Perbuatan Sehari-hari yang Bisa Membatalkan Puasa Ramadan
loading...
A
A
A
Karena tidur, dia kemudian mimpi basah sehigga keluar air mani. Sesungguhnya mimpi basah itu di luar kendali manusia dan Allah membuat seseorang itu bermimpi sehingga mimpi basah. Maka hal itu tidak membatalkan puasa. Hendaklah dia segera melakukan mandi junub untuk mengangkat hadast besar tersebut.
Akan tetapi, jika keluar air mani dengan cara disengaja, maka hal itulah yang membatalkan puasa. Misalkan, air mani itu keluar dengan cara yang disengaja, maka hal itu akan membatalkan puasa. Lebih dari itu, keluar air mani dengan melakukan hubungan bâdan maka akan membatalkan puasa. Seseorang yang mencium atau memeluk lawan jenisnya dengan penuh nafsu syahwat sehingga keluar air man1 tetap saja hal itu membatalkan puasa.
Sebagai catatan, keluar mani secara disengaja itu akan membatalkan puasa. Hanya dengan cara tidak sengaja yang tidak membatalkan puasa.
Seseorang yang gila, jika ada harapan sembuh, maka dia harus meng-qadla puasa tersebut di luar Ramadan. Akan tetapi, jika sampai akhir hayat tidak sembuh dari gilanya, makai a terbebas dari segala pembebanan hokum karena orang gila tidak bisa dibebani hukum.
Jika seseorang melakukannya maka dia mendapat hukuman (kaffarah), yaitu
(1) berdosa,
(2) wajib imsak (menahan diri dari melakukan pembatal puasa sampai magrib),
(3) mendapatkan takzir (hukuman dari hakim syariah),
(4) wajib qadha’, dan
(5) sang suami wajib membayar kaffarah salah satu secara berurutan dari poin berikut: membebaskan budak yang beriman, atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang miskin setiap hari sebanyak satu mud (675 gram menurut hitungan BAZNAS).
Begitu pula bagi orang yang murtad. Meskipun dia sedang berpuasa dan ketika itu agamanya tetap masih Islam, jika murtad ketika masih puasa, maka puasanya tetap batal. Jika dia tetap pada kemurtadannya dan tidak kembali pada agama Islam, maka hukum Islam tidak berlaku baginya dan dia tidak diperkenankan untuk meng-qadla puasa tersebut.
Akan tetapi, jika suatu saat dia kembali pada Islam, maka dia harus meng-qadha puasa yang ditinggalkan itu selama dia murtad. Bukan hanya puasa bahkan dia juga meng-qadla shalat yang ditinggalkan selama dalam kemurtadan jika dia kembali menjadi seorang muslim.
Sebab al-Mufaththirat perbuatannya jelas, dapat dilihat, dan biasanya cepat disadari oleh pelakunya sehingga relatif lebih mudah dihindari.
Walaupun secara hukum al-Muhbithat memiliki konsekuensi yang lebih ringan (puasanya tetap sah), tapi ia harus menjadi prioritas untuk diperhatikan. Sebab poin-poinnya sebagian besar merupakan perbuatan yang sudah menjadi realitas sosial dan membudaya di tengah masyarakat kita.
Ghibah, misalnya. Di mana ada tempat tongkrongan, di situ bisa dipastikan ada ghibahnya. Tidak afdal rasanya kalau nongkrong tanpa membicarakan si A, si B, atau si C. Karena dengan membicarakannya, biasanya pembicaraan akan lebih hidup, seru, dan mengasyikkan.
Begitu juga halnya dengan poin-poin yang masuk dalam kriteria al-Muhbithat yang lain: bohong, adu domba, mengucap kata kasar, sumpah palsu, dan melihat hal yang diharamkan. Apalagi pada era media sosial seperti hari ini, semua poin itu adalah fenomena harian yang sangat mudah untuk disaksikan oleh siapa pun.
Hal ini harus mendapat perhatian lebih bagi siapa saja yang ingin meraup kesempurnaan pahala ibadah puasa di bulan Ramadan. Walau ini dalam konteks Ramadan, bukan berarti di luar Ramadan boleh dan bebas dilakukan. Tetap saja tidak boleh dan sama-sama akan menuai dosa.
Wallahu A'lam
Akan tetapi, jika keluar air mani dengan cara disengaja, maka hal itulah yang membatalkan puasa. Misalkan, air mani itu keluar dengan cara yang disengaja, maka hal itu akan membatalkan puasa. Lebih dari itu, keluar air mani dengan melakukan hubungan bâdan maka akan membatalkan puasa. Seseorang yang mencium atau memeluk lawan jenisnya dengan penuh nafsu syahwat sehingga keluar air man1 tetap saja hal itu membatalkan puasa.
Sebagai catatan, keluar mani secara disengaja itu akan membatalkan puasa. Hanya dengan cara tidak sengaja yang tidak membatalkan puasa.
5. Gila
Kegiatan juga membatalkan puasa meskipun setelah gila, seorang itu sadar dan sembuh lagi dari gilanya. Sebagaimana yang telah ditetapkan bahwa syarat sah puasa adalah orang yang sedang berakal sehat. Jika ketika puasa, seseorang itu tiba-tiba gila, maka puasanya batal.Seseorang yang gila, jika ada harapan sembuh, maka dia harus meng-qadla puasa tersebut di luar Ramadan. Akan tetapi, jika sampai akhir hayat tidak sembuh dari gilanya, makai a terbebas dari segala pembebanan hokum karena orang gila tidak bisa dibebani hukum.
6. Jimak
Jimak (berhubungan intim), apabila dilakukan dengan sengaja, tidak dipaksa, dan tahu akan keharamannya.Jika seseorang melakukannya maka dia mendapat hukuman (kaffarah), yaitu
(1) berdosa,
(2) wajib imsak (menahan diri dari melakukan pembatal puasa sampai magrib),
(3) mendapatkan takzir (hukuman dari hakim syariah),
(4) wajib qadha’, dan
(5) sang suami wajib membayar kaffarah salah satu secara berurutan dari poin berikut: membebaskan budak yang beriman, atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang miskin setiap hari sebanyak satu mud (675 gram menurut hitungan BAZNAS).
7.Haid dan nifas
Wanita yang sedang mengalami haid dan nifas (melahirkan), walau hanya sesaat pada waktu siang hari ketika sedang puasa.8. Murtad
Murtad atau keluar dari agama Islam juga membatalkan puasa. Syariat puasa dalam Islam itu ditujukan untuk umat yang beragama Islam, maka disyariatkan puasa oleh Islam. Kalaupun ada orang non-islam yang berpuasa, maka puasanya tidak sah secara fikih Islam.Begitu pula bagi orang yang murtad. Meskipun dia sedang berpuasa dan ketika itu agamanya tetap masih Islam, jika murtad ketika masih puasa, maka puasanya tetap batal. Jika dia tetap pada kemurtadannya dan tidak kembali pada agama Islam, maka hukum Islam tidak berlaku baginya dan dia tidak diperkenankan untuk meng-qadla puasa tersebut.
Akan tetapi, jika suatu saat dia kembali pada Islam, maka dia harus meng-qadha puasa yang ditinggalkan itu selama dia murtad. Bukan hanya puasa bahkan dia juga meng-qadla shalat yang ditinggalkan selama dalam kemurtadan jika dia kembali menjadi seorang muslim.
Perbuatan yang Menghilangkan Pahala Puasa Ramadan
Bila pembatal puasa di atas termasuk al-Mufaththirat, maka ada perbuatan yang justru bisa menghilangkan pahala puasa Ramadannya, perbuatan itu disebut al-Muhbithat. Pembatal pahala puasa ini lebih sulit untuk diidentifikasikan daripada al-Mufaththirat, dan berpotensi sering dilakukan tanpa sadar.Sebab al-Mufaththirat perbuatannya jelas, dapat dilihat, dan biasanya cepat disadari oleh pelakunya sehingga relatif lebih mudah dihindari.
Walaupun secara hukum al-Muhbithat memiliki konsekuensi yang lebih ringan (puasanya tetap sah), tapi ia harus menjadi prioritas untuk diperhatikan. Sebab poin-poinnya sebagian besar merupakan perbuatan yang sudah menjadi realitas sosial dan membudaya di tengah masyarakat kita.
Ghibah, misalnya. Di mana ada tempat tongkrongan, di situ bisa dipastikan ada ghibahnya. Tidak afdal rasanya kalau nongkrong tanpa membicarakan si A, si B, atau si C. Karena dengan membicarakannya, biasanya pembicaraan akan lebih hidup, seru, dan mengasyikkan.
Begitu juga halnya dengan poin-poin yang masuk dalam kriteria al-Muhbithat yang lain: bohong, adu domba, mengucap kata kasar, sumpah palsu, dan melihat hal yang diharamkan. Apalagi pada era media sosial seperti hari ini, semua poin itu adalah fenomena harian yang sangat mudah untuk disaksikan oleh siapa pun.
Hal ini harus mendapat perhatian lebih bagi siapa saja yang ingin meraup kesempurnaan pahala ibadah puasa di bulan Ramadan. Walau ini dalam konteks Ramadan, bukan berarti di luar Ramadan boleh dan bebas dilakukan. Tetap saja tidak boleh dan sama-sama akan menuai dosa.
Baca Juga
Wallahu A'lam
(wid)