Sejarah Pemilu dalam Peradaban Islam, Ada 2 Perbedaan dengan Indonesia
loading...
A
A
A
Pemilu dalam sejarah peradaban Islam ditemukan dari peristiwa yang mengarah pada bentuk sebuah pemilu yang kemudian dijadikan landasan oleh para ulama sekarang untuk membenarkan pemilu yang saat ini dipraktikkan.
Rapung Samuddin dalam bukunya berjudul "Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik" (Jakarta: Gozian Press, 2013) mencontohkan Baiat al-Nuqabâ’ (wakil-wakil suku), yaitu ketika kaum Anshar membaiat Nabi Muhammad SAW di ‘Aqabah.
Pada saat itu, Nabi SAW bersabda bahwa pilihlah untukku dari kalian dua belas orang wakil yang akan menunaikan apa-apa yang dibutuhkan oleh kaum mereka.
Selanjutnya dalam kisah utusan Hawzan, bahwa utusan Hawzan datang kepada Rasulullah SAW dalam keadaan Muslim dan memberi baiat. Ia memohon kepada Nabi SAW agar mengembalikan harta mereka (yang dirampas karena perang).
Nabi pun minta persetujuannya (kaum muslimin) tentang hal itu dan mereka memberikan isyarat keridaan. Akan tetapi Nabi tidak cukup dengan persetujuannya saja, selanjutnya Nabi bersabda:
Kami tidak mengetahui siapa yang mengizinkan kalian tentang demikian dan siapa yang tidak mengizinkan. Pulanglah, hingga masalah ini diangkat (diadukan) kepada kami oleh wakil yang kalian tunjuk."
Dua riwayat tersebut dijadikan alasan atau dasar oleh para ulama sekarang terhadap persoalan pemilihan umum, karena kedua riwayat tersebut mempunyai makna mengenai persoalan kedaulatan rakyat, yaitu rakyat memberikan pilihannya kepada mereka yang mewakilinya.
Begitu juga periode sesudah Nabi SAW, yaitu pada masa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn . Pemilihan al-Khulafâ’ alRâsyidûn berbeda dengan metode pemilu yang dikenal sekarang.
Munawir Sjadzali dalam buku berjudul "Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran" (Jakarta: UI Press, 1993) menyebut pemilihan umum yang dikenal pada masa alKhulafâ’ al-Râsyidûn dapat ditemui janji setia (baiat) dari masing-masing khalifah yang terpilih. Janji setia (baiat) dilaksanakan di masjid kemudian rakyat memberikan baiat kepada khalifah, sehingga di sini ada keterlibatan dan peran rakyat dalam baiat khalifah.
Pada saat pemilihan Abû Bakr yang dilakukan di balai pertemuan Bani Saidah oleh kelompok kecil yang terdiri atas lima orang selain Abû Bakr, yaitu ‘Umar ibn al-Khaththâb, Abu Ubaidah ibn Jarah , Basyîr ibn Sa’ad, Asid ibn Khudayr dan Sâlim, seorang budak Abû Khudzayfah yang telah dimerdekakan.
Kelima orang itu merupakan perwakilan dari kelompok Muhajirin (suku Quraisy) dan kelompok Anshar masing-masing dari unsur Khazraj dan Aus. Hal ini berbeda dengan Umar ibn al-Khaththâb yang terpilih tidak melalui proses pemilihan sebagaimana Khalifah Abû Bakr.
Meskipun demikian, ‘Umar ibn al-Khaththâb menyatakan ketika sampai kepadanya berita bahwa orang-orang berkata bahwa jika ‘Umar meninggal dunia mereka akan memberikan baiat pada si Fulan. Beliau juga melarang bahwa barangsiapa membaiat seorang pemimpin tanpa proses musyawarah, baiatnya dianggap tidak sah, dan tidak ada baiat terhadap orang yang mengangkat baiat terhadapnya atau keduanya harus dibunuh.
Hal ini dijelaskan dalam hadis riwayat al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Bâb Rajm al-Hublâ fî al-Zinâ Idzâ Ahshanat, No. 6830, sebagaimana dikutip oleh Rapung Samuddin dalam bukunya "Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Panangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik" (Jakarta: Gozian Press, 2013).
Riwayat ini adalah bentuk dari pemilihan umum yang dikenal pada saat itu melalui mekanisme musyawarah dengan rakyat dan mengembalikan urusan pemilihan pemimpin kepada rakyat (kaum muslimin).
Riwayat selanjutnya adalah perbuatan ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Awf ketika bermusyawarah dan meminta pendapat rakyat untuk menetapkan siapa yang laik menjadi seorang khalifah setelah ‘Umar ibn al-Khaththâb wafat.
Diwirayatkan bahwa ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Awf selama tiga hari bermusyawarah dan meminta pandangan rakyat hingga mantap pilihan jatuh pada ‘Ustmân ibn ‘Affân.
Saat itu beliau berkata bahwa beliau melihat pilihan manusia tidak bergeser pada Utsmân.
Riwayat ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Awf ini menunjukkan peran dan keterlibatan rakyat dalam pemilihan khalifah. Begitu juga dalam pemilihan Alî ibn Abî Thâlib, dipilih melalui pemilihan, meskipun banyak yang menentangnya.
Rapung Samuddin dalam bukunya berjudul "Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik" (Jakarta: Gozian Press, 2013) mencontohkan Baiat al-Nuqabâ’ (wakil-wakil suku), yaitu ketika kaum Anshar membaiat Nabi Muhammad SAW di ‘Aqabah.
Pada saat itu, Nabi SAW bersabda bahwa pilihlah untukku dari kalian dua belas orang wakil yang akan menunaikan apa-apa yang dibutuhkan oleh kaum mereka.
Selanjutnya dalam kisah utusan Hawzan, bahwa utusan Hawzan datang kepada Rasulullah SAW dalam keadaan Muslim dan memberi baiat. Ia memohon kepada Nabi SAW agar mengembalikan harta mereka (yang dirampas karena perang).
Nabi pun minta persetujuannya (kaum muslimin) tentang hal itu dan mereka memberikan isyarat keridaan. Akan tetapi Nabi tidak cukup dengan persetujuannya saja, selanjutnya Nabi bersabda:
Kami tidak mengetahui siapa yang mengizinkan kalian tentang demikian dan siapa yang tidak mengizinkan. Pulanglah, hingga masalah ini diangkat (diadukan) kepada kami oleh wakil yang kalian tunjuk."
Dua riwayat tersebut dijadikan alasan atau dasar oleh para ulama sekarang terhadap persoalan pemilihan umum, karena kedua riwayat tersebut mempunyai makna mengenai persoalan kedaulatan rakyat, yaitu rakyat memberikan pilihannya kepada mereka yang mewakilinya.
Begitu juga periode sesudah Nabi SAW, yaitu pada masa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn . Pemilihan al-Khulafâ’ alRâsyidûn berbeda dengan metode pemilu yang dikenal sekarang.
Munawir Sjadzali dalam buku berjudul "Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran" (Jakarta: UI Press, 1993) menyebut pemilihan umum yang dikenal pada masa alKhulafâ’ al-Râsyidûn dapat ditemui janji setia (baiat) dari masing-masing khalifah yang terpilih. Janji setia (baiat) dilaksanakan di masjid kemudian rakyat memberikan baiat kepada khalifah, sehingga di sini ada keterlibatan dan peran rakyat dalam baiat khalifah.
Pada saat pemilihan Abû Bakr yang dilakukan di balai pertemuan Bani Saidah oleh kelompok kecil yang terdiri atas lima orang selain Abû Bakr, yaitu ‘Umar ibn al-Khaththâb, Abu Ubaidah ibn Jarah , Basyîr ibn Sa’ad, Asid ibn Khudayr dan Sâlim, seorang budak Abû Khudzayfah yang telah dimerdekakan.
Kelima orang itu merupakan perwakilan dari kelompok Muhajirin (suku Quraisy) dan kelompok Anshar masing-masing dari unsur Khazraj dan Aus. Hal ini berbeda dengan Umar ibn al-Khaththâb yang terpilih tidak melalui proses pemilihan sebagaimana Khalifah Abû Bakr.
Meskipun demikian, ‘Umar ibn al-Khaththâb menyatakan ketika sampai kepadanya berita bahwa orang-orang berkata bahwa jika ‘Umar meninggal dunia mereka akan memberikan baiat pada si Fulan. Beliau juga melarang bahwa barangsiapa membaiat seorang pemimpin tanpa proses musyawarah, baiatnya dianggap tidak sah, dan tidak ada baiat terhadap orang yang mengangkat baiat terhadapnya atau keduanya harus dibunuh.
Hal ini dijelaskan dalam hadis riwayat al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Bâb Rajm al-Hublâ fî al-Zinâ Idzâ Ahshanat, No. 6830, sebagaimana dikutip oleh Rapung Samuddin dalam bukunya "Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Panangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik" (Jakarta: Gozian Press, 2013).
Riwayat ini adalah bentuk dari pemilihan umum yang dikenal pada saat itu melalui mekanisme musyawarah dengan rakyat dan mengembalikan urusan pemilihan pemimpin kepada rakyat (kaum muslimin).
Riwayat selanjutnya adalah perbuatan ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Awf ketika bermusyawarah dan meminta pendapat rakyat untuk menetapkan siapa yang laik menjadi seorang khalifah setelah ‘Umar ibn al-Khaththâb wafat.
Diwirayatkan bahwa ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Awf selama tiga hari bermusyawarah dan meminta pandangan rakyat hingga mantap pilihan jatuh pada ‘Ustmân ibn ‘Affân.
Saat itu beliau berkata bahwa beliau melihat pilihan manusia tidak bergeser pada Utsmân.
Riwayat ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Awf ini menunjukkan peran dan keterlibatan rakyat dalam pemilihan khalifah. Begitu juga dalam pemilihan Alî ibn Abî Thâlib, dipilih melalui pemilihan, meskipun banyak yang menentangnya.