Piagam Madinah: Shahifah, Nama Lain Perjanjian Kaum Yahudi dan Rasulullah SAW

Senin, 16 Oktober 2023 - 10:32 WIB
loading...
A A A
Dalam arti, setelah kedatangan Nabi ke Madinah tidak dibutuhkan dokumen perjanjian baru antara kaum Muhajirin di satu pihak, dengan beliau sebagai pemimpin mereka, dan suku Aus dan Khazraj serta para pemuka mereka di pihak lain.

Belum lagi pengaturan yang ditetapkan sang Nabi dengan mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar pada bulan-bulan pertama kedatangannya ke Madinah, pastinya ia punya pengaruh mendalam terhadap setiap individu muslim di Madinah. Karena berkat semangat persaudaraan dan ikatan keimanan ini, sedikit-banyak mereka telah berhasil mengatasi banyak perbedaan yang bisa jadi menyebabkan konflik internal.

Di sisi lain, Yahudi Madinah bukanlah salah satu pihak dalam Bai'ah alAqabah Kedua. Jelas, mereka tidak pernah mengajak Rasulullah tinggal bersama mereka di Yatsrib. Karena itu, masuk akal jika setibanya di Madinah, beliau segera mengupayakan kesepahaman dan perdamaian dengan mereka dengan menulis satu, atau barangkali lebih dari satu, dokumen perjanjian.

Al-Maqrizi (w. 845 H) dalam Imta' al-Asmd menulis bahwa Rasulullah berdamai dengan orang-orang Yahudi Madinah dan menuliskannya dalam sebuah dokumen. Mereka terdiri dari tiga kelompok: Bani Qainuga, Bani Nadhir, dan Bani Ouraizhah.

Perlu kita garis bawahi, kata Muhammad bin Fariz, dalam riwayat ini al-Maqrizi tidak menyebutkan kaum muslimin. Al-Maqrizi tidak menyebutkan pula maksud dokumen tersebut, tetapi patut dicatat bahwa makna muwida'ah adalah shulh dan silm (perdamaian). Pemaknaan ini seperti disebutkan contohnya dalam al-Nihdyah fi Gharib al-Hadits, “Nabi berdamai dengan Bani Fulan, yakni berdamai dengan mereka, dengan syarat mereka tidak memerangi dan mengganggu.”



Muhammad bin Fariz menjelaskan definisi muwada'ah itu kurang lebih sepadan dengan apa yang dinukil al-Balazhuri mengenai muwida'ah Rasulullah dengan orang-orang Yahudi. Dia melaporkan, “Saat tiba di Madinah, Rasulullah wida'a (berdamai) dengan orang-orang Yahudi di sana dan menulis dokumen perjanjian antar mereka."

"Beliau mengajukan beberapa klausul: mereka tidak boleh membantu musuhnya, mereka harus membantunya menghadapi pihak lain yang menyerang, dan ahl al-zhimmah (orang kafir yang membayar jizyah dan minta perlindungan orang muslim) tidak boleh diperangi.”

Sementara itu, ath-Thabari (w. 310 H) menuturkan bahwa ketika sampai di Madinah, Nabi Muhammad wida'a (berdamai) dengan orang-orang Yahudi di sana dengan dua syarat. Yaitu mereka tidak boleh membantu siapa pun yang memerangi beliau, dan jika musuh menyerang beliau maka mereka harus membantu melawannya.

Dibandingkan contoh-contoh muwadda'ah atau perjanjian tersebut, ujar Muhammad bin Fariz, kita mendapati bahwa perjanjian terkait orang-orang Yahudi yang termaktub dalam Piagam Madinah berbeda pada banyak segi.

"Hal ini menjadi salah satu alasan saya mengajukan hipotesis bahwa teks-teks perjanjian semacam ini disepakati Rasulullah bersama kabilah-kabilah besar Yahudi pada periode pra-Badar," kata Muhammad bin Fariz.

Juga tidak mustahil kalau isi perjanjian itu disepakati dengan masing-masing kabilah secara terpisah, mengingat afiliasi mereka yang berbeda terhadap kabilah-kabilah Arab di Madinah. Bani Quraizhah dan Bani Nadhir adalah sekutu kabilah Aus, sedangkan Bani Qainuga adalah sekutu kabilah Khazraj.



Menurut Muhammad bin Fariz, tak diragukan lagi bahwa peristiwa Bu'ats, yang terjadi tak lama sebelum Hijrah, memiliki pengaruh yang mendalam dan berkepanjangan terhadap perpecahan internal kaum Yahudi. Sehingga, tidaklah mudah menyatukan mereka dalam sebuah piagam tunggal seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab az-Zuhri.

Analisis demikian mengantarkan kita pada hipotesis bahwa bagian terkait orang-orang Yahudi dalam Piagam Madinah ditulis setelah Perang Badar. Tak tersisa pilihan lain di hadapan kubu-kubu yang bertikai di kalangan Yahudi Madinah, barangkali juga dari kalangan orang-orang musyrik, kecuali harus mengakui realitas yang mewujud di Badar dan mengamini kepemimpinan mutlak Rasulullah atas masyarakat Madinah.

"Selain itu, harus diasumsikan bahwa bagian mengenai orang-orang Yahudi dalam Piagam Madinah baru ditulis dan diakui setelah penulisan bagian terkait kaum Muhajirin dan Anshar," ujar Muhammad bin Fariz.

Menurut Muhammad bin Fariz, keunggulan hipotesis ini barangkali akan jelas saat kita mendiskusikan penulisan bagian Piagam terakhir (dari pihak muslimin). Karena Bai'ah alAgabah Kedua beserta klausul-klausul yang dimuatnya, yang barangkali dalam bentuk tertulis, di samping menetapkan prinsip persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar di Madinah, dengan sendirinya ia meniadakan kebutuhan penulisan dokumen baru hingga terjadinya Perang Badar.

Namun, tidaklah mustahil bahwa setelah Perang Badar keadaan berubah dan berbagai relasi dan kepentingan berbagai kubu saling tumpang tindih sehingga dibutuhkan penulisan Piagam Madinah antara Muhajirin dan Anshar, terutama karena kaum Anshar mulai saat itu menjadi salah satu kubu menghadapi kaum kafir Quraisy dan para sekutunya.



Dalam riwayat dari Ibnu Syihab az-Zuhri, disebutkan bahwa Rasulullah menulis dokumen berikut: “Ini adalah dokumen tertulis dari Nabi Muhammad untuk kaum mukminin dan muslimin Quraisy serta penduduk Yatsrib dan orang-orang yang mengikuti, menggabungkan diri, tinggal bersama, dan berjuang dengan mereka. Sesungguhnya, mereka semua adalah satu umat yang berbeda dari kelompok manusia yang lain.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2091 seconds (0.1#10.140)