Kisah Rasulullah SAW Menanti Peralihan Kiblat Salat dari Baitul Maqdis ke Kakbah
loading...
A
A
A
Rasulullah SAW menanti-nanti peralihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Kakbah di Masjidilharam . Dikisahkah bahwa Nabi Muhammad SAW berdiri menghadap langit setiap hari menunggu wahyu turun perihal peralihan kiblat itu seperti digambarkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 144 berikut.
Artinya: “Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Ketika ayat tersebut turun, Rasulullah baru melaksanakan salat dua rekaat berjamaah di sebuah masjid di pinggiran kota Madinah. Dengan turunnya ayat itu, maka beliau segera menghentikan salat sebentar, kemudian beliau berputar 180 derajat menghadap arah baru, sehingga jamaah yang ikut salat itu terpaksa jalan memutar dan tetap berada di belakang Nabi.
Untuk mempertahankan bukti sejarah, hingga kini, masjid tempat salat Nabi itu masih mempertahankan dua mimbar, satu menghadap ke Kakbah dan satu lagi menghadap ke Baitul Maqdis, dan disebut dengan Masjid Qiblatain (dua kiblat).
Imam Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, menyebut: yang pertama kali di-naskh dalam Al-Qur’an ialah kiblat, bahwasanya Rasulullah SAW ketika hijrah ke Madinah, sementara penduduk Madinah mayoritas adalah Yahudi, Allah memerintahkan untuk menghadap Baitul Maqdis (ketika salat), maka berbahagialah orang Yahudi. Rasulullah menghadap Baitul Maqdis (ketika salat) selama lebih dari 10 bulan, padahal beliau lebih senang pada kiblatnya Nabi Ibrahim (Kakbah), maka beliau seringkali berdoa dan menghadap ke langit.
Dalam beberapa keterangan disebutkan, ketika Allah memerintahkan perintah salat dan menghadap ke Masjid Al-Aqsha, hal itu dimaksudkan agar menghadap ke tempat yang suci, bebas dari berbagai macam berhala dan sesembahan.
Ketika itu, kondisi Masjid Al-Haram yang merupakan tempat keberangkatan Isra dan Mi'raj, belum berupa bangunan masjid. Sebab, kala itu masih dipenuhi berhala-berhala yang jumlahnya mencapai 309 buah dan senantiasa disembah oleh orang Arab sebelum kedatangan Islam. Di bawah dominasi kekufuran seperti itu, Rasulullah SAW belum bisa menunaikan ibadah salat di tempat tersebut.
Selain itu, bila Rasulullah SAW saat itu melaksanakan salat dengan menghadap ke Masjid Al-Haram, maka hal itu akan menjadi kebanggaan bagi kaum kafir Quraisy bahwa Rasulullah SAW seolah mengakui berhala-berhala mereka sebagai tuhan. Inilah salah satu hikmah diperintahkannya salat dengan menghadap ke Baitul Maqdis (Al-Aqsha).
Ujian Keimanan
Sedangkan perpindahan ini dimaksudkan, bahwa ibadah salat itu bukan semata-mata menghadap ke masjid al-Haram atau Al-Aqsha sebagai tujuan, melainkan menghadapkan diri pada Allah. Dan adapun Kakbah adalah sebagai pemersatu umat Islam dalam menentukan arah kiblat.
Sama seperti Al-Aqsha yang juga belum berupa bangunan masjid (ketika itu), dan al-Shakhra masih berupa gundukan tanah yang dipenuhi dengan debu. Adapun hikmah di balik penyebutan Allah terhadap Al-Haram dan Al-Aqsha sebagai masjid (sebagaimana surah al-Isra ` [17] ayat 1), adalah untuk menunjukkan pada umat Islam bahwa semua itu merupakan mukjizat yang akan datang dan terwujud seiring dengan berjalannya waktu sebagaimana sekarang ini, keduanya telah menjadi masjid.
Rupanya, perubahan arah kiblat ini, selain sebagai jawaban atas doa Nabi Muhammad, juga merupakan sebentuk ujian yang Allah berikan untuk membedakan mana yang imannya asli atau palsu. Ini tergambar dalam Surat al-Baqarah ayat 143:
Artinya: “Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya: “Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Ketika ayat tersebut turun, Rasulullah baru melaksanakan salat dua rekaat berjamaah di sebuah masjid di pinggiran kota Madinah. Dengan turunnya ayat itu, maka beliau segera menghentikan salat sebentar, kemudian beliau berputar 180 derajat menghadap arah baru, sehingga jamaah yang ikut salat itu terpaksa jalan memutar dan tetap berada di belakang Nabi.
Untuk mempertahankan bukti sejarah, hingga kini, masjid tempat salat Nabi itu masih mempertahankan dua mimbar, satu menghadap ke Kakbah dan satu lagi menghadap ke Baitul Maqdis, dan disebut dengan Masjid Qiblatain (dua kiblat).
Imam Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, menyebut: yang pertama kali di-naskh dalam Al-Qur’an ialah kiblat, bahwasanya Rasulullah SAW ketika hijrah ke Madinah, sementara penduduk Madinah mayoritas adalah Yahudi, Allah memerintahkan untuk menghadap Baitul Maqdis (ketika salat), maka berbahagialah orang Yahudi. Rasulullah menghadap Baitul Maqdis (ketika salat) selama lebih dari 10 bulan, padahal beliau lebih senang pada kiblatnya Nabi Ibrahim (Kakbah), maka beliau seringkali berdoa dan menghadap ke langit.
Dalam beberapa keterangan disebutkan, ketika Allah memerintahkan perintah salat dan menghadap ke Masjid Al-Aqsha, hal itu dimaksudkan agar menghadap ke tempat yang suci, bebas dari berbagai macam berhala dan sesembahan.
Ketika itu, kondisi Masjid Al-Haram yang merupakan tempat keberangkatan Isra dan Mi'raj, belum berupa bangunan masjid. Sebab, kala itu masih dipenuhi berhala-berhala yang jumlahnya mencapai 309 buah dan senantiasa disembah oleh orang Arab sebelum kedatangan Islam. Di bawah dominasi kekufuran seperti itu, Rasulullah SAW belum bisa menunaikan ibadah salat di tempat tersebut.
Selain itu, bila Rasulullah SAW saat itu melaksanakan salat dengan menghadap ke Masjid Al-Haram, maka hal itu akan menjadi kebanggaan bagi kaum kafir Quraisy bahwa Rasulullah SAW seolah mengakui berhala-berhala mereka sebagai tuhan. Inilah salah satu hikmah diperintahkannya salat dengan menghadap ke Baitul Maqdis (Al-Aqsha).
Ujian Keimanan
Sedangkan perpindahan ini dimaksudkan, bahwa ibadah salat itu bukan semata-mata menghadap ke masjid al-Haram atau Al-Aqsha sebagai tujuan, melainkan menghadapkan diri pada Allah. Dan adapun Kakbah adalah sebagai pemersatu umat Islam dalam menentukan arah kiblat.
Sama seperti Al-Aqsha yang juga belum berupa bangunan masjid (ketika itu), dan al-Shakhra masih berupa gundukan tanah yang dipenuhi dengan debu. Adapun hikmah di balik penyebutan Allah terhadap Al-Haram dan Al-Aqsha sebagai masjid (sebagaimana surah al-Isra ` [17] ayat 1), adalah untuk menunjukkan pada umat Islam bahwa semua itu merupakan mukjizat yang akan datang dan terwujud seiring dengan berjalannya waktu sebagaimana sekarang ini, keduanya telah menjadi masjid.
Rupanya, perubahan arah kiblat ini, selain sebagai jawaban atas doa Nabi Muhammad, juga merupakan sebentuk ujian yang Allah berikan untuk membedakan mana yang imannya asli atau palsu. Ini tergambar dalam Surat al-Baqarah ayat 143:
وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
(mhy)