Catatan Invasi Israel ke Lebanon dan Pembantaian Sabra dan Shatila
loading...
A
A
A
Pembantaian Sabra dan Shatila terjadi pada September 1982, di Beirut, Lebanon , yang saat itu diduduki oleh Israel . Pembantaian ini dilakukan oleh para milisi Kristen Maronit Lebanon atas para pengungsi Palestina di kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Pasukan-pasukan Maronit berada langsung di bawah komando Elie Hobeika yang belakangan menjadi anggota parlemen Lebanon, dan pada tahun 1990-an juga menjadi seorang menteri di kabinet Lebanon.
Sepanjang peristiwa ini, kamp-kamp ini dikepung oleh tentara-tentara Israel, dan para milisi itu dikirim oleh Israel untuk mencari anggota PLO. Israel menyangkal bahwa pihaknya bertanggungjawab langsung. Namun temuan-temuan membuktikan bahwa orang-orang Israel, antara lain Ariel Sharon, secara tidak langsung bertanggungjawab.
Selain pembantaian Sabra dan Satila, Mantan anggota Kongres AS , Paul Findley (1921 – 2019), menyebut dalam waktu satu pekan invasi pasukan Israel berada di Beirut, hampir 60 mil dari Israel. Pada saat itu daratan Lebanon hancur dan 200.000 orang rakyatnya tercabut dari akar mereka, dan setidak-tidaknya 20.000 orang terluka atau terbunuh.
Perdana Menteri Israel Menachem Begin menolak permintaan internasional untuk menghentikan pembantaian, dengan menyatakan bahwa invasi itu akan mengantarkan pada suatu era '40 tahun perdamaian'.
"Sebagai gantinya dia memerintahkan pengepungan Beirut Barat dengan lebih dari 500.000 penduduk sipilnya," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Beirut Barat berulang kali dibom dari udara dan terus menjadi sasaran bombardemen artileri dan tembakan dari kapal. Bom-bom cluster, napalm, fosfor, dan bahkan senjata-senjata canggih digunakan untuk menyerang daerah-daerah pemukiman.
Omong Kosong
"Tidak pernah terlintas dalam pikiran setiap orang yang terlibat dalam unit-unit militer Lebanon yang selanjutnya memasuki kamp-kamp Sabra dan Shatila bahwa mereka akan melakukan pembantaian," ujar Perdana Menteri Israel, Menachem Begin.
Faktanya, Paul Findley mangatakan, sudah jelas pada 6 September bahwa suatu pembantaian tengah dilakukan di beberapa kamp pengungsi Palestina di Lebanon.
Utusan Khusus AS, Morris Draper, cukup peduli dengan mengemukakan masalah keamanan para pengungsi pada Perdana Menteri Israel Ariel Sharon dan Kepala Staf Rafael Eitan.
Draper mengusulkan agar angkatan bersenjata Lebanon dikirim ke kamp-kamp pengungsi Palestina di selatan Beirut untuk mencari "para teroris" yang menurut Sharon bersembunyi di sana. Namun Eitan mengatakan bahwa angkatan bersenjata regular tidak mampu memikul tugas itu, sambil menambahkan: 'Lebanon sedang berada pada titik ledak menjadi huru-hara balas dendam...'
"Saya katakan pada Anda bahwa beberapa komandan mereka mengunjungi saya, dan saya dapat melihat pada mata mereka bahwa peristiwa itu akan menjadi suatu pembantaian yang sangat kejam," ujarnya.
Pada waktu itu, pasukan Israel telah mengepung kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila dan sepenuhnya menguasai area. Namun tidak seperti kata-kata yang diucapkannya pada wakil Amerika, Eitan mengizinkan milisi Phalangis Kristen Lebanon untuk memasuki dua kamp pengungsi pada 16 September untuk menggunakan "metode-metode mereka sendiri."
Eitan menjelaskan pada kabinet Israel bahwa kamp-kamp itu dikepung "oleh kami, bahwa kaum Phalangis akan mulai beroperasi malam itu di dalam kamp-kamp, bahwa kami boleh memberi perintah-perintah pada mereka sementara mustahil untuk memberi perintah pada Angkatan Bersenjata Lebanon."
Pembantaian atas kaum wanita, anak-anak, dan kaum pria yang telah tua-namun jelas bukan "teroris" yang kata orang Israel tengah bersembunyi di kamp-kamp itu, sebab tidak seorang pun yang dapat ditemukan-mulai pada malam yang sama, 16 September, dan berlangsung hingga 18 September. Ketika berita tentang pembantaian itu tersebar dan kecaman internasional tertuju pada Israel, Perdana Menteri Menachem Begin dengan marah menyatakan: "Goyim membunuh Goyim dan mereka menyalahkan orang Yahudi."
Menurut Paul Findley, sebuah pernyataan yang telah dipersiapkan oleh kabinet Israel berbunyi: "Suatu fitnah berdarah telah dilancarkan pada bangsa Yahudi."
Dan dalam sebuah surat untuk Senator Demokrat California Alan Cranston, salah seorang pendukung terkuat Israel, Begin menulis: "Seluruh kampanye... untuk menuduh Israel, menyalahkan Israel, meletakkan tanggung jawab moral pada Israel --semua itu di mata saya, seorang lelaki tua yang telah melihat begitu banyak di dalam hidupnya, hampir tak dapat dipercaya, fantastis, dan tentu saja betul-betul tercela."
Paul Findley mengatakan dalam waktu beberapa bulan Komisi Penyelidik resmi Israel, yang lebih dikenal sebagai Komisi Kahan, menyimpulkan bahwa para pejabat Israel memang ikut bersalah dalam pembantaian itu.
Laporan itu menganggap milisi Phalangis bersalah dengan "tanggung jawab langsung" dan delapan orang Israel dengan "tanggung jawab tak langsung:"
Perdana Menteri Begin, Menteri Luar Negeri Yitzhak Shamir, Menteri Pertahanan Sharon, Kepala Staf Letnan Jenderal Eitan, Kepala Intelijen Militer Mayor Jenderal Yehoshua Saguy, Mayor Jenderal Amir Drori, Brigarir Jenderal Amos Yaron, dan Pemimpin Mossad yang tidak diidentifikasi. Yaron di kemudian hari ditempatkan sebagai atase militer Israel di Washington setelah ditolak oleh Kanada karena keterlibatannya dalam pembantaian itu.
Komisi mengatakan: "Menurut pandangan kami, setiap orang yang ada kaitannya dengan kejadian-kejadian di Lebanon seharusnya mengkhawatirkan akan terjadi pembantaian di kamp-kamp, jika pasukan bersenjata Phalangis digerakkan ke dalamnya tanpa IDF [Pasukan Pertahanan Israel] menjalankan pemeriksaan dan penelitian yang konkret dan efektif atas mereka."
Bukan hanya Israel membantu masuknya Phalangis ke dalam kamp-kamp, tetapi juga para pejabat Israel tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan mereka begitu diketahui bahwa pembantaian tengah berlangsung.
Komisi mengatakan: "Jelaslah... tidak ada tindakan cepat yang diambil untuk mencegah kaum Phalangis dan untuk menghalangi aksi-aksi mereka." Koresponden New York Times, Thomas L. Friedman, di kemudian hari mencatat: "Orang-orang Israel itu tahu benar apa yang tengah mereka lakukan ketika mereka membiarkan kaum Phalangis memasuki kamp-kamp tersebut."
Israel mengatakan bahwa 700 hingga 800 orang terbunuh dalam pembantaian Sabra dan Shatila. Perkiraan-perkiraan lainnya jauh lebih tinggi. Bulan Sabit Merah Palestina mengetengahkan jumlah di atas 2.000 orang sementara para pejabat Lebanon melaporkan 762 mayat berhasil ditemukan dan 1.200 surat kematian dikeluarkan.
Sepanjang peristiwa ini, kamp-kamp ini dikepung oleh tentara-tentara Israel, dan para milisi itu dikirim oleh Israel untuk mencari anggota PLO. Israel menyangkal bahwa pihaknya bertanggungjawab langsung. Namun temuan-temuan membuktikan bahwa orang-orang Israel, antara lain Ariel Sharon, secara tidak langsung bertanggungjawab.
Selain pembantaian Sabra dan Satila, Mantan anggota Kongres AS , Paul Findley (1921 – 2019), menyebut dalam waktu satu pekan invasi pasukan Israel berada di Beirut, hampir 60 mil dari Israel. Pada saat itu daratan Lebanon hancur dan 200.000 orang rakyatnya tercabut dari akar mereka, dan setidak-tidaknya 20.000 orang terluka atau terbunuh.
Perdana Menteri Israel Menachem Begin menolak permintaan internasional untuk menghentikan pembantaian, dengan menyatakan bahwa invasi itu akan mengantarkan pada suatu era '40 tahun perdamaian'.
"Sebagai gantinya dia memerintahkan pengepungan Beirut Barat dengan lebih dari 500.000 penduduk sipilnya," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Beirut Barat berulang kali dibom dari udara dan terus menjadi sasaran bombardemen artileri dan tembakan dari kapal. Bom-bom cluster, napalm, fosfor, dan bahkan senjata-senjata canggih digunakan untuk menyerang daerah-daerah pemukiman.
Omong Kosong
"Tidak pernah terlintas dalam pikiran setiap orang yang terlibat dalam unit-unit militer Lebanon yang selanjutnya memasuki kamp-kamp Sabra dan Shatila bahwa mereka akan melakukan pembantaian," ujar Perdana Menteri Israel, Menachem Begin.
Faktanya, Paul Findley mangatakan, sudah jelas pada 6 September bahwa suatu pembantaian tengah dilakukan di beberapa kamp pengungsi Palestina di Lebanon.
Utusan Khusus AS, Morris Draper, cukup peduli dengan mengemukakan masalah keamanan para pengungsi pada Perdana Menteri Israel Ariel Sharon dan Kepala Staf Rafael Eitan.
Draper mengusulkan agar angkatan bersenjata Lebanon dikirim ke kamp-kamp pengungsi Palestina di selatan Beirut untuk mencari "para teroris" yang menurut Sharon bersembunyi di sana. Namun Eitan mengatakan bahwa angkatan bersenjata regular tidak mampu memikul tugas itu, sambil menambahkan: 'Lebanon sedang berada pada titik ledak menjadi huru-hara balas dendam...'
"Saya katakan pada Anda bahwa beberapa komandan mereka mengunjungi saya, dan saya dapat melihat pada mata mereka bahwa peristiwa itu akan menjadi suatu pembantaian yang sangat kejam," ujarnya.
Pada waktu itu, pasukan Israel telah mengepung kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila dan sepenuhnya menguasai area. Namun tidak seperti kata-kata yang diucapkannya pada wakil Amerika, Eitan mengizinkan milisi Phalangis Kristen Lebanon untuk memasuki dua kamp pengungsi pada 16 September untuk menggunakan "metode-metode mereka sendiri."
Eitan menjelaskan pada kabinet Israel bahwa kamp-kamp itu dikepung "oleh kami, bahwa kaum Phalangis akan mulai beroperasi malam itu di dalam kamp-kamp, bahwa kami boleh memberi perintah-perintah pada mereka sementara mustahil untuk memberi perintah pada Angkatan Bersenjata Lebanon."
Pembantaian atas kaum wanita, anak-anak, dan kaum pria yang telah tua-namun jelas bukan "teroris" yang kata orang Israel tengah bersembunyi di kamp-kamp itu, sebab tidak seorang pun yang dapat ditemukan-mulai pada malam yang sama, 16 September, dan berlangsung hingga 18 September. Ketika berita tentang pembantaian itu tersebar dan kecaman internasional tertuju pada Israel, Perdana Menteri Menachem Begin dengan marah menyatakan: "Goyim membunuh Goyim dan mereka menyalahkan orang Yahudi."
Menurut Paul Findley, sebuah pernyataan yang telah dipersiapkan oleh kabinet Israel berbunyi: "Suatu fitnah berdarah telah dilancarkan pada bangsa Yahudi."
Dan dalam sebuah surat untuk Senator Demokrat California Alan Cranston, salah seorang pendukung terkuat Israel, Begin menulis: "Seluruh kampanye... untuk menuduh Israel, menyalahkan Israel, meletakkan tanggung jawab moral pada Israel --semua itu di mata saya, seorang lelaki tua yang telah melihat begitu banyak di dalam hidupnya, hampir tak dapat dipercaya, fantastis, dan tentu saja betul-betul tercela."
Paul Findley mengatakan dalam waktu beberapa bulan Komisi Penyelidik resmi Israel, yang lebih dikenal sebagai Komisi Kahan, menyimpulkan bahwa para pejabat Israel memang ikut bersalah dalam pembantaian itu.
Laporan itu menganggap milisi Phalangis bersalah dengan "tanggung jawab langsung" dan delapan orang Israel dengan "tanggung jawab tak langsung:"
Perdana Menteri Begin, Menteri Luar Negeri Yitzhak Shamir, Menteri Pertahanan Sharon, Kepala Staf Letnan Jenderal Eitan, Kepala Intelijen Militer Mayor Jenderal Yehoshua Saguy, Mayor Jenderal Amir Drori, Brigarir Jenderal Amos Yaron, dan Pemimpin Mossad yang tidak diidentifikasi. Yaron di kemudian hari ditempatkan sebagai atase militer Israel di Washington setelah ditolak oleh Kanada karena keterlibatannya dalam pembantaian itu.
Komisi mengatakan: "Menurut pandangan kami, setiap orang yang ada kaitannya dengan kejadian-kejadian di Lebanon seharusnya mengkhawatirkan akan terjadi pembantaian di kamp-kamp, jika pasukan bersenjata Phalangis digerakkan ke dalamnya tanpa IDF [Pasukan Pertahanan Israel] menjalankan pemeriksaan dan penelitian yang konkret dan efektif atas mereka."
Bukan hanya Israel membantu masuknya Phalangis ke dalam kamp-kamp, tetapi juga para pejabat Israel tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan mereka begitu diketahui bahwa pembantaian tengah berlangsung.
Komisi mengatakan: "Jelaslah... tidak ada tindakan cepat yang diambil untuk mencegah kaum Phalangis dan untuk menghalangi aksi-aksi mereka." Koresponden New York Times, Thomas L. Friedman, di kemudian hari mencatat: "Orang-orang Israel itu tahu benar apa yang tengah mereka lakukan ketika mereka membiarkan kaum Phalangis memasuki kamp-kamp tersebut."
Israel mengatakan bahwa 700 hingga 800 orang terbunuh dalam pembantaian Sabra dan Shatila. Perkiraan-perkiraan lainnya jauh lebih tinggi. Bulan Sabit Merah Palestina mengetengahkan jumlah di atas 2.000 orang sementara para pejabat Lebanon melaporkan 762 mayat berhasil ditemukan dan 1.200 surat kematian dikeluarkan.
(mhy)