Kriteria Bid'ah Menurut Syaikh Al-Utsaimin
loading...
A
A
A
Apa pengertian bidah dan apa kriterianya? Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pengertian bidah secara syari intinya adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan Allah.
"Bisa juga Anda mengatakan bahwa bidah adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh Nabi SAW dan tidak pula oleh para Khulafaur Rasyidin ," ujar Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam buku berjudul "Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Fatwa-Fatwa Terkini" disusun Khalid Al-Juraisiy.
Al-Utsaimin menjelaskan, definisi pertama disimpulkan dari firman Allah SWT:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’ atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah.” ( QS Asy-Syura/42 : 21)
Sedangkan definisi kedua disimpulkan dari sabda Nabi SAW:
Artinya: “Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah Khulafa ‘ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunah-sunah itu dengan geraham, dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara baru yang diada-adakan“ (HR Abu Dawud dan Ibnu Majjah)
Jadi, kata Al-Utsaimin, setiap yang beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyaritkan Allah atau dengan sesuatu yang tidak ditunjukan oleh Nabi SAW dan Khulafa’ur Rasyidin, berarti ia pelaku bidah, baik ibadah itu berkaitan dengan Asma’ Allah dan sifat-sifatNya ataupun yang berhubungan dengan hukum-hukum dan syarat-syaratnya.
Adapun perkara-perkar bisa yang mengikuti kebiasan dan tradisi, menurut Al-Utsaimin, tidak disebut bidah dalam segi agama walapun disebut bidah secah bahasa.
"Jadi yang demikian ini bukan bidah dalam agama dan tidak termasuk hal yang diperingatkan oleh Rasulullah SAW," katanya.
"Bisa juga Anda mengatakan bahwa bidah adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh Nabi SAW dan tidak pula oleh para Khulafaur Rasyidin ," ujar Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam buku berjudul "Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Fatwa-Fatwa Terkini" disusun Khalid Al-Juraisiy.
Baca Juga
Al-Utsaimin menjelaskan, definisi pertama disimpulkan dari firman Allah SWT:
اَمْ لَهُمْ شُرَكٰۤؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْۢ بِهِ اللّٰهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’ atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah.” ( QS Asy-Syura/42 : 21)
Sedangkan definisi kedua disimpulkan dari sabda Nabi SAW:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya: “Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah Khulafa ‘ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunah-sunah itu dengan geraham, dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara baru yang diada-adakan“ (HR Abu Dawud dan Ibnu Majjah)
Jadi, kata Al-Utsaimin, setiap yang beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyaritkan Allah atau dengan sesuatu yang tidak ditunjukan oleh Nabi SAW dan Khulafa’ur Rasyidin, berarti ia pelaku bidah, baik ibadah itu berkaitan dengan Asma’ Allah dan sifat-sifatNya ataupun yang berhubungan dengan hukum-hukum dan syarat-syaratnya.
Adapun perkara-perkar bisa yang mengikuti kebiasan dan tradisi, menurut Al-Utsaimin, tidak disebut bidah dalam segi agama walapun disebut bidah secah bahasa.
"Jadi yang demikian ini bukan bidah dalam agama dan tidak termasuk hal yang diperingatkan oleh Rasulullah SAW," katanya.
(mhy)