Hukum Memakai Behel dalam Islam, Begini Penjelasannya
loading...
A
A
A
Bagaimana hukumnya memakai behel gigi dalam Islam? Hukum ini penting diketahui umat Islam, mengingat tengah tren-nya penggunaan alat metode kecantikan tersebut.
Ustadzah Imaz Fatimatuz Zahra menjelaskan, kebolehan memasang behel tergantung pada kondisi dan tujuan utama pemasangan behel itu sendiri. “Behel diperbolehkan selama penggunaannya memiliki gharadlun shahih (tujuan yang benar), yaitu tujuan medis/pengobatan. Misalnya, meratakan gigi yang maju dan tidak rata. Bukan tujuan untuk mempercantik diri,” kata Ning Imaz, sapaan akrabnya, dalam tayangan berjudul Hukum Memakai Behel dalam Islam di kanal Youtube NU Online.
Dalam konteks ini, Pengasuh Pondok Pesantren Al Ihsan Lirboyo, Jawa Timur itu menjelaskan, pemasangan behel ditujukan untuk memperbaiki cacat dalam diri. Kedudukannya bukan untuk taghyirul khalqi (mengubah ciptaan) akan tetapi disyariatkan untuk diubah, sama seperti memendekkan kumis, memotong kuku, maupun mencabut bulu ketiak. “Taghyirul khalqi yang dilarang itu merubah secara permanen, seperti operasi plastik, dengan menambah atau mengurangi bentuk tubuh yang sebetulnya baik-baik saja.
Sedangkan memasang behel itu boleh menurut syariat, seperti halnya memotong kuku dan menghilangkan bulu-bulu yang mengganggu,” terangnya.
Jika melihat tujuan aslinya, yakni pengobatan, tentu saja hal ini diperbolehkan syariat. Bahkan, orang yang mau berobat dari sakitnya mendapatkan ganjaran pahala karena memenuhi anjuran Nabi SAW. Namun, jika bertujuan untuk kepentingan keindahan, estetika, atau asesoris belaka, Ning Imaz menegaskan bahwa itu dilarang.
“Dan akan aku (setan) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya.” (QS. An-Nisa: 119).
Ayat ini menjelaskan bahwa mengubah ciptaan Allah termasuk sesuatu yang haram dan merupakan bujuk rayu setan kepada anak Adam yang melakukan kemaksiatan.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud, ia mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melaknat perempuan yang mencabut (alisnya), menata giginya agar terlihat lebih indah yang mereka itu merubah ciptaan Allah.
Hadis ini merupakan laknat (dari rasulullah .pen) kepada wanita-wanita yang mencabut alisnya dan menata giginya dikarenakan mereka telah merubah ciptaan Allah. Dalam riwayat yang lain dikatakan, orang-orang yang merubah ciptaan Allah.
Namun, dalam beberapa hal ada pengecualian yang dibolehkan oleh syariat. Seperti dalam keadaan darurat dan mendesaknya kebutuhan, maka tidak mengapa merapikan gigi karena suatu hal yang darurat dan kebutuhan.
Darurat dalam kategori syariat yaitu gigi yang ompong atau gingsul, yang perlu diubah karena sulit mengunyah makanan atau agar berbicara dengan fasih dan lain-lain.
Dalil mengenai hal ini adalah ‘Arjafah bin As’ad radhiallahu’anhu, ia mengatakan, “Hidungku terpotong pada Perang Kullab di masa jahiliyah. Aku pun menggantikannya dengan daun, tetapi daun itu bau sehingga menggangguku. Lal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku menggantinya dengan emas.” (HR. Tirmidzi, An-Nasai, dan Abu Dawud).
Perintah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Arjafah untuk memperbaiki hidungnya dengan emas merupakan dalil bolehnya memperbaiki gigi. Adapun memperbaiki gigi yang cacat, maka tidak ada larangan untuk menatanya agar hilang cacatnya.
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya, “Apa hukumnya memperbaiki gigi?” Syaikh menjawab, “Memperbaiki gigi ini dibagi menjadi dua kategori:
Pertama, jika tujuannya supaya bertambah cantik atu indah, maka ini hukumnya haram. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang menata giginya agar terlihat lebih indah yang merubah ciptaan Allah. Padahal seorang wanita membutuhkan hal yang demikian untuk estetika (keindahan), dengan demikian seorang laki-laki lebih layak dilarang daripada wanita.
Kedua, jika seseorang memperbaikinya karena ada cacat, tidak mengapa ia melakukannya. Sebagian orang ada suatu cacat pada giginya, mungkin pada gigi serinya atau gigi yang lain. Cacat tersebut membuat orang merasa jijik untuk melihatnya. Keadaan yang demikian ini dimaklumi untuk membenarkannya. Hal ini dikategorikan sebagai menghilangkan aib atau cacat bukan termasuk menambah kecantikan.
Dasar argumentasinya (dalil), Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki yang hidungnya terpotong agar menggantinya dengan hidung palsu dari emas, yang demikian ini termasuk menghilangkan cacat bukan dimaksudkan untuk mempercantik diri.”
WAllahu a’lam.
Ustadzah Imaz Fatimatuz Zahra menjelaskan, kebolehan memasang behel tergantung pada kondisi dan tujuan utama pemasangan behel itu sendiri. “Behel diperbolehkan selama penggunaannya memiliki gharadlun shahih (tujuan yang benar), yaitu tujuan medis/pengobatan. Misalnya, meratakan gigi yang maju dan tidak rata. Bukan tujuan untuk mempercantik diri,” kata Ning Imaz, sapaan akrabnya, dalam tayangan berjudul Hukum Memakai Behel dalam Islam di kanal Youtube NU Online.
Dalam konteks ini, Pengasuh Pondok Pesantren Al Ihsan Lirboyo, Jawa Timur itu menjelaskan, pemasangan behel ditujukan untuk memperbaiki cacat dalam diri. Kedudukannya bukan untuk taghyirul khalqi (mengubah ciptaan) akan tetapi disyariatkan untuk diubah, sama seperti memendekkan kumis, memotong kuku, maupun mencabut bulu ketiak. “Taghyirul khalqi yang dilarang itu merubah secara permanen, seperti operasi plastik, dengan menambah atau mengurangi bentuk tubuh yang sebetulnya baik-baik saja.
Sedangkan memasang behel itu boleh menurut syariat, seperti halnya memotong kuku dan menghilangkan bulu-bulu yang mengganggu,” terangnya.
Jika melihat tujuan aslinya, yakni pengobatan, tentu saja hal ini diperbolehkan syariat. Bahkan, orang yang mau berobat dari sakitnya mendapatkan ganjaran pahala karena memenuhi anjuran Nabi SAW. Namun, jika bertujuan untuk kepentingan keindahan, estetika, atau asesoris belaka, Ning Imaz menegaskan bahwa itu dilarang.
Hukum Asalnya Dilarang
Melihat dari hukum asal -nya, mengubah sesuatu yang Allah ciptakan pada diri seseorang adalah dilarang. Hal ini berdasarkan firman Allah,وَلأَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللهِ
“Dan akan aku (setan) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya.” (QS. An-Nisa: 119).
Ayat ini menjelaskan bahwa mengubah ciptaan Allah termasuk sesuatu yang haram dan merupakan bujuk rayu setan kepada anak Adam yang melakukan kemaksiatan.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud, ia mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melaknat perempuan yang mencabut (alisnya), menata giginya agar terlihat lebih indah yang mereka itu merubah ciptaan Allah.
Hadis ini merupakan laknat (dari rasulullah .pen) kepada wanita-wanita yang mencabut alisnya dan menata giginya dikarenakan mereka telah merubah ciptaan Allah. Dalam riwayat yang lain dikatakan, orang-orang yang merubah ciptaan Allah.
Namun, dalam beberapa hal ada pengecualian yang dibolehkan oleh syariat. Seperti dalam keadaan darurat dan mendesaknya kebutuhan, maka tidak mengapa merapikan gigi karena suatu hal yang darurat dan kebutuhan.
Darurat dalam kategori syariat yaitu gigi yang ompong atau gingsul, yang perlu diubah karena sulit mengunyah makanan atau agar berbicara dengan fasih dan lain-lain.
Dalil mengenai hal ini adalah ‘Arjafah bin As’ad radhiallahu’anhu, ia mengatakan, “Hidungku terpotong pada Perang Kullab di masa jahiliyah. Aku pun menggantikannya dengan daun, tetapi daun itu bau sehingga menggangguku. Lal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku menggantinya dengan emas.” (HR. Tirmidzi, An-Nasai, dan Abu Dawud).
Perintah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Arjafah untuk memperbaiki hidungnya dengan emas merupakan dalil bolehnya memperbaiki gigi. Adapun memperbaiki gigi yang cacat, maka tidak ada larangan untuk menatanya agar hilang cacatnya.
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya, “Apa hukumnya memperbaiki gigi?” Syaikh menjawab, “Memperbaiki gigi ini dibagi menjadi dua kategori:
Pertama, jika tujuannya supaya bertambah cantik atu indah, maka ini hukumnya haram. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang menata giginya agar terlihat lebih indah yang merubah ciptaan Allah. Padahal seorang wanita membutuhkan hal yang demikian untuk estetika (keindahan), dengan demikian seorang laki-laki lebih layak dilarang daripada wanita.
Kedua, jika seseorang memperbaikinya karena ada cacat, tidak mengapa ia melakukannya. Sebagian orang ada suatu cacat pada giginya, mungkin pada gigi serinya atau gigi yang lain. Cacat tersebut membuat orang merasa jijik untuk melihatnya. Keadaan yang demikian ini dimaklumi untuk membenarkannya. Hal ini dikategorikan sebagai menghilangkan aib atau cacat bukan termasuk menambah kecantikan.
Dasar argumentasinya (dalil), Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki yang hidungnya terpotong agar menggantinya dengan hidung palsu dari emas, yang demikian ini termasuk menghilangkan cacat bukan dimaksudkan untuk mempercantik diri.”
WAllahu a’lam.
(wid)