sunnah atau hanya mengambil Sunnah hadits mutawatir saja sementara meniadakan hadits-hadits ahad, padahal sebagian besar hadits adalah hadits ahad. Atau ada yang mengajak untuk mengambil hadits-hadits, fi'liyah saja, sementara menolak hadits-hadits qauliyah, padahal perputaran Sunnah itu banyak berkisar pada hadits-hadits qauliyah.
Termasuk kebodohan mereka adalah bahwa dengan itu sebenarnya mereka telah bertentangan dengan Al Qur'an itu sendiri dan keluar dari ijma' ummat serta mengingkari sesuatu yang sudah menjadi kepastian dari agama.
Jika kita biarkan mereka dan kita terima kata-kata mereka yang mardud yaitu tentang Sunnah, maka mereka akan segera melangkah dengan langkah yang lebih berani dan lebih keji, yaitu berani untuk menolak Al Qur'an itu sendiri dan juga menolak hukum-hukum Al Quran yang permanen dan pasti.
Tidak heran jika kita dapatkan di antara mereka ada yang menulis tanpa mempunyai perasaan malu dengan maksud ingin menghilangkan ketentuan-ketentuan Allah, baik berupa perintah atau larangan, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Semua itu mereka lakukan dengan alasan mengikuti perkembangan zaman dan atas nama "reaktualisasi" dengan memelihara ruh Islam bukan bentuk zahirnya.
Menurut, al-Qardhawi, ada salah seorang di antara mereka yang memiliki kesempatan untuk menulis di surat-surat kabar dan majalah-majalah dengan semaunya ia mengatakan dalam tulisannya, "Sesungguhnya Al Qur'an itu tidak diturunkan untuk mengatur era ruang angkasa, tetapi untuk mengatur masyarakat primintif jahiliyah."
Dalam buku berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997), Al-Qardhawi menjelaskan sesungguhnya sebagian da'i atau aktivis Tajdid (pembaharuan) dan 'Ath-Thawwur', (perkembangan) ada yang menghendaki untuk mengembangkan Islam sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka.
Allah SWT berfirman: "Andaikan kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya." ( QS Al Mu'minun : 71)
Hawa nafsu mereka itu dipengaruhi oleh pengetahuan yang mereka peroleh dari pengetahuan Barat dengan pemahaman yang dangkal atau sudah dikaburkan dari orisinalitas Islam.
"Mereka tidak mampu memisahkan antara sisi keislaman yang memiliki sifat konstan dan tetap selamanya dalam hukum Islam dan ajarannya dengan sisi, fleksibel yang berkembang dan yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman, tempat dan kondisi," ujar Al-Qardhawi.
Mereka mengkritik fiqih dan menganggapnya sebagai sekadar sudut pandang yang menggambarkan pendapat orang tertentu dalam lingkungan tertentu dan pada masa tertentu. Sehingga apabila terjadi perbedaan masa, perbedaan lingkungan dan perbedaan orangnya maka dibolehkan untuk membuat fiqih baru yang menggambarkan perubahan masa, tempat dan orangnya.
Ini memang benar, kata Al-Qardhawi, jika dilihat dari rincian pendapat sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha' dalam berbagai ijtihad, tetapi tidak benar jika dilihat dari fiqih secara keseluruhan sebagai khasanah kekayaan hukum yang besar yang telah dibangun oleh orang-orang yang berakal cerdas dimulai dari para sahabat, kemudian generasi setelahnya sepanjang masa dengan berpedoman pada Al Qur'an Al Karim dan Sunnah Muthaharah.
"Saya tidak tahu dan saya kira tidak ada orang yang tahu bahwa ada sebuah umat yang membuang warisannya berupa hukum positif ke belakang dan memulai dari nol untuk membuat undang-undang baru untuk hari ini dan esok, tanpa mau mengambil faedah dari sejarah masa lalunya," ujar Al-Qardhawi. "Apatah lagi terhadap warisan fiqih yang memancar dari sumber Rabani (dari Allah)," lanjutnya.
Baca juga: Syaikh Al-Qardhawi: Hukum Positif ke Negeri Muslim Mirip dengan Masuknya Bangsa Yahudi ke Tanah Palestina
https://kalam.sindonews.com/read/1103963/69/syaikh-al-qardhawi-hukum-positif-ke-negeri-muslim-mirip-dengan-masuknya-bangsa-yahudi-ke-tanah-palestina-1684627540
Jika kita serahkan mereka dalam hal-hal yang berkaitan dengan fiqih dan fuqaha' maka kita akan mendapatkan mereka itu melompat dengan lompatan lain, yang dengan itu mereka ingin menolak Sunnah Nabawiyah yang berfungsi sebagai penjelas Al Qur'an baik secara teori ataupun secara aplikatif, padahal Allah telah mewajibkan kepada kita untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya.
Sebagaimana dalam firman-Nya: "Katakanlah, "Taatilah Allah dan taatilah Rasul...." ( QS An Nuur : 54)
Allah menjadikan taat kepada Rasul-Nya itu sebagai taat kepada-Nya: "Barangsiapa taat kepada Rasul maka ia kepada Allah." ( QS An-Nisa ':80)
Tidak heran jika kita menemukan di antara mereka ada yang mengajak untuk cukup dengan Al Qur'an dan menolak seluruh Sunnah atau hanya mengambil Sunnah hadits mutawatir saja sementara meniadakan hadits-hadits ahad, padahal sebagian besar hadits adalah hadits ahad. Atau ada yang mengajak untuk mengambil hadits-hadits, fi'liyah saja, sementara menolak hadits-hadits qauliyah, padahal perputaran Sunnah itu banyak berkisar pada hadits-hadits qauliyah.
Termasuk kebodohan mereka adalah bahwa dengan itu sebenarnya mereka telah bertentangan dengan Al Qur'an itu sendiri dan keluar dari ijma' ummat serta mengingkari sesuatu yang sudah menjadi kepastian dari agama.
Jika kita biarkan mereka dan kita terima kata-kata mereka yang mardud yaitu tentang Sunnah, maka mereka akan segera melangkah dengan langkah yang lebih berani dan lebih keji, yaitu berani untuk menolak Al Qur'an itu sendiri dan juga menolak hukum-hukum Al Quran yang permanen dan pasti.
Tidak heran jika kita dapatkan di antara mereka ada yang menulis tanpa mempunyai perasaan malu dengan maksud ingin menghilangkan ketentuan-ketentuan Allah, baik berupa perintah atau larangan, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Semua itu mereka lakukan dengan alasan mengikuti perkembangan zaman dan atas nama "reaktualisasi" dengan memelihara ruh Islam bukan bentuk zahirnya.
Menurut, al-Qardhawi, ada salah seorang di antara mereka yang memiliki kesempatan untuk menulis di surat-surat kabar dan majalah-majalah dengan semaunya ia mengatakan dalam tulisannya, "Sesungguhnya Al Qur'an itu tidak diturunkan untuk mengatur era ruang angkasa, tetapi untuk mengatur masyarakat primintif jahiliyah."