Benarkah Madinah Jadi Ukuran Benar dan Salah? Ini Penjelasan Ustaz Ahmad Syahrin
loading...
A
A
A
"Kemudian di masa-masa berikutnya sampai zaman kita sekarang ini (Masa imam Nawawi), kaum muslimin silih berganti berziarah ke Madinah, untuk datang ke kubur Nabi ﷺ, bertabarruk dengan napak tilas tempat-tempat yang menjadi bekas beliau dan para shahabatnya yang mulia. Dan tidak ada yang datang ke sana kecuali orang beriman." [Syarah Muslim li Nawawi (2/177)]
4. Orang Mukmin akan Selalu Rindu Madinah
Sebagian ulama lainnya memaknai hadits ini sebagai gambaran kecintaan orang beriman kepada Kota Madinah. Sebagaimana ular adalah hewan yang gesit dan bersegera jika ia ingin kembali ke lubangnya, orang mukmin juga akan bersiap-siap dan bergegas ketika ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Madinah.
Berkata Ibnu Battal rahimahullah:
فيه أن المدينة لا يأتيها إلا المؤمن، وإنما يسوقه إليها إيمانه ومحبته فى النبى صلى الله عليه وسلم فكأن الإيمان يرجع إليها كما خرج منها أولا، ومنها ينتشر كانتشار الحية من جحرها، ثم إذا راعها شىء رجعت إلى جحرها
"Hal ini karena memang Madinah tidak akan didatangi kecuali oleh orang beriman. Mereka merindukan Madinah karena keimanan dan kecintaan kepada Nabi ﷺ. Dan sebagaimana iman kembali ke Madinah sebagaimana ia pernah keluar berasal dari Madinah di awal (dakwah). Darinya tersebar dakwah sebagaimana ular keluar dari lubangnya dan ketika terancam juga kembali ke dalamnya." [Syarah Ibnu Batthal (4/548)]
Jika ditarik kesimpulan, tidak ada satupun ulama yang menjadikan hadits di atas sebagai dalil bahwa kelompok atau mazhab yang ada di Madinah lebih unggul dari yang lain. Apalagi sampai mengklaim pemahaman yang ada di sana lebih benar dari yang ada si tempat lain.
Demikian juga menjadikan hadits di atas dan hadits-hadits lainnya tentang keutamaan Madinah sebagai dalil sebaiknya berguru dan mengambil ilmu itu dari alumni-alumni Madinah jelas kengawuran tingkat tinggi.
Jika logikanya demikian, mengapa para ulama dahulu repot-repot ada yang keliling ke berbagai negeri-negeri Islam untuk menimba ilmu dari berbagai ulama di tempat tersebut. Ya kan haditsnya jelas itu, dan tentu ulama di masa itu jauh lebih berilmu dari ulama-ulama hari ini.
Kalau mereka hidup di masa itu, tentulah ulama seperti Imam Syafi'i akan ditahdzir oleh mereka karena keluar dari Madinah dan melanjutkan belajar ke Kufah. Begitu juga nasib para Muhaditsin yang lain akan dianggap menyimpang karena malah memilih negeri lain sebagai tempat untuk mengambil hadits.
Karena itulah Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata: "Jika yang dimaksud adalah berlakunya keutamaan ini bagi seluruh penduduk Madinah sepanjang zaman, maka inilah yang menjadi titik tengkar sebenarnya. Tidak ada alasan yang dibenarkan untuk mengatakan demikian, sebab zaman belakangan setelah zaman para imam mujtahid tidak ada lagi di Madinah orang yang menandingi seorang pun dari generasi itu dalam hal ilmu dan keutamaan, apalagi seluruh penduduk Madinah. Bahkan, Madinah pernah ditempati oleh Ahli Bid'ah tercela yang tidak diragukan lagi kebusukan niat dan kejahatan akhlak mereka." [Fathul Bari (13/312)]
Wallahu A'lam
Baca Juga: Keutamaan Madinah, Kota Suci yang Tak Bisa Dimasuki Dajjal (Bagian 1)
Referensi:
[1] Syarh Zarqani (12/250)
[2] Al Ihsan fi at Taqrib fi shahih Ibnu Hibban (9/45)
[3] Fath al Bari ( 4/94)
[4] Syarah Muslim li Nawawi (2/177)
[5] Syarah Ibnu Batthal (4/548)
[6] Fathul Bari (13/312)
4. Orang Mukmin akan Selalu Rindu Madinah
Sebagian ulama lainnya memaknai hadits ini sebagai gambaran kecintaan orang beriman kepada Kota Madinah. Sebagaimana ular adalah hewan yang gesit dan bersegera jika ia ingin kembali ke lubangnya, orang mukmin juga akan bersiap-siap dan bergegas ketika ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Madinah.
Berkata Ibnu Battal rahimahullah:
فيه أن المدينة لا يأتيها إلا المؤمن، وإنما يسوقه إليها إيمانه ومحبته فى النبى صلى الله عليه وسلم فكأن الإيمان يرجع إليها كما خرج منها أولا، ومنها ينتشر كانتشار الحية من جحرها، ثم إذا راعها شىء رجعت إلى جحرها
"Hal ini karena memang Madinah tidak akan didatangi kecuali oleh orang beriman. Mereka merindukan Madinah karena keimanan dan kecintaan kepada Nabi ﷺ. Dan sebagaimana iman kembali ke Madinah sebagaimana ia pernah keluar berasal dari Madinah di awal (dakwah). Darinya tersebar dakwah sebagaimana ular keluar dari lubangnya dan ketika terancam juga kembali ke dalamnya." [Syarah Ibnu Batthal (4/548)]
Jika ditarik kesimpulan, tidak ada satupun ulama yang menjadikan hadits di atas sebagai dalil bahwa kelompok atau mazhab yang ada di Madinah lebih unggul dari yang lain. Apalagi sampai mengklaim pemahaman yang ada di sana lebih benar dari yang ada si tempat lain.
Demikian juga menjadikan hadits di atas dan hadits-hadits lainnya tentang keutamaan Madinah sebagai dalil sebaiknya berguru dan mengambil ilmu itu dari alumni-alumni Madinah jelas kengawuran tingkat tinggi.
Jika logikanya demikian, mengapa para ulama dahulu repot-repot ada yang keliling ke berbagai negeri-negeri Islam untuk menimba ilmu dari berbagai ulama di tempat tersebut. Ya kan haditsnya jelas itu, dan tentu ulama di masa itu jauh lebih berilmu dari ulama-ulama hari ini.
Kalau mereka hidup di masa itu, tentulah ulama seperti Imam Syafi'i akan ditahdzir oleh mereka karena keluar dari Madinah dan melanjutkan belajar ke Kufah. Begitu juga nasib para Muhaditsin yang lain akan dianggap menyimpang karena malah memilih negeri lain sebagai tempat untuk mengambil hadits.
Karena itulah Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata: "Jika yang dimaksud adalah berlakunya keutamaan ini bagi seluruh penduduk Madinah sepanjang zaman, maka inilah yang menjadi titik tengkar sebenarnya. Tidak ada alasan yang dibenarkan untuk mengatakan demikian, sebab zaman belakangan setelah zaman para imam mujtahid tidak ada lagi di Madinah orang yang menandingi seorang pun dari generasi itu dalam hal ilmu dan keutamaan, apalagi seluruh penduduk Madinah. Bahkan, Madinah pernah ditempati oleh Ahli Bid'ah tercela yang tidak diragukan lagi kebusukan niat dan kejahatan akhlak mereka." [Fathul Bari (13/312)]
Wallahu A'lam
Baca Juga: Keutamaan Madinah, Kota Suci yang Tak Bisa Dimasuki Dajjal (Bagian 1)
Referensi:
[1] Syarh Zarqani (12/250)
[2] Al Ihsan fi at Taqrib fi shahih Ibnu Hibban (9/45)
[3] Fath al Bari ( 4/94)
[4] Syarah Muslim li Nawawi (2/177)
[5] Syarah Ibnu Batthal (4/548)
[6] Fathul Bari (13/312)
(rhs)