Keseimbangan Tauhid dan Nilai Kesatuan Menurut Hasan at-Turabi
loading...
A
A
A
Hasan at-Turabi mengatakan agama tauhid merupakan paradigma pengintegrasian dan perimbangan bagian-bagian. Kebebasan merupakan nilai esensial agama . Tanpa kebebasan tidak akan muncul kekuatan iman yang merdeka dan tidak tercapainya tujuan dalam berkreasi dan memberikan kontribusi nyata.
"Kesatuan juga merupakan nilai yang harus dimiliki, sebab tanpa kesatuan, tidak akan terkumpul dan terorganisasi suatu kekuatan," tulisnya dalam bab Kebangkitan Islam dan Negara-negara Kawasan Arab dalam buku berjudul "As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar" (Gema Insani Press).
Di atas dasar keseimbangan agama, kata at-Turabi, terjadi hubungan antara individu yang bebas dan kelompok yang terorganisasi. Keduanya disatukan oleh akidah sebagai tujuan, ibadah sebagai jalan, dan syariat sebagai sumber rujukan. "Berdasarkan gambaran tersebut, maka seluruh bentuk pemisah antar manusia, misalnya etnis atau wilayah, menyatu dalam Islam," katanya.
Menurutnya, Islam menjaga keseimbangan, tidak bersikap berat sebelah. Tujuan sejarah pertumbuhan awal Islam adalah tauhid, sebab ia berhadapan dengan realitas jahiliah yang paganistik-syirik.
Ikatan etnis, nasional, dan sejarah terkadang menjadikan orang bersikap fanatik sehingga memutuskan hubungan dengan yang lain. Setelah Islam datang, sisa-sisa kejahiliahan tersebut masih ada.
"Memang Rasulullah SAW tidak mengutak-atik masalah kesukuan, tidak mengingkari ikatan hijrah atau primordial, dan tidak pula meremehkan batas-batas wilayah," katanya.
Akan tetapi, Rasulullah SAW mengembangkan seluruh aspek tersebut menuju kemaslahatan yang lebih besar bagi umat Islam. Ketika terjadi keseimbangan antar urusan dan prioritas di antara beberapa hal yang kontradiktif, mulai dari yang sederhana (misalnya urusan keluarga, tetangga, dan kelompok) hingga yang kompleks (misalnya problema umat manusia sedunia), maka hal itu diletakkan dalam paradigma kebenaran dan keadilan, sehingga dinilai sebagai loyalitas terhadap Allah yang Maha Besar dan diatur oleh syariatnya yang tinggi.
At-Turabi lalu menunjukkan ayat-ayat al-Quran yang menyebut hal tersebut seperti surat al-Baqarah : 62, Ali Imran : 102, an-Nisa : 135, al-Anfal : 72, at-Taubah : 117, al-Mu'minun : 51-52, dan al-Hujurat : 8-12.
"Simak pula hadis-hadis tentang keutamaan bermacam-macam suku, kaum, tempat, dan kurun waktu, kemudian lihatlah keutamaan umat dan makna-makna persatuannya," ujarnya.
Selama realitas mengandung aneka ragam kekhasan masyarakat, maka keberagamaan mengalami kekhasan pula agar keduanya dapat sejalan. Jika daerah-daerah saling berjauhan sehingga penduduknya mengalami kesenjangan, maka dakwah Islam dapat dijalankan atas pertimbangan kondisi tempat dan hubungan antar-penduduk diselaraskan dengannya, sehingga model pertahanan warganya didasarkan pada agama.
Menurut At-Turabi, karena terdapat perbedaan masyarakat dengan kekhasannya masing-masing, maka pesan dakwah harus menggunakan bahasa mereka dan isi pernyataan yang disampaikan sejalan dengan sejarahnya.
Ikatan antar-masyarakat diciptakan dalam rangka beribadah kepada-Nya dan mereka dibebani tugas menegakkan Islam sesuai dengan perintah Allah SWT. Jadi, bila terdapat kekurangan potensi dalam masyarakat, maka mereka diberi beban sesuai dengan kapasitas pemahaman dan kemampuannya.
Perbedaan-perbedaan natural tersebut merupakan ujian. Kondisi demikian merupakan kesempatan beribadah secara khusus dan bisa pula merupakan fitnah yang memancing kaum muslimin untuk merumuskan ciri-ciri khusus yang bersifat regional, nasional, dan sosial yang dilarang oleh Islam.
"Maka berubahlah hubungan menjadi fanatisme nasional, sejarah, kelas, atau kelompok yang menjauhkan manusia dari pola hubungan yang lebih tepat dan mulia. Kemudian mereka menundukkan kebenaran di bawah hawa nafsunya," katanya.
Dalam kondisi absurd semacam itu, iman dapat meluaskan horison pemikiran umat manusia; dari duniawi semata menuju keseimbangan duniawi ukhrawi, dari wilayah yang terbatas menuju seluruh penjuru bumi, dan dari golongan menuju kemanusiaan universal.
Islam memberi tugas secara spesifik untuk diintegrasikan dalam dimensi-dimensi yang umum. Islam juga menegakkan keseimbangan agar kesatuan tidak berdiri di atas kebebasan mutlak sehingga melenyapkan unsur-unsur khasnya.
"Demikian pula kebebasan tidak diarahkan untuk menghancurkan pemerintahan, melainkan untuk merealisasikan kebaikan sepenuhnya secara kuantitatif dan kualitatif," jelasnya.
"Kesatuan juga merupakan nilai yang harus dimiliki, sebab tanpa kesatuan, tidak akan terkumpul dan terorganisasi suatu kekuatan," tulisnya dalam bab Kebangkitan Islam dan Negara-negara Kawasan Arab dalam buku berjudul "As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar" (Gema Insani Press).
Di atas dasar keseimbangan agama, kata at-Turabi, terjadi hubungan antara individu yang bebas dan kelompok yang terorganisasi. Keduanya disatukan oleh akidah sebagai tujuan, ibadah sebagai jalan, dan syariat sebagai sumber rujukan. "Berdasarkan gambaran tersebut, maka seluruh bentuk pemisah antar manusia, misalnya etnis atau wilayah, menyatu dalam Islam," katanya.
Menurutnya, Islam menjaga keseimbangan, tidak bersikap berat sebelah. Tujuan sejarah pertumbuhan awal Islam adalah tauhid, sebab ia berhadapan dengan realitas jahiliah yang paganistik-syirik.
Ikatan etnis, nasional, dan sejarah terkadang menjadikan orang bersikap fanatik sehingga memutuskan hubungan dengan yang lain. Setelah Islam datang, sisa-sisa kejahiliahan tersebut masih ada.
"Memang Rasulullah SAW tidak mengutak-atik masalah kesukuan, tidak mengingkari ikatan hijrah atau primordial, dan tidak pula meremehkan batas-batas wilayah," katanya.
Akan tetapi, Rasulullah SAW mengembangkan seluruh aspek tersebut menuju kemaslahatan yang lebih besar bagi umat Islam. Ketika terjadi keseimbangan antar urusan dan prioritas di antara beberapa hal yang kontradiktif, mulai dari yang sederhana (misalnya urusan keluarga, tetangga, dan kelompok) hingga yang kompleks (misalnya problema umat manusia sedunia), maka hal itu diletakkan dalam paradigma kebenaran dan keadilan, sehingga dinilai sebagai loyalitas terhadap Allah yang Maha Besar dan diatur oleh syariatnya yang tinggi.
At-Turabi lalu menunjukkan ayat-ayat al-Quran yang menyebut hal tersebut seperti surat al-Baqarah : 62, Ali Imran : 102, an-Nisa : 135, al-Anfal : 72, at-Taubah : 117, al-Mu'minun : 51-52, dan al-Hujurat : 8-12.
"Simak pula hadis-hadis tentang keutamaan bermacam-macam suku, kaum, tempat, dan kurun waktu, kemudian lihatlah keutamaan umat dan makna-makna persatuannya," ujarnya.
Selama realitas mengandung aneka ragam kekhasan masyarakat, maka keberagamaan mengalami kekhasan pula agar keduanya dapat sejalan. Jika daerah-daerah saling berjauhan sehingga penduduknya mengalami kesenjangan, maka dakwah Islam dapat dijalankan atas pertimbangan kondisi tempat dan hubungan antar-penduduk diselaraskan dengannya, sehingga model pertahanan warganya didasarkan pada agama.
Menurut At-Turabi, karena terdapat perbedaan masyarakat dengan kekhasannya masing-masing, maka pesan dakwah harus menggunakan bahasa mereka dan isi pernyataan yang disampaikan sejalan dengan sejarahnya.
Ikatan antar-masyarakat diciptakan dalam rangka beribadah kepada-Nya dan mereka dibebani tugas menegakkan Islam sesuai dengan perintah Allah SWT. Jadi, bila terdapat kekurangan potensi dalam masyarakat, maka mereka diberi beban sesuai dengan kapasitas pemahaman dan kemampuannya.
Perbedaan-perbedaan natural tersebut merupakan ujian. Kondisi demikian merupakan kesempatan beribadah secara khusus dan bisa pula merupakan fitnah yang memancing kaum muslimin untuk merumuskan ciri-ciri khusus yang bersifat regional, nasional, dan sosial yang dilarang oleh Islam.
"Maka berubahlah hubungan menjadi fanatisme nasional, sejarah, kelas, atau kelompok yang menjauhkan manusia dari pola hubungan yang lebih tepat dan mulia. Kemudian mereka menundukkan kebenaran di bawah hawa nafsunya," katanya.
Dalam kondisi absurd semacam itu, iman dapat meluaskan horison pemikiran umat manusia; dari duniawi semata menuju keseimbangan duniawi ukhrawi, dari wilayah yang terbatas menuju seluruh penjuru bumi, dan dari golongan menuju kemanusiaan universal.
Islam memberi tugas secara spesifik untuk diintegrasikan dalam dimensi-dimensi yang umum. Islam juga menegakkan keseimbangan agar kesatuan tidak berdiri di atas kebebasan mutlak sehingga melenyapkan unsur-unsur khasnya.
"Demikian pula kebebasan tidak diarahkan untuk menghancurkan pemerintahan, melainkan untuk merealisasikan kebaikan sepenuhnya secara kuantitatif dan kualitatif," jelasnya.