Inilah Mengapa Abu Bakar Ash-Shiddiq Menerima Islam Tanpa Ragu
loading...
A
A
A
Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang yang langsung menerima Islam begitu Nabi Muhammad SAW memberi tahu. Rasulullah berkata: "Tak seorang pun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu Bakar bin Abi Quhafah. Ia tidak menunggu-nunggu dan tidak ragu ketika kusampaikan kepadanya."
Langkahnya ini kemudian diikuti Utsman bin Affan , Abdur-Rahman bin Auf , Talhah bin Ubaidillah , Sa'd bin Abi Waqqas dan Zubair bin Awwam . Sesudah mereka yang kemudian menyusul masuk Islam - atas ajakan Abu Bakar - ialah Abu Ubaidah bin Jarrah dan banyak lagi yang lain dari penduduk Makkah.
"Adakalanya orang akan merasa heran betapa Abu Bakar tidak merasa ragu menerima Islam ketika pertama kali disampaikan Muhammad kepadanya itu," tulis Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati".
Tatkala Nabi Muhammad menerangkan tentang tauhid dan mengajaknya masuk Islam, Abu Bakar langsung menerima. Dia juga percaya ketika Nabi Muhammad menceritakan kepadanya mengenai gua Hira dan wahyu yang diterimanya. "Ia mempercayainya tanpa ragu," tutur Haekal.
Abu Bakar adalah salah seorang pemikir Makkah yang memandang penyembahan berhala itu suatu kebodohan dan kepalsuan belaka. Ia sudah mengenal benar Muhammad - kejujurannya, kelurusan hatinya serta kejernihan pikirannya.
Semua itu tidak memberi peluang dalam hatinya untuk merasa ragu, apa yang telah diceritakan kepadanya, dilihatnya dan didengarnya. Apalagi karena apa yang diceritakan Rasulullah kepadanya itu dilihatnya memang sudah sesuai dengan pikiran yang sehat. Pikirannya tidak merasa ragu lagi, ia sudah mempercayainya dan menerima semua itu.
Berdakwah
Abu Bakar menyatakan terang-terangan keislamannya, lalu mengajak orang kepada ajaran Allah dan Rasulullah dan meneruskan dakwahnya untuk meyakinkan kaum Muslimin yang mula-mula untuk mempercayai Muhammad dan mengikuti ajaran agamanya, inilah yang belum pernah dilakukan orang; kecuali mereka yang sudah begitu tinggi jiwanya, yang sudah sampai pada tingkat membela kebenaran demi kebenaran.
Orang demikian ini sudah berada di atas kepentingan hidup pribadinya sehari hari. "Kita lihat, dalam membela agama, dalam berdakwah untuk agama, segala kebesaran dan kemewahan hidup duniawinya dianggapnya kecil belaka," tutur Haekal.
Langkahnya ini kemudian diikuti Utsman bin Affan , Abdur-Rahman bin Auf , Talhah bin Ubaidillah , Sa'd bin Abi Waqqas dan Zubair bin Awwam . Sesudah mereka yang kemudian menyusul masuk Islam - atas ajakan Abu Bakar - ialah Abu Ubaidah bin Jarrah dan banyak lagi yang lain dari penduduk Makkah.
"Adakalanya orang akan merasa heran betapa Abu Bakar tidak merasa ragu menerima Islam ketika pertama kali disampaikan Muhammad kepadanya itu," tulis Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati".
Tatkala Nabi Muhammad menerangkan tentang tauhid dan mengajaknya masuk Islam, Abu Bakar langsung menerima. Dia juga percaya ketika Nabi Muhammad menceritakan kepadanya mengenai gua Hira dan wahyu yang diterimanya. "Ia mempercayainya tanpa ragu," tutur Haekal.
Abu Bakar adalah salah seorang pemikir Makkah yang memandang penyembahan berhala itu suatu kebodohan dan kepalsuan belaka. Ia sudah mengenal benar Muhammad - kejujurannya, kelurusan hatinya serta kejernihan pikirannya.
Semua itu tidak memberi peluang dalam hatinya untuk merasa ragu, apa yang telah diceritakan kepadanya, dilihatnya dan didengarnya. Apalagi karena apa yang diceritakan Rasulullah kepadanya itu dilihatnya memang sudah sesuai dengan pikiran yang sehat. Pikirannya tidak merasa ragu lagi, ia sudah mempercayainya dan menerima semua itu.
Berdakwah
Abu Bakar menyatakan terang-terangan keislamannya, lalu mengajak orang kepada ajaran Allah dan Rasulullah dan meneruskan dakwahnya untuk meyakinkan kaum Muslimin yang mula-mula untuk mempercayai Muhammad dan mengikuti ajaran agamanya, inilah yang belum pernah dilakukan orang; kecuali mereka yang sudah begitu tinggi jiwanya, yang sudah sampai pada tingkat membela kebenaran demi kebenaran.
Orang demikian ini sudah berada di atas kepentingan hidup pribadinya sehari hari. "Kita lihat, dalam membela agama, dalam berdakwah untuk agama, segala kebesaran dan kemewahan hidup duniawinya dianggapnya kecil belaka," tutur Haekal.
(mhy)