Sikap Terbaik Menyikapi Khilafiyah, Mari Simak Kisah Sahabat Nabi Ini

Rabu, 12 Agustus 2020 - 09:46 WIB
loading...
Sikap Terbaik Menyikapi Khilafiyah, Mari Simak Kisah Sahabat Nabi Ini
Masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan umat muslim sering terjadi dan berujung perselisihan. Padahal ini hanya masalah fiqih atau cabang ibadah, bukan masalah aqidah. Foto ilustrasi/Ist
A A A
Masalah khilafiyah dalam cabang ibadah (furu'iyah) sering terjadi di tengah umat Islam. Khilafiyah artinya perbedaan pendapat, perbedaan pandangan atau sikap. Bagaimana cara menyikapi perbedaan terutama menyangkut masalah fiqih? Dai dari Mesir Syeikh Ahmad Al-Misri akan memberi pencerahan yang insya Allah akan menyejukkan hati kita.

Di kalangan orang awam masalah khilafiyah dapat menjadi pemicu perselisihan dan pemecah hubungan persaudaraan. Khilafiyah sering terjadi setiap tahun seperti peringatan Maulid, Qunut dalam salat Subuh, peringatan malam Nisyfu Sya'ban, ziarah kubur, Tawassul. Padahal, ini masalah fiqih , bukan masalah aqidah. (Baca Juga: Bagaimana Sikap Kita Menyikapi Khilafiyah? Begini Kata Ustaz Ajib)

Syeikh Ahmad Al-Misri mengatakan dalam kajiannya, masalah khilaf tidak hanya dialami manusia biasa di zaman ini, tetapi juga pada Nabi dan Rasul . Perbedaan pendapat terjadi pada Nabi Musa 'alaihis salam dan Nabi Harun 'alaihis salam. Kemudian Nabi Musa 'alaihis salam dan Nabi Khidir 'alaihis salam pun berbeda pendapat. Juga antara Nabi Daud 'alaihis salam dan Nabi Sulaiman 'alaihis salam. Bahkan khilaf terjadi di antara para Malaikat .

Al-Qur'an memberi pelajaran sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (99) وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ (100)

"Dan jikalau Rabb-mu menghendaki, tentu telah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya, maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya." (QS Yunus: Ayat 99-100)

Berikut kisah perbedaan pendapat di antara Malaikat . Kisah ini diceritakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) dari Abu Sa'id Al-Khudri, Said bin Malik bin Sinan radhiyallahu 'anhuma. "Dahulu, pada zaman orang-orang sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 jiwa. Dia pun bertanya tentang orang yang paling 'alim di muka bumi ketika itu, lalu ditunjukkan kepadanya tentang seorang rahib (pendeta, ahli ibadah).

Dia pun mendatangi rahib tersebut lalu mengatakan bahwa sesungguhnya dia telah membunuh 99 jiwa, apakah ada taubat baginya? Ahli ibadah itu berkata, "tidak". Seketika laki-laki itu membunuhnya. Dia pun menggenapi dengan itu (membunuh rahib) menjadi 100 jiwa.

Kemudian dia menanyakan apakah ada orang yang paling 'alim di muka bumi ketika itu? Lalu ditunjukkanlah kepadanya tentang seorang yang berilmu. Dia pun mengatakan bahwa sesungguhnya dia telah membunuh 100 jiwa, apakah ada taubat baginya?

Orang 'alim itu berkata, "Ya". Siapa yang menghalangi dia dari taubatnya? Pergilah ke daerah ini dan ini. Sebab, sesungguhnya di sana ada orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah, maka beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka. Jangan kamu kembali ke negerimu, karena negerimu itu adalah negeri yang buruk/jahat".

Dia pun berangkat. Akhirnya, ketika tiba di tengah perjalanan datanglah kematian menjemputnya, (lalu dia pun mati). Berselisihlah Malaikat rahmat dan Malaikat adzab tentang dia. Malaikat rahmat mengatakan, "dia sudah datang dalam keadaan bertaubat, menghadap kepada Allah dengan sepenuh hatinya". Sementara itu, Malaikat adzab berkata: "Ssesungguhnya dia belum pernah mengerjakan satu amalan kebaikan sama sekali".

Akhirnya datanglah seorang Malaikat dalam wujud seorang manusia, lalu mereka menjadikan dia (sebagai hakim pemutus) di antara mereka berdua. Kata malaikat itu, "Ukurlah jarak antara (dia dengan) kedua negeri tersebut. Ke arah negeri mana yang lebih dekat, maka dialah yang berhak membawanya".

Lalu keduanya mengukurnya. Ternyata mereka mendapati bahwa orang itu lebih dekat ke negeri yang diinginkannya. Malaikat rahmat pun segera membawanya."

Perawi berkata bahwa Qatadah mengatakan, Al-Hasan berkata, "disebutkan kepada kami bahwa ketika kematian datang menjemputnya, dia busungkan dadanya (ke arah negeri tujuan)". (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Jika kita perhatikan perselisihan di antara Malaikat ini, engkau tidak akan menemukan dua orang yang saling sepakat secara mutlak. Antara suami dan istri ada perselisihan. Antara orang tua dan anak pasti ada perselisihan. Antara kakak dan adik pasti ada perselisihan.

" Khilaf yang kita bahas di sini bukan khilaf secara mutlak, tapi secara khusus. Tidak boleh mengingkari sesuatu yang sudah disepakati," terang Dai yang kini berdakwah di Indonesia.(Baca Juga: Gus Qayyum: Jaga Ukhuwah Islamiyah di Tengah Perbedaan)

Selain kisah Malaikat di atas, ada juga kisah sahabat Nabi yang berselisih usai perang ahzab. Ketika menjelang Zuhur, Rasulullah SAW berjalan menuju rumah Ummu Salamah. Setelah membersihkan diri dan beristirahat sejenak lalu bersiap melaksanakan salat Zuhur, saat itulah Malaikat Jibril mendatangi beliau. "Apakah engkau akan meletakkan senjata, wahai Rasulullah ?"

Rasulullah SAW mengiyakan pertanyaan itu. Malaikat Jibril berkata lagi, "Para Malaikat belum meletakkan senjata. Mereka sekarang sedang mengejar kaum tersebut (maksudnya Yahudi Bani Quraizhah yang telah berkhianat dengan membantu pasukan Ahzab untuk menyerang kaum muslimin). Hai Muhammad, sesungguhnya Allah memerintahkanmu berangkat ke Bani Quraizhah. Aku juga akan pergi untuk mengguncang mereka".

Usai melaksanakan salat Zuhur bersama para sahabatnya, Rasulullah SAW memberikan komando untuk mendatangi Bani Quraizhah. "Barang siapa mendengar dan taat, jangan sekali-kali mengerjakan salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah," kata beliau menutup instruksinya.

Rasulullah SAW menunjuk Ali bin Abi Thalib RA di depan barisan dengan membawa bendera perang. Informasi yang diberikan Malaikat Jibril benar. Ketika Ali bin Abi Thalib dan pasukannya hampir mendekati benteng-benteng Bani Quraizhah, mereka mendengar orang-orang Yahudi itu mencaci maki Rasulullah SAW .

Rasulullah SAW berangkat menyusul bersama kaum Anshar dan Muhajirin. Mereka sempat beristirahat di salah satu sumur Bani Quraizhah di samping kebun mereka bernama sumur Anna. Sebagian kaum muslimin terus bergegas menuju pemukiman Bani Quraizhah. Ketika waktu Ashar tiba, mereka masih dalam perjalanan.

Saat itulah terjadi perbedaan pendapat di antara sahabat. Mereka ingat dengan pesan Nabi Muhammad SAW "Barang siapa mendengar dan taat, jangan sekali-kali mengerjakan salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah".

Sebagian dari pasukan kaum muslimin tidak melaksanakan salat Ashar. Sebagian riwayat mengatakan, ada di antara mereka yang melaksanakan salat Ashar setelah Isya di perkampungan Bani Quraizhah.

Namun, sebagian lain melaksanakan salat Ashar di perjalanan. Ungkapan Nabi Muhammad SAW yang mengatakan "Jangan sekali-kali mengerjakan salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah" dipahami agar mereka bersegera menuju perkampungan Bani Quraizhah sehingga bisa melaksanakan salat Ashar di tempat itu.

Ketika hal itu diketahui oleh Rasulullah SAW , beliau tidak lantas mempermasalahkannya. Beliau mendiamkan dan tidak menyalahkan salah satu dari dua pendapat sahabat itu. (HR Al-Bukhari)

Dari Abu Sa'id Al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda:

خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ ، فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ – وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ – فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا ، فَصَلَّيَا ، ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ ، فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ ، وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ ، ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ : أَصَبْت السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْك صَلَاتُك وَقَالَ لِلْآخَرِ : لَك الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ

"Ada dua orang laki-laki yang bersafar. Kemudian tibalah waktu salat , sementara tidak ada air di sekitar mereka. Kemudian keduanya bertayamum dengan permukaan tanah yang suci, lalu keduanya salat . Setelah itu keduanya menemukan air, sementara waktu salat masih ada. Lalu salah satu dari keduanya berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan satunya tidak mengulangi shalatnya.

Keduanya lalu menemui Nabi Muhammad SAW dan menceritakan yang mereka alami. Maka Beliau SAW mengatakan kepada orang yang tidak mengulangi salatnya, "Apa yang kamu lakukan telah sesuai dengan sunnah dan salatmu sah". Kemudian beliau mengatakan kepada yang mengulangi salatnya, "untukmu dua pahala". (HR Abu Daud)

Imam Sufyan Ats-Tsauri mengatakan: "Apabila engkau melihat orang yang melakukan amalan yang berbeda dengan dirimu, maka jangan mengingkari yang berbeda." ( )

Imam Asy-Syafi'i berpendapat dalam suatu daerah hanya diperbolehkan salat Jum'at di Masjid jami'. Tetapi ketika masuk ke Baghdad beliau menemukan di berbagai kampung mengadakan salat Jum'at , dan beliau tidak mengingkarinya. Imam Syafi'i kata Imam An-Nawawi tidak mengingkari hal ini karena ini masalah ijtihadiyah, dan tidak diperkenankan Mujtahid saling mengingkari.

Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Barang siapa memberi fatwa tidak diperkenankan orang yang memberi fatwa mengharuskan orang mengikutinya." Artinya orang kalau berfatwa tidak boleh menyuruh orang mengikutinya karena ada pendapat lain. Kita mengikuti kebenaran yang ada di dalam al-qur'an dan hadits.

Imam As-Suyuti mengatakan: "Tidak boleh mengingkari masalah khilafiyah , kecuali menyelisihi perbedaan pendapat yang tidak sesuai dengan yang sudah disepakati 'ulama."

Imam Ibnu Qudamah mengatakan: "Para ulama berbeda pendapat dalam hal furu'iyyah, tapi tidak pernah menyalahkan yang berbeda, tidak seperti sekarang membid'ahkan."

Jangan Berbicara Tanpa Ilmu
Syeikh Ahmad Al-Misri mengingatkan agar tidak gampang berbicara kecuali ada ilmunya. Jangan mengutarakan apa yang diingkari sebelum berbicara menguasai hukum tersebut.

Dalam Shahih Al-Bukhari di bab ilmu bab pertamanya disebutkan jangan berbicara tanpa ilmu. Ilmu tidak diukur dengan akal. Kalau agama hanya menggunakan akal akan rusak, tapi menggunakan dalil dari Allah Ta'ala, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Ulama.

Hikmah berdakwah kepada orang sangat dibutuhkan setiap da'i. Coba perhatikan masalah khilaf di zaman Nabi SAW , inilah yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat:

1. Para sahabat berusaha menghindari agar tidak terjadi khilaf.
2. Apabila terjadi khilaf mereka segera kembali kepada Allah Ta'ala, dan kepada Rasulullah SAW.
3. Rasulullah SAW berusaha memperbaiki yang salah.
4. Mereka berdebat menghindari hawa nafsu, tapi untuk kebenaran.
5. Memilih kalimat yang digunakan dan berusaha menjaga lisannya dari halyang buruk dan menyakiti.

Dulu Imam Ahmad bin Hanbal tidak pernah menghujat Imam Asy-Syafi'i walaupun mereka berbeda pendapat. Begitu juga Imam Syafi'i dengan Imam Malik berbeda pendapat. Saya punya perbedaan pendapat dengan guru saya, tapi tidak pernah saling menghujat, namun saling menghormati saja yang penting ada pendapat 'ulama yang muktabar.

Di akhir tausiyahnya, Syeikh Ahmad menyampaikan pendapat Maulana Jalaludin Ar-Rumi sebagai maestro cinta, beliau lahir di Pakistan. Kata Beliau: "Jadilah dalam cinta seperti matahari, matahari itu sendiri tapi selalu muncul setiap hari. Jadilah dalam persahabatan seperti air sungai, jangan karena ada masalah berantam, tapi tidak, ini terus mengalir. Jadilah menutupi aib seperti malam hari. Jadilah tawadhu' seperti debu. Jadilah marah seperti mayat".

Semoga Allah menjaga ukhuwah kita dan menjaga permasalahan khilafiyah agar tidak saling menghujat dan saling memusuhi. Jangan sampai di antara umat muslim menuduh ahli bid'ah, karena kita belum tentu selamat. Semoga bermanfaat. (Baca Juga: Ustaz Ajib Ulas Masalah Khilafiyah 4 Mazhab Terpopuler)

Wallahu Ta'ala A'lam
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1699 seconds (0.1#10.140)